Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju-Mundur Aturan Penerbitan Obligasi Daerah

OJK dan Kementerian Keuangan segera menerbitkan aturan obligasi daerah. Cara penuh risiko untuk menambah utang. 

14 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi: Tempo/Kendra Paramita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aturan teknis penerbitan obligasi daerah akan terbit pada semester I 2024.

  • Sejumlah daerah sudah mendapatkan asistensi untuk menerbitkan obligasi daerah.

  • Banyak negara mengalami masalah karena gagal bayar obligasi daerah.

RENCANA sejumlah provinsi menerbitkan surat utang alias obligasi daerah bakal segera terwujud. Otoritas Jasa Keuangan kini sedang menanti proses harmonisasi rancangan regulasi tentang obligasi daerah di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia. “Saat ini sudah dalam antrean dan Mei bisa terbit,” kata Antonius Hari Prasetyo Moerdianto, Kepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Pasar Modal OJK, kepada Tempo pada 5 April 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hari bercerita, OJK harus menjalani proses panjang sebelum menyusun aturan tersebut. Selama ini, dia menjelaskan, regulasi tentang obligasi daerah urung terbit karena menunggu Kementerian Keuangan menyusun aturan turunan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD). Obligasi daerah sebagai opsi pembiayaan alternatif untuk proyek-proyek pemerintah daerah harus mengikuti ketentuan dalam Undang-Undang HKPD.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2 Januari 2024, Kementerian Keuangan merilis Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Kebijakan Fiskal Nasional atau PP HKFN. Bagi OJK, aturan ini bak bendera start untuk memulai penyusunan aturan penerbitan obligasi daerah. “Setelah PP HKFN terbit, kami langsung menaikkan rancangan aturan OJK soal obligasi daerah ke rapat Dewan Komisioner,” ujar Hari.

Patok penanda bakal pembangunan proyek rute Bus Rapid Transit (BRT) di kawasan halte bus Damri Sidolig, Jalan Ahmad Yani, Bandung, Desember 2023. Tempo/Prima Mulia

OJK sebenarnya sudah memiliki aturan yang berhubungan dengan obligasi daerah, yaitu Peraturan OJK Nomor 61 Tahun 2017 tentang Dokumen Pernyataan Pendaftaran dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah, Peraturan OJK Nomor 62 Tahun 2017 tentang Bentuk dan Isi Prospektus Ringkas dalam Rangka Penawaran Umum Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah, serta Peraturan OJK Nomor 63 Tahun 2017 tentang Laporan dan Pengumuman Emiten Penerbit Obligasi Daerah atau Sukuk Daerah.

Menurut Hari, aturan terbaru akan menyederhanakan dan menyatukan tiga regulasi lama tersebut. Ada sejumlah aspek yang berubah, di antaranya tak ada lagi kewajiban gubernur atau wali kota dan bupati menerbitkan peraturan daerah yang mempersyaratkan persetujuan dewan perwakilan rakyat daerah ketika hendak menerbitkan obligasi. “Cukup dengan peraturan yang dibuat oleh gubernur atau bupati dan wali kota,” ucapnya. 

Restu OJK, Hari menambahkan, merupakan gerbang terakhir yang dilalui daerah sebelum menerbitkan obligasi. Sebelum masuk ke OJK, pemerintah daerah harus lolos pengujian atau asesmen tentang eligibilitas dan substansi kemampuan keuangan dalam menerbitkan obligasi. Pengujian ini dilakukan oleh Kementerian Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri. “Begitu oke, kami proses lebih lanjut.”

Di sisi lain, Kementerian Keuangan masih menggodok draf aturan tentang persyaratan penerbitan obligasi daerah. Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Luky Alfirman mengatakan aturan turunan PP HKFN itu bakal rampung pada semester pertama tahun ini. “Aturan ini berisi syarat dan dokumen yang harus dipenuhi ketika daerah mengajukan permohonan izin menerbitkan obligasi,” tuturnya pada 4 April 2024. 

Menurut Luky, obligasi daerah sebetulnya bukan barang baru sejak berlakunya otonomi dan desentralisasi keuangan daerah. Dia mengatakan pemerintah pusat tidak membatasi kehendak daerah yang akan menerbitkan surat utang untuk membiayai proyeknya. "Tapi memang baru dibuka secara formal dalam UU HKPD,” katanya. Kini para gubernur ataupun bupati dan wali kota boleh lega sekaligus bersiap menerbitkan surat utang demi mendapatkan dana segar dari pasar keuangan.

•••

SURAT utang digadang-gadang menjadi jalan keluar atas kebuntuan yang dihadapi daerah ketika hendak membiayai proyek-proyek infrastrukturnya. Keterbatasan anggaran pendapatan dan belanja daerah memaksa gubernur dan para kepala daerah lain mencari sumber dana alternatif. Di satu sisi, ada peluang menggandeng pihak swasta sebagai investor untuk sejumlah proyek. Namun tak semua proyek di daerah menarik bagi para pengusaha partikelir lantaran tak menjanjikan keuntungan finansial. 

Karena itu, obligasi daerah dirancang untuk membiayai proyek infrastruktur yang menghasilkan penerimaan dan layak secara finansial, seperti transportasi, perkotaan, telekomunikasi, dan energi. Di sisi lain, dana dari APBD difokuskan untuk membiayai proyek infrastruktur yang tidak menghasilkan penerimaan tapi layak secara ekonomi, seperti irigasi, perumahan rakyat, serta air dan sanitasi. 

Kepada Tempo pada 5 April 2024, Deputi Ekonomi Makro dan Keuangan Kementerian Koordinator Perekonomian Ferry Irawan mengatakan kemandirian pendanaan untuk pembangunan daerah kian mendesak karena kebutuhan pembangunan infrastruktur yang makin besar belum bisa ditutup oleh anggaran daerah ataupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Menurut Ferry, ada kebutuhan pendanaan infrastruktur Rp 861,9 triliun yang harus terpenuhi. “Jika hanya mengandalkan APBD dan APBN, butuh waktu yang sangat lama,” ujarnya.

Pemerintah pusat berharap daerah bisa memanfaatkan peluang dari bertebarannya dana publik, termasuk di pasar keuangan. Ferry mengatakan lembaganya sudah berkoordinasi dengan sejumlah daerah yang berinisiatif menerbitkan obligasi. Beberapa daerah yang siap, kata dia, adalah Jawa Barat, Jakarta, Sumatera Barat, Jawa Timur, Yogyakarta, Riau, dan Kota Bandung. Persoalannya, dia menambahkan, “Kami melihat daerah-daerah ini memiliki kapasitas atau pemahaman yang bervariasi soal pembiayaan di luar APBN dan APBD.”

Karena itu, pemerintah pusat memberi dukungan berupa pendampingan bagi daerah dalam penyusunan rencana waktu, dokumen, dan rencana teknis hingga konsultasi dalam pemilihan instrumen pendanaan yang pas sesuai dengan kondisi masing-masing. “Termasuk soal biaya penerbitan instrumen pendanaan sampai peran pihak terkait seperti underwriter, wali amanat, dan lembaga rating,” ucap Ferry. 

Peluang pun muncul tatkala Kementerian Koordinator Perekonomian mendapatkan komitmen hibah pengembangan surat utang daerah dari beberapa lembaga internasional, seperti Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, International Finance Corporation, Commerce Law Development Program Amerika Serikat, dan Millennium Challenge Corporation. Ada pula dukungan seperti peningkatan kapasitas, asistensi teknis, shadow rating atau pemeringkatan awal, penajaman kalkulasi pendanaan, penjaringan pembeli siaga atau standby buyer, serta penyusunan kerangka pendanaan untuk proyek hijau atau berorientasi lingkungan.

Menurut Ferry, asistensi semacam itu penting mengingat penerbitan obligasi atau sukuk daerah merupakan komitmen jangka panjang. “Pemerintah daerah perlu menyiapkan sumber daya manusia yang akan berperan dalam pengelolaan dana surat utang,” ujarnya. Pemerintah pusat juga akan meminta kepala daerah membentuk lembaga pengelola utang alias debt management unit yang mengawal perencanaan (front-end), penerbitan (middle-end), serta pengawasan pasar keuangan dan implementasi (back-end).

Untuk mendukung upaya daerah, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan, ada tiga kementerian yang bertugas mengawal penerbitan obligasi. Kementerian Keuangan, dia menerangkan, berfokus pada aspek fiskal seperti kemampuan anggaran serta penerimaan daerah. Kementerian Dalam Negeri berfokus pada keberlanjutan pendanaan dan konsekuensinya ketika terjadi pergantian kepala daerah. Adapun Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyeleksi proyek yang dibiayai. 

Dari sekian banyak daerah, pemerintah pusat menganggap Jawa Barat paling siap menerbitkan obligasi daerah. Pejabat Sekretaris Daerah Jawa Barat, M. Taufiq Budi Santoso, mengatakan serangkaian rapat pembahasan penerbitan obligasi daerah berjalan sejak 2023. Rapat terakhir digelar pada 29 Februari 2024 di ruang rapat Ciremai, Gedung Sate. Jawa Barat pun mendapat perhatian. “Kami dibantu shadow rating, sementara rating yang sebenarnya dilakukan setelah Lebaran,” tutur Taufiq pada 28 Maret 2024. Rating itu akan menentukan nilai kupon dan aspek teknis lain.

Pemerintah Jawa Barat juga menyiapkan dana cadangan yang harus disisihkan atau sinking fund untuk membayar kupon obligasi setiap tahun kepada para investor. Untuk sosialisasi, sejak tahun lalu pemerintah Jawa Barat menggelar road show bagi para calon investor. Secara politik, pemerintah Jawa Barat sudah berkomunikasi dengan DPRD, sejalan dengan upaya mendapatkan persetujuan dari Kementerian Keuangan, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Kementerian Dalam Negeri, dan Otoritas Jasa Keuangan. 

Daerah lain yang bersiap menerbitkan obligasi adalah Sumatera Barat. Berbeda dengan di Jawa Barat, Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi mengatakan akan menerbitkan instrumen sukuk. Dia yakin penerbitan surat utang syariah ini menjadi instrumen yang menarik bagi investor retail ataupun institusi, terutama yang memahami dan menaruh perhatian pada pengembangan ekonomi syariah. 

Gubernur Sumatera Barat Mahyeldi. Antara/Miko Elfisha

Pemerintah Sumatera Barat telah berkonsultasi dengan Kementerian Keuangan, OJK, Komite Nasional Ekonomi Keuangan Syariah, juga perusahaan sekuritas PT Ina Sekuritas sebagai konsultan keuangan. Menurut Mahyeldi, dana dari penerbitan sukuk akan dipakai untuk membangun rumah sakit. “APBD Sumatera Barat terbatas, tahun lalu saja Rp 6,78 triliun, tak cukup untuk membiayai semua rencana pembangunan infrastruktur.”

•••

SEKILAS obligasi daerah tampak menjanjikan sebagai solusi untuk mendanai pembangunan infrastruktur dengan memanfaatkan dana dari pasar keuangan. Namun di balik rencana itu ada risiko besar yang mengintai, terutama potensi gagal bayar

Contoh yang membikin miris itu ada di beberapa negara. Di Cina, misalnya, penerbitan obligasi daerah yang terlampau jorjoran menyebabkan peningkatan eksposur utang secara masif. Kementerian Keuangan Cina mengumumkan obligasi yang diterbitkan pemerintah daerah hingga akhir 2023 mencapai 3,96 triliun yuan atau setara dengan Rp 8,66 kuadriliun. Jumlah itu telah melebihi kuota, yang membatasi obligasi daerah hanya boleh maksimal 3,8 triliun yuan. Kini muncul pertanyaan mengenai kemampuan pemerintah Cina menyelesaikan seluruh kewajiban dan menjaga defisit anggaran tak melebihi 3 persen dari produk domestik bruto. 

Hal lebih buruk terjadi pada Argentina yang terbenam dalam kebangkrutan, antara lain karena gagal bayar obligasi pemerintah daerah pada 2019. Kala itu eksposur utang Argentina secara keseluruhan melonjak hingga tiga kali lipat hingga membutuhkan negosiasi dan restrukturisasi yang masih berlangsung hingga saat ini. Di Amerika Serikat, kasus gagal bayar obligasi daerah terjadi di Detroit, yang menjadi wanprestasi terbesar sepanjang sejarah. Pemerintah Detroit gagal membayar imbal hasil dan pokok obligasi daerah jatuh tempo senilai US$ 8,4 miliar pada 2013.  

Direktur Eksekutif Institute for Demographic and Poverty Studies Yusuf Wibisono menyayangkan rencana penerbitan obligasi yang masih berdiri di atas kegagalan reformasi keuangan daerah. “Sekitar 75 persen APBD selama ini habis untuk birokrasi, seperti belanja pegawai dan belanja barang,” ucapnya. Yusuf menilai kondisi ini tak sehat karena mempersempit ruang APBD untuk mendorong pembangunan infrastruktur daerah. 

Karena itu, kata Yusuf, obligasi hanya menjadi pilihan jika daerah tersebut sudah mereformasi anggaran dan birokrasi. “Obligasi daerah hanya menjadi jalan pintas untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur dengan mengandalkan utang. Jika ini menjadi pilihan, kita akan mengulang kisah yang sama seperti pemerintah pusat,” ujarnya. 

Yusuf juga mengingatkan bahwa penerbitan obligasi daerah bukan tanpa biaya. Pemerintah daerah dihadapkan pada biaya “meminjam” dana investor di pasar keuangan dengan acuan atau benchmark imbal hasil alias yield obligasi pemerintah pusat. Menurut dia, jika tingkat yield pemerintah pusat saat ini dikatakan berada di kisaran 7 persen, kupon obligasi daerah bisa mencapai 10 persen. "Dengan beban yang setara dengan bunga utang komersial tersebut, risiko obligasi daerah pada APBD tak bisa diremehkan,” tuturnya.

Ekonom Center of Reform on Economics atau CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, mengatakan ada risiko yang berhubungan dengan ketidakmampuan daerah membayar pokok serta imbal hasil obligasi karena keterbatasan kemampuan fiskal. Risiko lain yang mengintai adalah penurunan peringkat kredit daerah yang dapat meningkatkan biaya pinjaman, fluktuasi suku bunga dan nilai tukar yang dapat mempengaruhi nilai obligasi, serta risiko sengketa dengan investor.

Menurut Yusuf, ada kemungkinan anggaran pemerintah pusat akan berfungsi menjadi penyangga ketika pemerintah daerah gagal memenuhi kewajibannya. “Ini yang menjadi salah satu alasan sampai saat ini terjadi tarik-menarik dalam penerbitan obligasi atau sukuk daerah, meski regulasinya sudah relatif lengkap,” katanya pada 5 April 2024.

Berdasarkan riset dan asesmen CORE Indonesia pada 2022, dengan rujukan data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, setiap daerah memiliki potensi batas maksimum pinjaman yang bisa diambil. Batasan ini bergantung pada pendapatan setiap daerah dengan pinjaman yang ditarik tak boleh lebih dari 75 persen dari penerimaan dalam APBD tahun sebelumnya. Berdasarkan asesmen tersebut, Jakarta menempati peringkat pertama daerah dengan potensi penarikan pinjaman terbesar, yaitu Rp 10,3 triliun, diikuti Jawa Barat sebesar Rp 6,2 triliun, dan Jawa Timur Rp 4,7 triliun. 

Karena itu, Direktur Eksekutif Segara Institute Piter Abdullah mengatakan restu Kementerian Keuangan menjadi penting dalam pelolosan rencana penerbitan surat utang daerah. “Akan berdampak pada reputasi atau rating utang pemerintah,” ucapnya. Piter juga mengatakan obligasi daerah dinilai dapat memicu persoalan baru, seperti crowding out effect atau perebutan dana masyarakat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. “Jika ini terjadi, imbal hasil obligasi pemerintah akan makin tinggi dan APBN tersedot untuk membayar bunga utang yang membesar,” ujarnya.

Untuk mencegah hal itu, Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Luky Alfirman mengatakan lembaganya menjadi garda terdepan untuk menilai kelayakan pemerintah daerah yang ingin menerbitkan obligasi atau sukuk. Apalagi, dia menambahkan, setiap daerah memiliki kemampuan fiskal yang berbeda-beda, bergantung pada pendapatan, produk domestik regional bruto, hingga rasio kesehatan keuangan lain. “Konsep utama yang harus dipegang adalah kehati-hatian, harus pruden.”

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ahmad Fikri dari Bandung dan Fachri Hamzah dari Padang berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Baru Utang Daerah"

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus