Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sejumlah sekolah mulai menggelar pembelajaran tatap muka.
Ada kerisauan mengenai learning loss.
Vaksinasi masih di bawah 80 persen untuk siswa, guru, dan pengelola sekolah.
WAJAH para ibu yang menunggu anak mereka di depan gerbang Sekolah Dasar Negeri Sunter Agung 13 Pagi di Graha Sunter Pratama, Sunter Agung, Jakarta Utara, 30 Agustus lalu, tampak semringah. Senin dua pekan lalu itu merupakan hari pertama anak-anak mereka mengikuti pembelajaran tatap muka terbatas. Salah satunya Fitri, yang menunggu putrinya, Anindita, siswa kelas I. "Sebelumnya, sewaktu taman kanak-kanak dia full belajar secara daring," kata Fitri saat ditemui di depan sekolah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Fitri menyaksikan suhu tubuh Anindita dan setiap murid lain dicek sebelum mereka masuk ke sekolah. Saat belajar di kelas, mereka tampak tetap mengenakan masker. Sesekali guru mengingatkan murid yang ketahuan menurunkan masker. Fitri punya sejumlah alasan untuk mendukung pembelajaran tatap muka. Salah satunya putrinya dapat bersosialisasi dengan kawan sekelas serta guru, yang tak didapati selama masa sekolah daring.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SDN Sunter Agung 13 Pagi satu dari 610 sekolah di DKI Jakarta yang mulai menggelar pembelajaran tatap muka alias PTM terbatas. DKI Jakarta menyusul sejumlah daerah lain yang lebih dulu membuka sekolah. Kebijakan itu keluar setelah terbit surat keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Agama, Menteri Kesehatan, serta Menteri Dalam Negeri (SKB 4 Menteri) pada April lalu yang mendorong penyelenggaraan sekolah tatap muka pada tahun ajaran 2021/2022.
Siswa mencuci tangan sebelum masuk ruang kelas di SMA Negeri 1 Boyolali, Jawa Tengah, 6 September 2021/ANTARA/Aloysius Jarot Nugroho
Langkah pemerintah membolehkan sekolah tatap muka disambut gembira, tapi juga dikritik karena diambil di tengah situasi pandemi Covid-19 yang masih jauh dari selesai. Pada 30 Agustus itu, jumlah kasus harian sebanyak 5.436 sehingga total menjadi 4.079.267 kasus, sementara angka pasien sembuh 3.743.716 dan pasien meninggal 132.491. Statistik itu menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke-13 dunia dalam hal jumlah kasus positif dan posisi ke-7 dalam hal jumlah kematian.
Koalisi warga LaporCovid-19 bersama tujuh organisasi masyarakat sipil lain pada Jumat, 3 September lalu, menyampaikan somasi terbuka kepada pemerintah. Mereka menilai pemaksaan penyelenggaraan PTM sebagai tindakan tidak bijak dan berisiko mengorbankan kesehatan anak serta warga sekolah lain. "Belum ada respons dari pemerintah soal ini," ucap salah satu inisiator LaporCovid-19, Irma Hidayana, Rabu, 8 September lalu.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyatakan pihaknya memprioritaskan keselamatan dan kesehatan. Yang boleh menggelar PTM terbatas adalah sekolah yang memenuhi daftar periksa SKB 4 Menteri dan berada di wilayah pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) level I, II, dan III. "Di wilayah PPKM level IV masih melaksanakan pembelajaran jarak jauh," ujar pelaksana tugas Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kementerian Pendidikan, Anang Ristanto, Selasa, 7 September lalu.
Daerah yang mulai menggelar PTM terbatas pada hari yang sama dengan DKI Jakarta adalah Kabupaten Bogor. Kepala Bidang Pembinaan Sekolah Dasar Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor Nur Jannah mengungkapkan, baru sekolah negeri yang mengadakan pembelajaran tatap muka, yang jumlahnya lebih sedikit daripada sekolah swasta. "Ya, kita berharap PTM ini tidak memunculkan kasus atau kluster baru," katanya, Rabu, 8 September lalu.
Kota Jambi salah satu wilayah yang belum mengizinkan pembelajaran tatap muka. Kepala Dinas Pendidikan Kota Jambi Mulyadi mengatakan saat ini instansinya sudah mulai mempersiapkan PTM setelah melihat grafik penurunan kasus Covid-19 yang diraih berkat pengetatan dan penyekatan wilayah. "Semua sekolah diminta mengecek ulang sarana-prasarana PTM yang sudah pernah dicek pada tahun ajaran sebelumnya," tuturnya, Kamis, 9 September lalu.
Kota Padang pun demikian. Kepala Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Padang Junaidi mengatakan sekolahnya juga sedang bersiap, antara lain dengan mengadakan vaksinasi massal pada Senin, 6 September lalu. Sebanyak 90 persen guru sudah divaksin. Adapun dari total 796 siswa, yang telah divaksin baru 500. "Untuk tatap muka, sekolah hanya menunggu kebijakan dari pemerintah kota. Setelah itu, baru minta izin ke orang tua," ujarnya, Kamis, 9 September lalu.
Pemerintah menyadari situasi rentan saat ini sehingga tidak membuka sekolah seperti sebelum pandemi. "Kami menggunakan kata ‘terbatas’ karena memang ada yang dibatasi, meliputi jumlah siswa, durasi waktu berada di sekolah, peniadaan operasi kantin dan kegiatan ekstrakurikuler, serta antisipasi kerumunan saat mengantar dan menjemput anak di sekolah," ucap Anang Ristanto. Sampai awal September lalu, lembaga pendidikan yang menyatakan siap mengadakan PTM lebih dari 50 persen dari total 537.256 instansi, dari lembaga pendidikan anak usia dini hingga sekolah menengah atas.
Sekolah wajib menerapkan protokol kesehatan secara ketat. Sesuai dengan SKB 4 Menteri, yang juga diatur adalah ketersediaan sarana kesehatan dan sanitasi, jumlah siswa yang mengikuti pembelajaran maksimal 50 persen, penataan tempat duduk berjarak minimal 1,5 meter, jadwal dan durasi pertemuan tatap muka, sirkulasi udara di kelas, serta sarana transportasi untuk berangkat dan pulang dari sekolah.
Di SDN Sunter Agung 13 Pagi, misalnya, pembelajaran tatap muka hanya berlangsung satu hari dalam sepekan untuk setiap kelas. Pada 30 Agustus lalu, yang mengikuti PTM hanya siswa kelas I dan IV. Itu pun dibatasi hingga 50 persen atau 16 murid saja per kelas. "Sisanya mengikuti pembelajaran secara daring dari rumah," kata Kepala SDN Sunter Agung 13 Pagi Sri Sulastri. PTM untuk siswa kelas II dan V digelar pada 1 September, sementara bagi murid kelas III dan VI pada 2 September.
Pengaturan serupa dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang mulai menyelenggarakan PTM terbatas pada Senin, 6 September lalu. Menurut Sarjiyono, Kepala SMP Negeri 1 Purwosari, Kabupaten Gunungkidul, dalam uji coba, sekolah membagi satu kelas menjadi dua kelompok. Para siswa belajar selama dua jam secara bergantian. "Tidak ada jam istirahat dan langsung pulang selepas belajar di kelas," ucapnya.
Bagi LaporCovid-19 dan kawan-kawan, yang menjadi pemicu somasi adalah kekhawatiran terhadap potensi penularan virus selama pembelajaran tatap muka. Meski sudah ada syarat protokol kesehatan, yang menjadi persoalan adalah tingkat vaksinasi warga sekolah yang masih jauh dari memadai. Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia, cakupan vaksinasi Covid-19 pada anak-anak seharusnya sekitar 80 persen.
LaporCovid-19 menyatakan kekhawatiran ini bukan tanpa alasan. Sepanjang Juli lalu, mereka mendapat 29 laporan masyarakat tentang PTM di Bogor, Jakarta, Bandung, Bekasi, Bali, dan Tangerang. Sebanyak 17 persen laporan menyebutkan PTM memicu kluster baru penularan Covid-19 dan 52 persen mengungkapkan terdapat pelanggaran protokol kesehatan dalam proses belajar itu. Dinas pendidikan tidak ketat dalam menegakkan prosedur PTM. Selain itu, pengawasan di lapangan tidak berjalan. Bahkan ada kekosongan peran kementerian dalam penegakan aturan.
Angka kasus positif Covid-19 pada anak juga tinggi. Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono pada Juli lalu menyebutkan positivity rate pada kelompok usia anak berada di angka 13 persen, lalu menjadi 15 persen pada bulan berikutnya. Menurut Satuan Tugas Penanganan Covid-19, per 11 Agustus lalu, sebanyak 2,9 persen anak berusia 0-5 tahun terjangkit Covid-19 dengan jumlah korban meninggal 0,5 persen. Di kalangan usia 6-18 tahun, sebanyak 10 persen terkonfirmasi positif Covid-19 dengan angka korban meninggal mencapai 0,5 persen.
Survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sepanjang 2020 mencatat sekitar 350 ribu anak di Indonesia tertular Covid-19 dan sekitar 800 anak meninggal sejak awal pandemi melanda. Sepanjang 2021 sampai Juni lalu, hampir 260 ribu kasus terkonfirmasi adalah kasus anak berusia 0-18 tahun. Lebih dari 108 ribu atau 42 persen di antaranya adalah kasus anak usia sekolah atau pada rentang usia 12-17 tahun.
Kementerian Pendidikan mengakui tingkat vaksinasi siswa dan tenaga pendidik masih kurang dari 60 persen. Menurut Anang, berdasarkan data Sekretariat Nasional Satuan Pendidikan Aman Bencana sampai Ahad, 5 September lalu, guru yang memperoleh vaksin dosis I sebanyak 3,33 juta (60 persen dari 5,5 juta) dan penerima dosis II mencapai 2,14 juta (39 persen). Sedangkan anak berusia 12-17 tahun yang mendapat vaksin dosis I sebanyak 2,88 juta (11 persen dari 26,7 juta) dan penerima dosis II mencapai 2,03 juta (8 persen). "Sejumlah upaya percepatan vaksinasi terus dilakukan," kata Anang.
KPAI menyampaikan keprihatinan mengenai kurangnya tingkat vaksinasi ini. Dalam pernyataan pada 30 Agustus lalu, komisioner KPAI, Retno Listyarti, mengajukan syarat penyelenggaraan pembelajaran tatap muka PTM. Selain penerapan protokol kesehatan, tingkat vaksinasi harus dipastikan mencapai minimal 70 persen. "Kalau hanya guru yang divaksin, kekebalan komunitas belum terbentuk, karena jumlah guru hanya sekitar 10 persen dari jumlah siswa," ujarnya.
Memahami kekhawatiran mengenai ancaman infeksi ini, pemerintah dan sekolah tetap memberi opsi pembelajaran jarak jauh (PJJ). "Kami selalu menekankan bahwa keputusan akhir terkait dengan partisipasi peserta didik tetap berada pada orang tua. Jika orang tua belum menyetujui, anak dapat terus menjalankan PJJ, dan sekolah wajib memfasilitasi peserta didik yang mengikuti PJJ ataupun PTM terbatas," tutur Anang.
•••
BANYAK faktor yang melatari langkah pemerintah memutuskan mengizinkan pembelajaran tatap muka terbatas. Menurut Anang Ristanto, selama masa pandemi Covid-19, pemerintah terus mengevaluasi pelaksanaan proses belajar, termasuk pembelajaran jarak jauh. "PTM terbatas merupakan solusi terbaik untuk berbagai tantangan yang kita hadapi sekarang, antara lain belum meratanya ketersediaan infrastruktur teknologi yang mendukung, latar belakang sosial-ekonomi pelajar, kemampuan orang tua dalam mendampingi anak belajar dari rumah, serta kurangnya interaksi yang dibutuhkan pelajar, terutama siswa pendidikan dasar," katanya.
Anang mengatakan kurangnya interaksi antara guru dan siswa memberikan dampak negatif terhadap kesehatan dan perkembangan psikologis anak. Selain itu, sudah terjadi kasus anak-anak yang putus sekolah karena tidak memperoleh pendidikan optimal selama masa pandemi. Pelajar perempuan menunjukkan tingkat kerentanan putus sekolah lebih tinggi. "Kita tentu tidak dapat membiarkan dampak negatif dari kurangnya efektivitas PJJ terus terjadi, di samping risiko-risiko jangka panjangnya," ujarnya.
UNICEF Indonesia menilai sekolah jarak jauh melalui Internet, televisi, radio, dan materi berbasis kertas adalah alat penting untuk membantu anak-anak tetap belajar selama masa penutupan sekolah. Namun jangkauan layanan ini terbatas, terutama bagi anak-anak di daerah terpencil dan tertinggal, juga penyandang disabilitas. "PJJ tak dapat menggantikan efektivitas PTM, tapi telah menjadi langkah yang sangat penting pada saat sekolah ditutup karena Covid-19," tutur Kepala Bidang Pendidikan UNICEF Indonesia Katheryn Bennett, Rabu, 8 September lalu.
Menurut Bennett, hambatan utama untuk mengakses PJJ adalah koneksi Internet yang buruk. Dalam studi baru-baru ini oleh UNICEF, UNDP, Australia Indonesia Partnership for Economic Development (Prospera), dan SMERU Research Institute, sekitar 57 persen rumah tangga melaporkan koneksi Internet yang buruk sebagai kendala utama pembelajaran dari rumah. Di daerah terpencil seperti Papua, hampir 70 persen rumah tangga tidak memiliki akses Internet.
Selain itu, Bennett menambahkan, banyak siswa, terutama yang berasal dari keluarga miskin, tak memiliki komputer atau perangkat pembelajaran lain. Karena itu, mereka harus berbagi telepon seluler dengan saudara, orang tua, atau teman untuk mengerjakan tugas sekolah. Tantangan lain datang dari masalah yang dihadapi guru. Bennett menyebutkan sekitar 67 persen guru, menurut penelitian UNICEF tahun ini, melaporkan kesulitan mengoperasikan perangkat dan menggunakan platform pembelajaran daring.
Tekanan sosial-ekonomi akibat pandemi pada rumah tangga juga membuat banyak orang tua tidak dapat mendukung anak-anak mereka untuk mengikuti sekolah daring secara efektif. Bennett menuturkan, tidak mengherankan sebuah penelitian baru-baru ini menemukan 28,7 persen orang tua melaporkan mereka tidak memiliki cukup waktu untuk membantu anak-anak belajar dari rumah.
Soal inilah yang menjadi salah satu pemicu kepeningan orang tua. Arif Wahyudi, warga Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, misalnya. Bapak dari Ahza Alaric, 7 tahun, siswa kelas I SD Muhammadiyah Ngemplak, Sleman, ini mengaku anaknya kesulitan mengikuti PJJ. Sejak pandemi merebak, Ahza, yang baru masuk sekolah, sama sekali tidak bisa membaca dan menghitung. Selama masa pembelajaran daring, gurunya lebih banyak memberikan tugas.
Arif menilai PJJ tidak efektif dan merepotkan. Sekolah online justru membuat anaknya ketagihan bermain game karena ponsel menjadi satu-satunya sarana belajar. Ia juga harus mengeluarkan uang tambahan untuk biaya les sebesar Rp 250 ribu supaya anaknya bisa membaca dan menghitung. Ia sangat khawatir anaknya ketinggalan pelajaran alias mengalami learning loss. "Kalau dibiarkan, bisa menyuburkan pembodohan siswa," ucapnya.
Dwi Seobawanto, Koordinator Forum Orang Tua Siswa—lembaga yang ikut mensomasi pemerintah bersama LaporCovid-19—memahami kerisauan mengenai learning loss itu. Menurut dia, masalah itu antara lain bisa dimitigasi dengan memaksimalkan PJJ. "Salah satunya seperti metode belajar jarak jauh Universitas Terbuka," katanya, Rabu, 8 September lalu. Ia menegaskan pentingnya menjaga keselamatan siswa sebagai bagian dari kewajiban negara. "Kalau nanti sekolah menjadi pusat pandemi Covid-19, wah, ngeri sekali."
Pemberian materi pembelajaran kepada murid SMPN 2 Bekasi dengan kombinasi tatap muka terbatas dan secara daring di Bekasi, Jawa Barat,1 September 2021/ANTARA/ Fakhri Hermansyah
Menurut Media and Brand Manager Save the Children Indonesia Dewi Sri Sumanah, studi global yang menemukan fakta bahwa 7 dari 10 anak mengatakan hanya sedikit belajar selama masa pandemi jelas menggambarkan kesulitan belajar daring. Dalam situasi seperti itu, Dewi menambahkan, penyelenggara sekolah harus berpikir dan bertindak cepat. Misalnya memakai model kunjungan guru atau memanfaatkan stasiun radio komunitas untuk pembelajaran. "Daring itu bukan satu-satunya opsi PJJ," ujarnya, Kamis, 9 September lalu.
Ketua Umum Pengurus Besar Persatuan Guru Republik Indonesia Unifah Rosyidi menilai vaksinasi merupakan syarat penting pembelajaran tatap muka untuk mencegah penularan Covid-19. Kalau ada kasus positif, sekolah pun harus berani menghentikan proses belajar tatap muka serta segera melakukan pengetesan dan pelacakan. Pada Selasa, 7 September lalu, Unifah menuturkan, "PTM ini dirindukan, tapi juga dikhawatirkan." Untuk jangka panjang, dia berharap pemerintah serius menyiapkan pola baru dalam pendidikan karena kita tak bisa lagi kembali sepenuhnya ke kondisi seperti sebelum pandemi.
ADAM PRIREZA, ADE RIDWAN (DEPOK), M.A. MURTADHO (BOGOR), SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA), RAMOND EPU (JAMBI), FEBRIANTI (PADANG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo