Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Kayu Penopang dari Limbah Padi dan Plastik

Plana memproduksi alternatif kayu dari sekam dan sampah plastik. Produknya mulai ramai dipakai untuk dekorasi ruangan dan bahan baku perabotan.

 

27 Agustus 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja beraktivitas di Pabrik Plana, Legok, Tangerang, Banten, 26 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKILAS pandang, instalasi kayu di dinding, lantai, dan perabotan di area presentasi Grup Hyundai Motors Indonesia dalam pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS) 2022 tampak normal. Namun, siapa sangka, gerai seluas 45 meter persegi di Hall 1A Indonesia Convention Exhibition (ICE) BSD City itu dipasangi material serupa kayu yang terbuat dari sekam padi dan sampah plastik. Dinamai "Sustainability Area", konsep ramah lingkungan itu ditampilkan Hyundai bersama Plana—salah satu entitas pengusung ekonomi daur ulang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Co-founder Plana, Juan Apriliano Chandra, mengatakan ide produksi Plana Wood—nama material kreasi perusahaannya—sudah muncul sejak 2015. Pria kelahiran 1996 ini belajar banyak dari bisnis manufaktur plastik yang sudah digeluti keluarganya selama dua dekade. Pabrik plastik yang mereka bangun di Jatake, Kabupaten Tangerang, biasa memproduksi plastik untuk komponen mobil dan barang elektronik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Alih-alih mengandalkannya sebagai alternatif besi, menurut Juan, publik lebih cenderung mengembangkan plastik menjadi material yang lebih lemah dari kertas, misalnya kantong kresek. Benda polimer itu malah sering menjadi sampah karena jumlahnya yang berlebih. “Kami ingin sesuatu yang baru, karena plastik sebenarnya sangat eco-friendly. Lalu, ayah dan paman saya mengembangkan formula material Plana Wood,” ujar Juan saat bertemu Tempo di pabrik Plana di kawasan Legok, Kabupaten Tangerang, kemarin.  

Pada dasarnya, komposisi "kayu" Plana terdiri atas 60 persen sekam, 30 persen sampah plastik, dan sisanya zat aditif. Hasil produksi material itu dijual manajemen dalam hitungan meter persegi (m2). Masing-masing hitungan m2 itu terdiri atas 9 batang Plana Wood seberat total 2,4 kilogram. “Berarti ada hampir satu setengah kilogram (limbah) gabah dan 1 kilogram sisa plastik yang terpakai,” tutur Juan.

Co-Founder Plastic For Nature (Plana), Juan Aprilliano Chandra di Pabrik Plana, Legok, Tangerang, Banten, 26 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Dengan kapasitas pabrik yang bisa memproduksi 100 m2 Plana Wood per hari, dia menghitung, sehari-hari perusahaan dapat memanfaatkan 1,5 ton sekam dan 1 ton plastik. Produk entitas yang baru dikukuhkan pada tahun lalu ini sudah banyak dipakai untuk decking atau penutup lantai area luar rumah, panel dinding, serta instalasi langit-langit. Namun Plana pun menerima proyek pesanan berkonsep pemahatan, dari meja, kursi, hingga perabotan lainnya.

Dengan modal independen, Juan dan keluarganya sudah memulai produksi tiruan kayu itu selama enam tahun terakhir. Pabriknya sempat berpindah-pindah dari Jatake, Cikarang, hingga akhirnya di Legok. Dengan misi mempopulerkan produk ramah lingkungan, Plana akhirnya disematkan sebagai merek komersial pada material tersebut sejak 2021—bersamaan dengan pengukuhan perusahaannya. Meski tak merinci angkanya, Juan menyebut butuh investasi hingga miliaran rupiah untuk masa awal pengembangan Plana Wood.

Misi Lingkungan dalam Plana

Konsep ekonomi sirkuler pun dijalankan, mengingat material Plana Wood berasal dari sekam yang tak termanfaatkan. Menggandeng beberapa komunitas petani di area Tangerang, Juan mengaku tak rumit mengejar bahan baku. Dari produksi 1 kilogram beras saja, kata dia, ada 500-700 gram sekam. Nama Plana sendiri merupakan singkatan dari kalimat "peduli alam Nusantara". “Niat kami jelas, yaitu ikut mengurangi deforestasi (penggundulan hutan), karena konsumsi kayu di Indonesia tinggi sekali,” kata dia.

Dibanding jati atau jenis kayu lain yang mudah ditumbuhkan, hasil hutan yang sangat ingin direplikasi oleh Plana adalah pohon ulin. Sering disebut kayu besi, tanaman khas Kalimantan itu sangat diminati pasar karena awet dan kokoh. Bibit kayu dengan nama ilmiah Eusideroxylon zwageri ini juga yang sempat ditanam di belakang Istana Kepresidenan oleh Raja Salman dari Arab Saudi saat berkunjung ke Indonesia pada Maret 2017.   

Sayangnya, Juan meneruskan, pertumbuhan pohon ulin tergolong lambat, berkisar 30-50 tahun. Karena kerap diperdagangkan, baik secara resmi maupun ilegal, populasinya terus berkurang. International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) bahkan menaruh ulin ke dalam daftar spesies tanaman rawan punah (red list species).

“Ironis sekali, saat pemilik rumah kayu yang mengaku ingin mendapat suasana natural, justru malah melukai alam,” kata Juan. Meski belum bisa memastikan produknya 100 persen persis dengan kayu ulin, Juan mengatakan terus mengembangkan ketahanan produknya. Sejauh ini, dia mengklaim, tak ada keluhan soal Plana Wood.

Pekerja mengangkat Plana Wood Decking di Pabrik Plana, Legok, Tangerang, Banten, 26 Agustus 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis

Dia mengakui produk pengganti kayu ini tak mudah diserap saat pertama ditawarkan ke pasar pengguna. Harganya memang separuh harga produk kayu ulin, namun kerap dianggap lebih mahal dari material lain yang dipakai untuk perabotan dan instalasi, misalnya polivinil klorida (vinyl) ataupun high pressure laminate (HPL).

“Kalaupun ada yang menolak, umumnya karena bujet, jadi kami memiliki pasar tersendiri,” ucap Juan. Harga merek Plana yang terlaris, yaitu Plana Wood Decking selebar 15 sentimeter—Juan mencontohkan—berkisar Rp 1 juta per meter persegi.

Seiring waktu, Plana Wood mulai melanglang buana ke berbagai pameran. Tak hanya di GIIAS 2022 yang berakhir pada 21 Agustus lalu. Produk daur ulang ini pun sempat mampir di International Indonesia Waste Expo (IIWAS) Trisense Bali 2022 pada April lalu, serta pameran Ashta District 8, dua bulan setelahnya. Material produksi Plana pun sudah dipakai di Sumatera, Sulawesi, dan Bali.

Menurut Juan, perhelatan global sekelas G-20 menjadi batu loncatan baru bagi Indonesia untuk beradaptasi dengan iklim ekonomi sirkuler. Di banyak negara, khususnya kawasan Eropa, pemerintah kerap memanjakan pelaku usaha produk daur ulang dengan insentif. “Paling lambat dalam 3-5 tahun ke depan, cara pandang konsumen terhadap bisnis ini akan berkembang,” ucapnya. “Kami jadi semakin semangat.”

YOHANES PASKALIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus