Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pembicaraan rencana moratorium kepailitan bergulir di lingkaran pengusaha dan istana negara.
Pemerintah mencari opsi-opsi moratorium kepailitan yang diterapkan di negara lain.
Kubu pendukung dan penolak moratorium kepailitan sama-sama mengklaim dirugikan.
SEBUAH panggilan masuk ke nomor telepon seluler Teddy Anggoro pada akhir Juli lalu. Teddy memilih mengabaikannya. Malam itu, dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia tersebut ingin sepenuhnya beristirahat, memulihkan kondisi tubuhnya yang sedang terjangkit Coronavirus Disease 2019.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keesokan paginya, panggilan telepon masuk lagi dari orang yang sama. Ditanyai tentang perkembangan proses revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), Teddy menjawab belum ada yang signifikan. Tak puas dengan jawaban Teddy, si penelepon bertanya lagi. “Kok, sampai ada rapat kabinet terbatas membahas moratorium PKPU lewat perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang)?” kata Teddy menirukan pertanyaan penelepon itu, Kamis, 9 September lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Teddy kaget. Sejak merampungkan naskah akademik revisi Undang-Undang Kepailitan dan PKPU pada Desember 2018, dia tak pernah mendengar kabar kelanjutannya. Bahkan rencana revisi ini tidak ikut dalam gerbong perubahan banyak undang-undang sekaligus dalam satu wet anyar (omnibus law), yakni Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Pada 2017, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) membentuk tim penyusun naskah akademik rancangan perubahan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU. Teddy memimpin tim itu, yang beranggotakan hakim tinggi, pejabat Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, peneliti, analis hukum, perancang peraturan perundang-undangan, juga kurator dan pengurus—profesi dalam hukum kepailitan.
Naskah akademik itu telah disetor ke BPHN, bisa diunduh di portal badan di bawah Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia ini. “Terus, kok, sekarang bisa perpu? Kan, gue lagi bahas revisi?” tutur Teddy di kantor praktik hukumnya di Jakarta.
Butuh sebulan untuk menjawab teka-teki topik rapat kabinet terbatas pada Juli lalu. Jawabannya baru terungkap dalam rapat koordinasi dan konsolidasi nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) pada 24 Agustus lalu. “Kami mendengar pemerintah ada pandangan untuk mengeluarkan perpu mengenai moratorium ini,” ucap Ketua Umum Apindo Haryadi Sukamdani. “Kami sangat perlu dan mendukung kalau ada rencana itu.”
Apindo bahkan mengusulkan moratorium proses kepailitan dan PKPU bisa berlangsung selama tiga tahun, persis seperti durasi restrukturisasi kredit yang juga mereka sorongkan kepada Otoritas Jasa Keuangan. “(Moratorium) PKPU ini sudah dirapatkan. Jadi saya kira sedang berjalan dan presiden perintahkan supaya bisa cepat,” ujar Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, yang pada hari itu menjadi pembicara kunci dalam rapat koordinasi nasional Apindo, menanggapi usul Apindo.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (tengah) dan Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani (kanan) saat Rakernas Apindo, pada 24 Agustus 2021. Foto: Instagram @apindo.nasional
Selain mengadu ke Luhut, Haryadi mengelah ke Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, yang menghadiri rapat secara virtual. Dalam amatan Apindo, kata Haryadi, jumlah permohonan PKPU dan kepailitan meningkat selama dua tahun masa pandemi Covid-19. “Banyak pihak tertentu yang memanfaatkan celah dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 untuk tujuan kurang baik,” tutur Haryadi tanpa penjelasan detail. Moratorium diperlukan untuk mengendurkan tekanan terhadap pengusaha yang tergencet pandemi.
Menanggapi keluhan Apindo, Airlangga menyatakan pemerintah sudah melihat kenaikan angka permohonan PKPU dan kepailitan. “Dan pemerintah melihat adanya moral hazard dari PKPU ini dengan persyaratan yang mudah,” ucap Airlangga.
Pemerintah, Airlangga melanjutkan, sedang menimbang plus-minus moratorium PKPU dan kepailitan. Sebab, jika moratorium dipaksakan, pemerintah khawatir kelak terjadi ledakan angka kasus PKPU dan kepailitan (backlog) seusai pandemi.
Selepas rapat koordinasi Apindo, moratorium yang mulanya sebatas usul dan rencana langsung menggelinding menjadi polemik. Para pengusaha yang tergabung dalam Apindo, juga Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), berada di sudut pendukung moratorium. “Spiritnya, PKPU boleh digunakan untuk restrukturisasi utang, tapi jangan dipakai buat memailitkan orang,” kata Ketua Umum Kadin Arsjad Rasjid lewat sambungan telepon, Sabtu, 11 September lalu. “Pandemi ini kan force majeure. Jangan sampai aset-aset pengusaha itu diambilin.”
Di sudut berlawanan, praktisi hukum kepailitan, dari kurator dan pengurus hingga pengacara yang kerap membela kreditor atau lembaga jasa keuangan bank, menolak rencana moratorium. Buat mereka, upaya mengajukan permohonan PKPU dan kepailitan adalah hak debitor dan kreditor. “Kalau kacamatanya Apindo itu kan keluhan dari para debitor. Lalu apa halnya dengan keluhan para kreditor?” ucap Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia Jimmy Simanjuntak lewat sambungan telepon, Kamis, 9 September lalu.
•••
ASOSIASI Pengusaha Indonesia mencatat, jumlah permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan melompat sejak 2020 gara-gara pandemi. Pagebluk membuat banyak perusahaan semaput, megap-megap membayar utang.
Pada 2019, jumlah permohonan PKPU dan kepailitan yang diproses lima pengadilan negeri niaga di Indonesia hanya 550. Pada 2020, angkanya melompat menjadi 747. Adapun baru delapan bulan 2021 berjalan, jumlahnya telah melebihi angka kasus setahun penuh pada 2020, yaitu 551. “Permohonan PKPU dan kepailitan ini sudah pada taraf yang bukan untuk menyehatkan perusahaan, karena berujung pada kepailitan,” kata Haryadi Sukamdani dalam konferensi pers pada Senin, 6 September lalu.
Apindo melihat ada anomali dalam ekosistem PKPU serta kepailitan di Indonesia. Penundaan kewajiban pembayaran utang lazimnya adalah cara debitor meminta keringanan pembayaran utang. “Tapi justru 95 persen PKPU dimohon oleh kreditor,” ujar Haryadi. “Kalau (proposal perdamaian dari debitor) diterima, terjadi restrukturisasi. Kalau ditolak, perusahaan langsung pailit.”
Menurut praktisi hukum kepailitan, Teddy Anggoro, Indonesia adalah satu dari sedikit negara yang membolehkan kreditor memohon PKPU. Biasanya, permohonan ini adalah hak debitor. Amerika Serikat juga memberikan hak memohon PKPU kepada kreditor, dengan syarat yang ketat. “Kreditor harus membuktikan bahwa PKPU jalan terbaik untuk menyelamatkan debitor,” ucap Teddy.
Praktik permohonan PKPU oleh kreditor makin subur di Indonesia karena itulah cara termanjur memaksa debitor nakal tertib membayar utang. Prosesnya menjadi cara terbaik bank menggertak pengemplang. “Menurut perbankan, debitor yang susah banget ditagih, begitu diajukan PKPU, besoknya langsung datang,” tutur Teddy. “Itu efektif.”
Haryadi juga mengeluhkan soal PKPU yang bisa dimohon berulang-ulang oleh kreditor yang sama, dengan pokok perkara yang sama pula. Lolos dalam gugatan pertama, kedua, dan ketiga, debitor bisa keok dalam gugatan keempat dengan majelis hakim berbeda. “Kalau begini caranya, perusahaan yang ‘dikerjain’ lama-lama ya bangkrut,” ujar Haryadi. “Kreditor atau vendor yang lain takut berhubungan dengan perusahaan tersebut karena dianggap bermasalah.”
Haryadi tak menyebutkan kasus-kasus spesifik, tapi rasan-rasan di kalangan praktisi kepailitan paham yang dimaksud Haryadi adalah situasi PT Pan Brothers Tbk yang sedang dikejar-kejar oleh PT Bank Maybank Indonesia Tbk. Pada 24 Mei lalu, Maybank menggugat PBRX—kode emiten Pan Brothers—dengan PKPU, tapi ditolak oleh Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dua bulan setelahnya. Maybank kembali menuntut Pan Brothers pada 4 Agustus lalu, kali ini dengan gugatan pailit.
Perkara kepailitan Pan Brothers versus Maybank menjadi bahan paparan Eka Wahyu Kasih, anggota Satuan Tugas Kepailitan dan PKPU Apindo, yang menemani Haryadi dalam konferensi pers pada Kamis, 9 September lalu. Wakil Direktur Utama Pan Brothers Anne Patricia Sutanto adalah anggota Dewan Pertimbangan Apindo. Namun Eka Wahyu menegaskan, usul moratorium dari Apindo tidak hanya bertujuan melindungi anggota mereka. “Tapi untuk kepentingan nasional dan mendukung pemerintah yang menjalankan pemulihan ekonomi nasional,” tutur Eka. “Kreditor dan debitor, dua-duanya anggota Apindo. Dua-duanya dalam satu rumah. Saat ini jangan bertengkar dulu.”
Tiga hari setelah menggelar rapat koordinasi dan mengusulkan secara terbuka moratorium PKPU dan kepailitan, Apindo mengundang Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum Kementerian Hukum dan HAM Cahyo Rahadian Muzhar menghadiri diskusi mereka. Pada 27 Agustus lalu, keduanya mendiskusikan peluang moratorium PKPU dan kepailitan. Dalam paparannya, Cahyo menjelaskan bahwa sejumlah negara lain memang mengambil kebijakan khusus tentang kepailitan selama masa pandemi.
Singapura, misalnya, menerbitkan Covid-19 Temporary Measures Act 2020 yang menaikkan ambang minimum utang yang bisa dimohonkan dalam kepailitan. Sebelumnya, utang yang bisa disengketakan paling rendah Sin$ 15 ribu untuk debitor individu. Kini batas minimumnya menjadi Sin$ 60 ribu. Adapun untuk debitor perusahaan, batasnya naik menjadi Sin$ 100 ribu dari semula Sin$ 10 ribu.
Durasi PKPU sementara di Singapura juga diperpanjang, dari sebelumnya 21 hari menjadi 6 bulan. Namun kebijakan itu telah berakhir, hanya berlaku selama enam bulan sejak 20 April 2020.
Australia menerbitkan kebijakan yang mirip. Coronavirus Economic Response Package Omnibus Act 2020 menaikkan ambang minimum utang yang bisa diajukan dalam permohonan PKPU dan kepailitan, dari Aus$ 2.000 menjadi Aus$ 20 ribu. Durasi PKPU sementara yang sebelumnya 21 hari menjadi 6 bulan. Kebijakan ini pun telah berakhir.
Sementara itu, Inggris menerbitkan UK Corporate Insolvency and Governance Act 2020, yang melarang kreditor memohon PKPU atau kepailitan ke perusahaan yang terkena dampak pandemi. Kebijakan ini telah berakhir pada 30 Desember 2020. Kebijakan serupa di Jerman juga tak berlaku lagi mulai 30 April lalu.
Dihubungi pada Kamis, 9 September lalu, Cahyo membenarkan kabar bahwa Kementerian Hukum sedang menimbang sejumlah skema, termasuk mengadopsi kebijakan negara lain. Yang jelas, kata Cahyo, opsi moratorium langsung selama tiga tahun agak berat. “Jangan tiga tahun. Kan, bisa temporary measurement.”
Kementerian Hukum adalah satu dari tiga kementerian yang sedang membahas rencana penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang itu. Kementerian Koordinator Perekonomian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional membahas hal yang sama.
•••
RENCANA ketentuan moratorium penundaan kewajiban pembayaran utang dan kepailitan dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang sebetulnya belum bulat. Pada pertengahan Agustus lalu, perwakilan Istana menghubungi seorang pakar ekonomi, meminta pendapat rencana penerbitan perpu. Ekonom ini mengusulkan pemerintah menempuh cara yang lebih halus, seperti mendorong Otoritas Jasa Keuangan meminta lembaga keuangan menahan permohonan PKPU atau kepailitan.
Akademikus ini juga mengusulkan Kementerian Hukum memainkan perannya untuk meminta lembaga peradilan menerapkan “seolah-olah” moratorium. “Ini karena Presiden Joko Widodo tidak sreg kalau sedikit-sedikit perpu,” ujar sang ekonom yang enggan diungkapkan identitasnya.
Presiden Joko Widodo menerima para perwakilan ketua asosiasi di bidang ekonomi dan bisnis, salah satunya Ketua Apindo, Hariyadi Sukamdani, di Istana Negara, 8 September 2021. Foto: presidenri.go.id
OJK akhirnya membahas opsi tersebut pada pertengahan Agustus. Mereka memanggil perwakilan perbankan, juga pengurus Perhimpunan Bank Nasional dan Perhimpunan Bank-bank Internasional Indonesia. Pembicaraan mengenai moratorium PKPU dan kepailitan itu diselipkan dalam diskusi perpanjangan program pelonggaran restrukturisasi kredit perbankan.
Deputi Komisioner Hubungan Masyarakat dan Logistik OJK Anto Prabowo mengatakan, sebelum memanggil perbankan pada pertengahan Agustus itu, OJK beberapa kali diajak berdiskusi oleh Sekretaris Kabinet mengenai makin banyaknya permohonan PKPU dan kepailitan selama masa pandemi. OJK, Anto menjelaskan, tidak mempermasalahkan PKPU yang berujung damai, tapi senewen jika debitor yang mendapat PKPU malah menjadi default. “Ini kan artinya program restrukturisasi yang sedang kita jalankan enggak ada artinya,” kata Anto saat dihubungi pada Jumat, 10 September lalu.
Tidak spesifik melarang bank memohon PKPU atau kepailitan selama masa pandemi, OJK hanya ingin memastikan debitor yang sedang dalam proses restrukturisasi tidak dinyatakan gagal bayar utang. “PKPU itu memang upaya hukum perbankan kalau debitornya ngeyel,” ucap Anto. “Tapi kan enggak bisa sewenang-wenang begitu. Perbankan juga tidak perlu khawatir, jangan dianggap moratorium ini akan permanen.”
Sementara itu, kasak-kusuk di kalangan praktisi kepailitan menyebutkan Mahkamah Agung telah melakukan kuasi moratorium sejak Juni lalu. Mahkamah Agung, tutur Teddy Anggoro, telah menginstruksikan lima pengadilan negeri yang mengurus perniagaan di Jakarta, Semarang, Surabaya, Makassar, dan Medan agar tidak gampang menjatuhkan putusan PKPU dan pailit. “Ada imbauan untuk memeriksa perkara dengan hati-hati,” ujar Teddy.
Imbauan ini, menurut Teddy, terlihat dari jumlah permohonan PKPU dan kepailitan yang diterima pengadilan. Cahyo membenarkan kabar tentang adanya kuasi ini. Namun dia menyebutkan hal itu belum cukup untuk menahan laju permintaan PKPU dan kepailitan.
*) Data per 11 September 2021 di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Makassar, dan Pengadilan Semarang.
Sementara itu, merasa telat menyorongkan versinya, pengurus Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia mendatangi sejumlah kementerian dan lembaga untuk menjelaskan dasar ketidaksetujuan mereka terhadap usul moratorium. Mereka sudah menyodorkan penjelasan kepada Kementerian Koordinator Perekonomian lewat Raden Pardede, Sekretaris Eksekutif I Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional. “Sejauh ini pandangan yang mereka terima adalah keluhan pengusaha. Padahal Undang-Undang Kepailitan dan PKPU ini bukan hanya untuk debitor, tapi hubungan hukum debitor dan kreditor,” kata Jimmy Simanjuntak, Ketua Umum Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia.
Menolak skema moratorium penuh, Teddy terbuka terhadap opsi-opsi lain yang lebih tertarget. Dia mencontohkan adanya perlindungan kepailitan bagi usaha kecil, menengah, dan mikro seperti yang berlaku di India. Contoh lain, modifikasi peraturan di Inggris yang membuat kreditor tetap bisa memailitkan debitor jika dapat membuktikan penunggak utang bakal bangkrut tanpa pandemi sekalipun. “Sebab, kalau dibuka moratorium penuh, tukang ngemplang utang yang ketawa-ketawa,” ucap Teddy.
Dari awalnya mengusulkan moratorium penuh selama tiga tahun, sikap Apindo kini melunak. Mereka belakangan menyodorkan moratorium sampai revisi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 rampung. Masalahnya, revisi ini bisa saja bakal rampung lewat tiga tahun.
RETNO SULISTYOWATI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo