Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Audit Pesanan 'Tangan Kanan' Gubernur

Dana hibah senilai Rp 6,06 triliun jadi bancakan politikus di Jawa Barat. Tak tersentuh audit BPK.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEREMONI penyerahan laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan atas laporan keuangan Pemerintah Provinsi Jawa Barat 2013, Selasa tiga pekan lalu, berlangsung cepat. Acara yang digelar di kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah itu dibuka dengan sambutan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat Cornell Syarief Prawiradiningrat.

Acara yang berlangsung kurang dari satu jam itu diakhiri dengan pembacaan opini wajar tanpa pengecualian (WTP) oleh anggota BPK, Agung Firman Sampurna. Dalam pidatonya, Agung mengurai beberapa catatan audit. Salah satunya temuan negatif dalam pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah 2013.

Selly Andriany Gantina, Ketua Komisi Perekonomian DPRD Jawa Barat, memasang kupingnya dengan tajam sambil mencatat di kertas kecil. Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan ini tersentak saat mendengar ada catatan negatif soal belanja hibah Rp 6,06 triliun yang tidak tepat pelaksanaannya. "Catatan itu disebut signifikan," katanya. "Tapi kenapa tidak mempengaruhi opini BPK?"

Menurut Selly, catatan pada belanja hibah bukan persoalan sepele. Alasannya, selama mengawasi penggunaan anggaran 2013, belanja hibah selalu menjadi sorotan. Beberapa penerima hibah, misalnya, melapor tak kunjung mendapatkan pencairan dana.

Seorang auditor BPK Jawa Barat yang menolak ditulis namanya juga mengendus kejanggalan dalam penggunaan dana hibah yang realisasinya mencapai Rp 5,6 triliun. Menurut dia, salah satu temuannya adalah dana hibah itu dicairkan secara serampangan menjelang pelaksanaan pemilihan Gubernur Jawa Barat pada Februari tahun lalu. "Dipakai untuk 'operasi gelap' memenangkan salah satu kandidat," ujarnya.

Auditor tadi mengatakan, dalam melakukan pemeriksaan, tim menemukan sejumlah penyimpangan dalam penggunaan dana hibah. Misalnya, ada penerima hibah yang namanya muncul belakangan setelah APBD Perubahan disahkan dan beberapa penerima hibah di atas Rp 1 miliar laporannya belum diaudit kantor akuntan publik.

Transparansi pemberian dana hibah juga menjadi sorotan Muhammad Yusuf, Kepala Desa Losari Lor, Kecamatan Losari, Kabupaten Cirebon. Sejak 2012 hingga 2014, kelompok nelayan Daya Sari di desanya kesulitan mendapatkan dana hibah.

Kesaksian serupa datang dari Aviantoni, pengurus kelompok Mitra Kali Mukti, yang membantu mencairkan dana hibah untuk kelompok masyarakat dari Desa Kebarepan, Kecamatan Plumbon, dan Desa Losari Lor, Kecamatan Losari. Menurut Aviantoni, kelompok mereka sudah disetujui dalam APBD sebagai penerima hibah bantuan perbaikan rumah tidak layak huni sebesar Rp 25 juta. Namun pencairannya tak kunjung diterima. "Saya dilempar ke banyak dinas," katanya.

Aviantoni mengatakan dua pegawai negeri di Dinas Perikanan dan Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Desa menyarankan agar mengajukan dana hibah lewat politikus Partai Keadilan Sejahtera. "Agar cepat pencairannya."

Keistimewaan bagi PKS itu merupakan imbas dari Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, yang berasal dari partai Islam tersebut. Aviantoni mengatakan jalan tol tidak sekadar didapat dari PKS. Dana hibah juga bisa cair cepat jika pengajuannya melalui politikus yang tidak keras mengkritik Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

Ahmad Heryawan enggan menjawab pertanyaan Tempo. Aher—begitu sang Gubernur kerap disapa—hanya menggelengkan kepala saat ditemui di depan rumah dinasnya di Bandung, Jumat pekan lalu.

1 1 1

TEMUAN auditor BPK selain dana hibah adalah anggaran sebesar Rp 110 miliar yang terparkir di rekening penampungan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Dana itu merupakan anggaran pembebasan lahan untuk Bandar Udara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat. Dana ditampung karena gagal dibelanjakan. Pada APBD 2013, anggaran untuk pembebasan lahan Bandara Kertajati mencapai Rp 247 miliar.

Auditor ini mengatakan penampungan dana yang tak dibelanjakan itu menyalahi aturan. Mengacu pada aturan, dana yang tidak terserap harus dikembalikan ke kas daerah atau dikembalikan sebagai sisa lebih penggunaan anggaran.

Atas dasar temuan itu, tim auditor menggelar rapat pada 22 Mei 2014 pukul 19.20 di gedung BPK Jawa Barat, Jalan Mochamad Toha, Bandung. Rapat memutuskan memberikan predikat wajar dengan pengecualian (WDP). Opini WDP adalah rapor kuning bagi laporan keuangan entitas yang diperiksa.

Alasan kuat tim pemeriksa adalah Pemerintah Provinsi dinilai tidak dapat menyajikan daftar semua penerima hibah, nilai hibah yang direkomendasi, serta anggaran dan realisasinya. Pemerintah Provinsi juga dianggap tidak dapat memonitor penerima hibah yang telah menyampaikan laporan pertanggungjawaban dana hibah.

Tim auditor menuliskan alasan pemberian opini WDP dalam usul yang disodorkan kepada bos mereka. "Catatan dan data yang tersedia tidak memungkinkan BPK untuk melaksanakan prosedur pemeriksaan yang memadai untuk memperoleh keyakinan atas nilai belanja hibah," begitu auditor menuliskan dasar diusulkannya opini WDP.

Usul tim auditor dipresentasikan dalam rapat review opini BPK enam hari kemudian. Kasak-kusuk mulai menyeruak. Seorang auditor yang mengetahui rapat tersebut mengatakan Emmy Mutiarini, Wakil Penanggung Jawab Pemeriksaan, memanggil Ketua Tim Senior Pemeriksaan Bawana Adi. Emmy meminta Bawana tidak mempublikasikan angka penyelewengan pada belanja hibah saat rapat tim review mendatang.

Pada 26 Mei lalu, rapat tim review digelar, yang diikuti 19 auditor, termasuk beberapa auditor yang didatangkan dari Palembang dan Jakarta. Auditor yang diperbantukan ini merupakan kebijakan anggota BPK, Agung Firman. Tim mempresentasikan usul WDP dengan pertimbangan yang dirumuskan di awal, tapi tidak memunculkan angka—sesuai dengan perintah Emmy.

Usul itu tentu saja dipersoalkan auditor lain. Musababnya perlu angka yang mendukung untuk menguatkan opini WDP. Tanpa angka yang disajikan, sulit bagi para auditor yang lain menerima usul tersebut.

Jika tak bisa menyajikan besaran penyelewengan, opini yang layak diberikan adalah WTP—rapor terbaik di BPK. Adapun rekening penampungan untuk anggaran pembebasan lahan Bandara Kertajati disepakati tidak dibahas. "Tidak dimasukkan ke audit keuangan," katanya.

Cornell Syarief mengakui tim auditor mengusulkan WDP. Namun pertimbangan WDP itu bukan dari belanja hibah, melainkan anggaran yang dibelanjakan pada Januari 2014 dilaporkan sebagai belanja sebelum 31 Desember 2013.

Anggaran WDP bisa diubah menjadi WTP setelah Pemerintah Provinsi Jawa Barat bersedia mengoreksi kesalahan pencatatan itu. "Kalau mau mengoreksi, kami berikan WTP," ujarnya.

Seseorang yang dekat dengan anggota BPK dan mengetahui proses jual-beli opini BPK mengatakan opini WTP itu merupakan permintaan Iwa Karniwa. Lobi Iwa untuk mengamankan WTP melalui Slamet Kurniawan, mantan Kepala BPK Perwakilan Jawa Barat, yang kini menjabat Auditor Utama II BPK pusat.

Iwa adalah pegawai negeri di Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Setelah mengundurkan diri dari Kepala Badan Pengawas Daerah Kota Cimahi, ia terjun ke politik dengan menjadi calon Wali Kota Cimahi dari Partai Keadilan Sejahtera. Iwa tidak terpilih.

Kariernya diselamatkan Ahmad Heryawan, yang mengangkatnya sebagai anggota staf ahli gubernur, Kepala Badan Koordinasi Promosi dan Penanaman Modal Daerah, serta Pelaksana Tugas Dinas Pendapatan Daerah. Kini dia menjabat Asisten Daerah IV, yang mengurus, salah satunya, laporan keuangan.

Iwa dan Slamet satu almamater dari Sekolah Tinggi Akuntansi Negara. Iwa masuk pada 1985, sedangkan Slamet angkatan 1988. Duet Iwa dan Slamet menghasilkan opini WTP untuk Jawa Barat pada 2012.

Era Slamet memimpin BPK Jawa Barat pada 2010-2013, opini WTP juga diberikan untuk Laporan Keuangan 2011 dan 2012. Padahal, pada tahun anggaran 2012, dugaan penggunaan dana bantuan sosial sedang ditelisik Komisi Pemberantasan Korupsi dan Kejaksaan Tinggi Jawa Barat.

Untuk mengamankan opini tersebut, Slamet memerintahkan tim pemeriksa tidak menyentuh belanja bantuan sosial. Namun ternyata beberapa auditor membandel dan tetap menelisik belanja bantuan sosial. Mengetahui hal itu, Slamet meradang dan mengeluarkan beberapa auditor tersebut dari tim. Walhasil, opini WTP untuk Jawa Barat dapat diamankan.

Untuk mengamankan WTP pada tahun ini, jasa Slamet masih diperlukan. Kendati sudah menjabat auditor utama di BPK pusat, hal itu tidak membuat Slamet kehilangan pengaruh di BPK Jawa Barat. Kedekatan dengan Slamet ini membuahkan hasil. Opini WTP bisa dikantongi Jawa Barat untuk ketiga kalinya.

Slamet tidak menjawab pesan pendek yang dikirimkan Tempo. Adapun Cornell membantah ada intervensi dalam proses audit. Menurut dia, kedekatan antara dia, Slamet, dan Iwa tidak mempengaruhi profesionalisme auditor dalam pemeriksaan. "Kami tidak boleh bermain-main. Reputasi kami dipertaruhkan," ujar Cornell. Senada dengan Cornell, Iwa membantah tudingan melobi Slamet. "Itu fitnah besar. Apa saya harus bersumpah demi Allah?" katanya.

Persoalan dana hibah ini masih menggelinding. Anggota BPK, Agung Firman Sampurna, mencium ada masalah dalam pelaksanaan dana hibah dan bantuan sosial. Dia memastikan akan menggelar audit investigasi. "Jawa Barat adalah salah satu daerah yang akan melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu," ucapnya.

Akbar Tri Kurniawan, Martha Thertina, Ahmad Fikri (Bandung), Ivansyah (Cirebon)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus