Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bermimpi Tinggal di Swedia

Pertumbuhan ekonomi tak dirasakan semua kelompok masyarakat. Toleransi pada ketimpangan pendapatan cukup tinggi.

7 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DERETAN gerai barang mewah terpampang saat pengunjung memasuki Pacific Place. Pusat belanja di kawasan pusat bisnis Sudirman, Jakarta Pusat, ini menjadi magnet mereka yang berkantong tebal. Berbagai merek dunia, seperti Louis Vuitton, Hugo Boss, dan Ermengildo Zegna, sampai mobil McLaren terpampang menyambut setiap pengunjung.

Pelakon Fifie Buntaran mengaku hampir saban pekan datang ke mal premium itu. Ia menghabiskan jutaan rupiah setiap bulan untuk belanja pakaian, facial, sampai suntik vitamin. Hal itu bukan soal baginya. Dari usaha salon dan artis, pendapatan Fifie minimal Rp 40 juta sebulan. "Untuk menunjang pekerjaan," katanya kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Bagi mereka yang berpenghasilan melimpah, berbelanja di Pacific Place seakan-akan menjadi candu. Bayangkan, sepasang jas Hugo Boss, misalnya, dibanderol Rp 23 juta. "Satu hari sedikitnya ada 12 orang yang beli di sini," ujar Rahmat, Supervisor Hugo Boss di Pacific Place. Tak mengherankan, dalam sebulan omzet di gerai ini bisa mencapai Rp 3,8 miliar.

Tentu tak semua orang seberuntung Fifie. Meskipun Badan Pusat Statistik mencatat terjadi penurunan angka kemiskinan menjadi 28,28 juta orang per Maret 2014, jurang antara orang miskin dan kaya dalam lima tahun terakhir masih saja tinggi. Pada 2013, indeks Gini mencapai 0,413. Angka tersebut naik dibanding pada 2008 sebesar 0,35.

Seperti dirasakan Irpan, warga Kampung Taringgul, Kabupaten Garut. Sebagai buruh tani, penghasilannya hanya Rp 25 ribu sehari. Itu pun tak setiap hari pemilik lahan memberinya pekerjaan. Itu sebabnya dia mesti nyambi menjadi penyadap getah pinus di lahan Perhutani. Upahnya Rp 2.600 per kilogram. "Terkadang harus pinjam uang untuk menutupi kebutuhan," katanya.

Lembaga Survei Indonesia (LSI) dan Tempo memotret persepsi masyarakat terkait dengan tingginya ketimpangan pendapatan dalam sebuah survei yang digelar pada 27 Mei-4 Juni 2014. Menurut Direktur Eksekutif LSI Kuskridho Ambardi, survei dengan sampel 3.080 orang ini dilakukan karena isu ketimpangan pendapatan seolah-olah tak menjadi fokus kebijakan pemerintah. "Padahal, di negara maju, isu ini menjadi fokus kebijakan politik," ucapnya.

Hasil sigi memperlihatkan tingkat kesadaran masyarakat soal ketimpangan cukup besar. Menurut responden, saat ini kelompok terkaya memiliki total pendapatan tujuh kali lipat kelompok termiskin. Padahal porsi yang dianggap lebih adil adalah pendapatan kelompok terkaya hanya dua kali lipat lebih tinggi daripada kelompok miskin.

Mereka menuntut distribusi pendapatan lebih merata. "Bagi mereka, tak jadi masalah pertumbuhan ekonomi melambat, yang penting distribusi pendapatan bisa lebih merata. Jika diminta memilih, mereka ingin tinggal di Swedia dengan sistem distribusi pendapatannya yang lebih adil," kata Dodi—panggilan akrab Kuskridho Ambardi.

Direktur Eksekutif Institute for Development Economy and Finance Ahmad Erani Yustika menilai persepsi masyarakat yang toleran terhadap ketimpangan pendapatan cukup mengherankan. Menurut dia, data itu menggambarkan pertumbuhan ekonomi saat ini belum memenuhi tuntutan kesejahteraan. "Mereka prihatin terhadap kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi ketimpangan pendapatan, terutama masalah kemiskinan," ujarnya.

Menurut Erani, pertumbuhan ekonomi hanya didominasi sektor telekomunikasi, jasa, keuangan, dan perdagangan. Selain hanya dirasakan oleh 20 persen penduduk berpendapatan paling tinggi, sektor ini tak banyak menyerap tenaga kerja. Padahal struktur ekonomi Indonesia adalah pertanian dan sumber daya alam. "Seharusnya kebijakan ekonomi bisa mengkombinasikan antara modernisasi dan struktur dasar agar distribusi pendapatan lebih merata," katanya.

Deputi Bidang Kemiskinan Ketenagakerjaan dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Rahma Iryanti, tak mengelak jika ketimpangan pendapatan di Indonesia dinilai masih sangat tinggi. Menurut dia, ada faktor internal yang tak bisa dikendalikan pemerintah untuk mempersempit jurang pendapatan itu. "Pertumbuhan mereka yang berpendapatan 40 persen terbawah hanya 2 persen. Sedangkan 20 persen teratas pertumbuhannya bisa mencapai 8 persen," ujarnya.

Ia menilai perlu pertumbuhan yang berkualitas dan inklusif untuk menghilangkan kesenjangan pendapatan. Jika hal itu bisa dilakukan, meskipun pertumbuhan ekonomi hanya tercapai empat-lima persen, akan dapat dirasakan cukup signifikan oleh kelompok bawah. "Australia dan Amerika pertumbuhannya juga rendah, tapi distribusinya merata," katanya.

Angga Sukma Wijaya (Jakarta), Sigit Zulmunir (Garut)


Tidak Merata, Bisa Menerima

Ketimpangan pendapatan di Indonesia terus meningkat dalam lima tahun terakhir akibat pertumbuhan ekonomi hanya dirasakan segelintir orang. Survei hasil kerja sama Lembaga Survei Indonesia dengan Tempo menggambarkan persepsi masyarakat soal gap pendapatan si kaya dan miskin. Pekerjaan rumah untuk pemerintah baru.

Distribusi Pendapatan

Mayoritas responden menginginkan proporsi distribusi pendapatan sebesar 28 persen untuk kelompok paling kaya dan 13,2 persen untuk kelompok terbawah. Saat ini kelompok masyarakat paling kaya menguasai 38 persen dari total pendapatan nasional.

Ideal

  • Teratas 28,6%
  • Kedua 22,9%
  • Ketiga 19,3%
  • Keempat 15,9%
  • Terbawah 13,2%

    Real

  • Teratas 38,2%
  • Kedua 25%
  • Ketiga 17,7%
  • Keempat 11,6%
  • Terbawah 7,4%

    Hasil Survei Ketimpangan Pendapatan

  • Tidak merata sama sekali 40,1%
  • Kurang merata 51,6%
  • Sangat merata 0,5%
  • Cukup merata 6,6%

    Toleransi atas Ketimpangan
    Meskipun terjadi ketimpangan pendapatan yang signifikan antarkelompok masyarakat, responden ternyata masih toleran.

  • Dalam keadaan tertentu, perbedaan pendapatan bisa diterima 66,3%
  • Apa pun alasannya, perbedaan pendapatan tidak bisa diterima 20,4%
  • TT/TJ 23,3%

    Jurang Menajam
    Perbedaan antara orang kaya dan miskin (Gini ratio) terus meningkat dalam lima tahun terakhir. Distribusi pendapatan yang tidak merata karena pemerintah hanya mengejar target pertumbuhan ekonomi.

  • 2009 0,37
  • 2010 0,38
  • 2011 0,41
  • 2012 0,41
  • 2013 0,413

    Memilih Tinggal di Mana
    Hampir semua responden memilih tinggal di Swedia karena sistem distribusi pendapatannya dinilai lebih adil.

  • Swedia 80,3%
  • Indonesia 13,2%
  • Tidak tahu 6,8%
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus