Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pendiri Front Pembela Islam (FPI) Rizieq Shihab menuntut Presiden Jokowi sebagai pribadi melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang salah satu petitumnya terkait dengan ganti rugi kepada negara senilai Rp5.246 triliun.
Sidang perdana digelar Selasa ini, 8 Oktober 2024, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Hakim ketua Suparman Nyompa memutuskan sidang ditunda hingga dua pekan mendatang lantaran pihak tergugat belum melengkapi legal standingnya.
Saat sidang dimulai, kuasa hukum Rizieq Shihab atau biasa disapa Habib Rizieq mempertanyakan soal surat kuasa tergugat yang ternyata bukan langsung dari Jokowi, melainkan sekretariat negara.
“Perlu kami sampaikan bahwa gugatan kami secara personal, Yang Mulia. Perseorangan dari Pak Joko Widodo, bukan dalam kapasitas jabatannya sebagai presiden,” ucap tim hukum Rizieq.
Hakim membenarkan alasan itu, dan akhirnya menunda sidang.
Rizieq Shihab bersama Mayjen (Purn) Soenarko, Eko Santjojo, Edy Mulyadi, Mursalim R, Marwan Batubara dan Munarman mengajukan gugatan yang teregistrasi dengan Nomor Perkara 611/Pdt.G/2024/PN Jkt.Pst di PN Jakarta Pusat pada 30 September 2024.
Alasan gugatan karena Presiden Joko Widodo diduga melakukaan rangkaian kebohongan selama periode 2012-2024, yaitu sejak menjadi Gubernur DKI Jakarta dan dua periode sebagai presiden. Gugatan itu didaftarkan oleh kuasa hukumnya, Tim Advokasi Masyarakat Anti Kebohongan (TAMAK).
Gugatan ini, kata Rizieq, dilayangkan bertepatan dengan momen 30 September sebagai hari pengkhianatan terhadap Pancasila. “Sejak menjadi calon gubernur DKI Jakarta tahun 2012, calon presiden tahun 2014 dan 2019 hingga menjabat sebagai Presiden, Jokowi telah melakukan rangkaian kebohongan dan kata-kata bohong yang memberikan dampak buruk terhadap Bangsa Indonesia,” kata Rizieq dalam keterangan tertulis yang diterima Tempo, Senin 30 September 2024.
Dalam rilis itu, TAMAK mengatakan, dugaan rangkaian kebohongan Jokowi terus dikemas dalam rangka untuk pencitraan, menutupi kelemahan, dan kegagalan yang terjadi. Lebih bahayanya, rangkaian kebohongan dan kata-kata bohong itu dilakukan oleh Jokowi dengan menyalahgunakan mekanisme, sarana dan prasarana ketatanegaraan.
Melalui gugatan itu, Rizieq Syihab dan para penggugat lain menuntut agar Jokowi membayar ganti rugi materiil sebesar nilai utang luar negeri Indonesia sejak 2014-2024, hingga tidak memberikan rumah maupun uang pensiun kepada Jokowi.
Menurut laporan Pusat Analisis Anggaran dan Akuntabilitas Keuangan Negara "Potret Utang Pemerintah Periode 2015-2024: Risiko dan Capaiannya" yang dimuat di laman dpr.go.id, belanja negara yang masif di era Pemerintahan Jokowi sejalan dengan pembangunan sektor riil yang menjadi program primadona pemerintah saat ini untuk mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur.
Dalam memenuhi kebutuhan pendanaan infrastruktur ini, Pemerintah pada akhirnya melakukan penarikan utang yang cukup tinggi. Data utang Pemerintah selama 2 dekade ke belakang menunjukkan kenaikan yang cukup pesat.
Terhitung sejak tahun 2014, outstanding utang sebesar Rp2.608 triliun yang kemudian meningkat signifikan menjadi Rp7855,53 triliun per Juli 2023 atau mengalami penambahan utang 201%. Jumlah utang di zaman pemerintahan Jokowi ini lah yang menjadi dasar besarnya tuntutan ganti rugi Rizieq dkk.
Tanggapan Istana
Staf Khusus Presiden Dini Purwono menanggapi gugatan perdata yang dilayangkan Rizieq Shihab kepada Presiden Joko Widodo melalui Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang salah satu petitumnya terkait dengan ganti rugi kepada negara senilai Rp5.246 triliun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Tentu merupakan hak bagi setiap warga negara untuk mengajukan upaya hukum, namun sebaiknya setiap upaya hukum dilakukan dengan serius dan bertanggung jawab,” ujar Dini dalam keterangan yang dikutip di Jakarta, Senin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dia menyampaikan setiap orang yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikannya. Prinsip hukum tersebut, kata dia, harus selalu dikedepankan.
“Jangan menggunakan upaya hukum yang disediakan oleh konstitusi secara semena-mena hanya untuk sekadar mencari sensasi atau tujuan provokasi,” ujar Dini.
Dia menyampaikan selama 10 tahun masa pemerintahan Presiden Jokowi, tidak lepas dari kelebihan dan kekurangan.
Namun, menurutnya, biarkan publik yang pada akhirnya menilai kinerja dan pengabdian Presiden Jokowi kepada masyarakat, bangsa dan negara.
“Istana tidak bisa memberikan tanggapan lebih jauh karena gugatan dilayangkan ke PN. Ini mungkin nanti kita lihat bagaimana perkembangannya agar lebih jelas, apakah gugatan ini ditujukan kepada Pak Jokowi sebagai Presiden atau sebagai pribadi,” kata Dini.
Dani Aswara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.