Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Sebanyak 44 narapidana tewas akibat kebakaran di Lapas Tangerang.
Apa yang sebenarnya terjadi dalam kebakaran Lapas Tangerang?
Narapidana kabarnya bisa memakai telepon genggam dengan bebas.
SUARA sirene tanda bahaya menggerung-gerung dari dalam Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Tangerang, Banten, Rabu dinihari, 8 September lalu. Tiga kali suara lonceng terdengar, tanda kebakaran sedang terjadi. Sesaat sebelumnya, pukul 01.45, petugas di menara jaga melihat api berkobar di Blok Chandiri 2 atau C2 Lapas Tangerang.
Ketika api melalap blok tersebut, sejumlah petugas menyiramkan air dari ember. Kejadian itu terlihat dalam video kebakaran berdurasi 38 detik yang diperoleh Tempo. “Siram! Siram! Siram! Di tengah (api) masih gede,” sipir penjara berteriak. Dari rekaman itu terlihat kabut asap pekat bercampur dengan nyala api yang melalap bagian dalam dan atap penjara.
Sebanyak 12 branwir datang sekitar pukul 2 pagi. Satu jam menjelang subuh, geni baru padam. Rekaman video lain yang didapat Tempo menunjukkan dua tubuh manusia rebah di dalam sel tanpa selembar pun pakaian. Sebagian kulitnya terlihat kemerahan bekas terbakar.
Ada 122 narapidana menghuni blok C2, 57 di antaranya menghuni 19 sel dan sisanya di aula di tengah bangunan. Pagi itu, tercatat 41 narapidana meninggal akibat kebakaran. Belakangan, tiga napi meninggal di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang. Tewasnya 44 narapidana itu merupakan yang terburuk dari kebakaran berbagai penjara di negeri ini.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Hamonangan Laoly mengatakan petugas lembaga pemasyarakatan mencoba membuka 19 sel yang terkunci. Tapi api yang membesar membuat mereka tak sempat membuka sejumlah ruang tahanan. Petugas pun mencoba memadamkan api, tapi gagal. “Kami akan memberikan santunan Rp 30 juta kepada keluarga korban meninggal,” tutur Yasonna.
Seorang pejabat Kementerian Hukum bercerita, sesuai dengan prosedur tetap di lembaga pemasyarakatan, dinihari itu ada 13 sipir yang bertugas jaga. Mereka tersebar di tujuh blok, A sampai G, dan Blok Menara yang berisi penghuni baru yang sedang menjalankan masa pengenalan lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca: Kisah Pertobatan Narapidana Narkotik di Dalam Penjara
Pejabat lain di Kementerian Hukum yang mendapat informasi dari saksi mata bercerita, petugas di jaga Blok C2 Lapas Tangerang diduga tidak berada di tempat. Saat narapidana berteriak-teriak ada api di plafon dan meminta pintu sel dibuka, petugas tak mendengarnya. Setelah api menyala sekitar 15 menit, barulah seorang sipir menyadari peristiwa tersebut.
Sumber yang pernah bertugas di Lapas Tangerang menduga petugas terlambat membuka pintu sel—dengan kunci berbeda-beda—karena kuncinya disimpan di pos jaga di tengah lembaga pemasyarakatan. Untuk sampai di Blok C2, petugas harus melewati tiga gerbang. Kalaupun petugas berada di blok itu, dibutuhkan waktu sekitar 10 menit untuk bolak-balik mengambil kunci dan kembali ke blok tersebut.
Menteri Yasonna enggan berkomentar soal dugaan kelalaian dalam kebakaran tersebut. Begitu pula Kepala Seksi Pelayanan Tahanan Lembaga Pemasyarakatan Tangerang Hilman Gunawan. “Itu materi penyelidikan di kepolisian,” kata Hilman.
Adapun Direktur Reserse Kriminal Umum Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya Komisaris Besar Tubagus Ade Hidayat mengatakan polisi mendalami dugaan tindakan kelalaian sebagai salah satu penyebab kebakaran. “Penyelidikan masih berjalan,” ucap Ade Hidayat.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEBAKARAN di Lembaga Pemasyarakatan Tangerang diduga terjadi karena korsleting listrik. Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly menyatakan penjara yang beroperasi sejak 1979 itu tak pernah menjalani perbaikan instalasi listrik. “Ada penambahan daya, tapi instalasi tidak diperbaiki,” ujar politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.
Yasonna pun mengatakan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IA Tangerang tersebut mengalami kelebihan penghuni sekitar 400 persen dari kapasitas. Seharusnya, penjara itu hanya bisa menampung 600 orang. Tapi tercatat ada 2.072 warga binaan di sana.
Seorang pejabat di Kementerian Hukum yang mendengar cerita saksi mata mengatakan api ditengarai berasal dari plafon bangunan. Para narapidana kerap mengambil listrik dari lampu yang menyala untuk mengisi ulang baterai telepon seluler. Padahal narapidana dilarang membawa dan menggunakan alat komunikasi di dalam penjara.
Menurut pejabat yang pernah bertugas di lembaga pemasyarakatan ini, pencurian listrik itu bisa berjalan rutin bertahun-tahun karena ada kerja sama antara narapidana dan sipir. Penggunaan ponsel oleh para narapidana pun diketahui oleh petugas. Akibat tindakan yang dilarang itu, terjadilah korsleting listrik.
Baca: Solusi Narkoba di Luar Penjara
Kabar tentang penggunaan ponsel itu dibenarkan oleh Nursin, orang tua dari Rezkil Khaerul, 22 tahun, korban meninggal. Nursin bercerita, sekitar satu jam sebelum kebakaran, anaknya masih mengirimkan pesan obrolan kepadanya.
Cerita serupa disampaikan Angela, kerabat Petra Eka, alias Ectus, 25 tahun, narapidana kasus narkotik yang meninggal. Angela bercerita, empat hari sebelum kebakaran itu, Ectus menghubungi ibunya. “Dia video call dengan mamanya, kakak saya, Evi,” ujarnya.
Angela mengaku beberapa kali memberikan uang kepada keponakannya untuk membeli ponsel. Telepon itu dibelinya dari sesama narapidana. Menurut Angela, Ectus sudah beberapa kali berganti ponsel. Suatu kali, petugas memergoki Ectus menggunakan ponsel dan kemudian disita.
Petugas berdiri di antara kantong jenazah korban kebakaran Lapas Klas 1 Tangerang di RSUD Kabupaten Tangerang, Tangerang, Banten, , 8 September 2021. TEMPO/Hilman Fathurrahman W
Kepala Lembaga Pemasyarakatan Tangerang Viktor Teguh menyatakan tak mengetahui ada penggunaan ponsel di dalam penjara. Ia mengatakan akan menyelidiki kabar tersebut. “Itu kenakalan yang tidak boleh terjadi,” tuturnya.
Tak hanya untuk ponsel, Angela beberapa kali mentransfer uang untuk biaya sewa kamar kemenakannya itu. Ia lalu menunjukkan sejumlah bukti transfer ke rekening atas nama Saripah dan Siti Baruroh. Ectus pernah bercerita kepada Angela, ia harus membayar Rp 500 ribu untuk biaya sewa kamar di Blok C2. Saat itu, Ectus baru dipindahkan dari Lembaga Pemasyarakatan Cipinang.
Baca: Banjir Tausiah di Blok Santri
Pun Angela pernah mentransfer uang setelah Ectus menghubunginya dan bercerita dia diancam akan dipindahkan ke Palembang oleh petugas lembaga pemasyarakatan. Sipir itu meminta duit Rp 5 juta agar Ectus tak dipindahkan. Setelah bernegosiasi, disepakati biaya penggagalan transfer itu Rp 1,5 juta.
Pada kesempatan lain, Angel mengirim uang Rp 1,5 juta untuk pengurusan pembebasan bersyarat. Ectus baru keluar pada Februari 2022. Dengan duit itu, ia disebut-sebut bakal bebas pada Agustus 2021. Namun, setelah uang ditransfer, petugas yang meminta duit dipindah ke lembaga pemasyarakatan lain.
Satu jam sebelum kebakaran terjadi di Blok Chandiri 2 Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Ectus mengunggah fotonya berangkulan dengan dua sahabat masa kecilnya. Ia pun menuliskan keinginannya untuk pulang ke rumah. “Dia memang mau pulang dan rindu dengan keluarga,” kata Angela.
JONIANSYAH HARDJONO, GANGSAR PARIKESIT
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo