Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Langkah Bank Indonesia menahan kenaikan suku bunga acuan BI 7-Days Reverse Repo Rate di level 3,5 persen menimbulkan konsekuensi di pasar keuangan. Pasalnya, tren bank sentral negara-negara di dunia saat ini adalah menaikkan suku bunga acuannya untuk meredam lonjakan inflasi. Bank sentral Amerika Serikat (The Fed), misalnya, memutuskan untuk mulai meninggalkan kebijakan suku bunga rendah dengan mengerek suku bunga acuannya 75 basis poin ke kisaran 0,75-1 persen setelah inflasi di Negeri Abang Sam hampir menembus 9 persen secara tahunan pada Mei lalu.
Ekonom Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menuturkan, hal tersebut membuat selisih bunga dengan negara-negara lain kian tipis, sehingga memunculkan risiko arus modal keluar (capital outflow). “Kebijakan ini berpotensi mendorong arus modal keluar, terutama pada saat negara maju sudah mulai melakukan kenaikan lebih dulu,” ujarnya kepada Tempo, kemarin, 22 Juli 2022.
Menurut data Bank Indonesia, aliran modal asing keluar pada 18-21 Juli mencapai Rp 4,21 triliun di pasar keuangan domestik.
Karyawan melintas di depan layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, 4 Juli 2022. Tempo/Tony Hartawan
Nilai tukar rupiah dan indeks harga saham gabungan (IHSG) pun berpotensi bergejolak jika asing menarik dana dan portofolionya keluar dari dalam negeri. Pada hari pengumuman kebijakan suku bunga acuan, Kamis lalu, kurs rupiah melemah hingga menembus Rp 15 ribu per dolar Amerika Serikat di pasar spot. Sedangkan IHSG memerah akibat terkoreksi 0,15 persen. “Jika dibandingkan dengan negara-negara lain, langkah BI ini behind the curve (menunggu di belakang kurva atau strategi beraksi belakangan untuk mengobati).”
Namun, Yusuf berujar, berdasarkan konteks investasi dan permodalan saat ini, imbal hasil yang ditawarkan oleh surat utang, khususnya surat utang pemerintah, relatif bersaing. Terlebih jika dibandingkan dengan negara-negara selevel. “Ini yang kemudian bisa menjadi pendorong investor untuk bisa masuk kembali ke pasar keuangan Indonesia.”
Ekonom MNC Sekuritas, Tirta Citradi, mengatakan selisih nominal suku bunga acuan Indonesia dengan AS berpotensi kian lebar jika The Fed kembali menaikkan suku bunga acuannya. “Kalau The Fed menaikkan 75 bps lagi, perbedaan suku bunga semakin sempit di kisaran 100-125 bps, padahal sebelumnya 325-350 bps.”
Associate Director of Research Pilarmas Investindo, Maximilianus Nicodemus, mengimbuhkan, hal tersebut menimbulkan kekhawatiran di kalangan investor karena akan membuat daya tarik investasi di Indonesia semakin lemah. “Apalagi ditambah dengan capital outflow yang juga berpotensi semakin besar, hingga akan mendorong pelemahan rupiah dan IHSG lebih dalam lagi,” kata dia.
Menurut Nico, upaya yang bisa dilakukan saat ini adalah terus menjaga kinerja fundamental perekonomian agar tetap menarik investor asing menempatkan dananya di Indonesia. “Namun untuk sementara waktu tidak dapat dimungkiri akan terjadi koreksi sebagai respons pasar akan hal itu.”
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo sebelumnya mengatakan kebijakan bank sentral menahan kenaikan suku bunga acuan adalah mempertimbangkan kondisi inflasi yang dinilai masih terjaga sesuai dengan ekspektasi di target kisaran pemerintah 3 plus-minus 1 persen. “Keputusan ini konsisten dengan inflasi inti yang tetap terjaga di tengah risiko perlambatan ekonomi global terhadap perekonomian dalam negeri,” ucapnya.
GHOIDA RAHMA
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo