Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pekerja Bersiap Lawan Penetapan Upah Minimum

Pekerja menilai pemerintah dan pengusaha sudah memiliki acuan soal upah minimum. Formulasi upah minimum terbaru tak mempertimbangkan kebutuhan hidup layak.

16 November 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aksi buruh menuntut kenaikan UMP sebesar 10 persen di depan kantor Balaikota DKI Jakarta, 26 Oktober 2021. TEMPO/Daniel Christian D.E

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Serikat pekerja bersiap menggelar protes besar-besaran hingga mogok nasional untuk menentang penetapan upah minimum 2022.

  • Formulasi upah minimum 2022 sangat jauh dari penghitungan pekerja.

  • Pengusaha menantang pekerja untuk membuktikan formulasi upah minimum.

JAKARTA – Serikat pekerja mengaku kecewa akan formulasi kenaikan upah minimum provinsi (UMP) 2022 yang menurut pemerintah rata-rata 1,09 persen. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat, menyatakan formulasi upah minimum kali ini tidak layak dan merugikan pekerja.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mirah menyesalkan pemerintah yang memaksakan penetapan upah minimum 2022 dengan memakai basis Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan regulasi turunannya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. “UU Cipta Kerja masih dalam proses gugatan di Mahkamah Konstitusi, seharusnya pemerintah menghormati proses itu dengan tidak lebih dulu memakainya sebagai basis penghitungan upah,” kata dia, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pekerja menghendaki penghitungan kenaikan upah minimum didasarkan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bukan Undang-Undang Cipta Kerja. Mirah mengeluhkan sikap pemerintah dalam forum tripartit yang tampak condong kepada pelaku usaha, alih-alih membela pekerja. “Kami seperti tidak dilibatkan dalam diskusi karena mereka sudah memiliki acuan sendiri.”

Karena itu pula, kata Mirah, hari ini sejumlah serikat pekerja akan menggelar konsolidasi untuk menyikapi putusan kenaikan upah minimum 2022 yang jauh dari harapan mereka. “Ada beberapa bentuk penolakan, dari unjuk rasa besar hingga mogok nasional,” kata dia.

Aksi buruh yang tergabung dalam FSP LEM SPSI di kawasan Patung Kuda, Monas, Jakarta Pusat, 10 November 2021. TEMPO/Ridho Fadilla

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal, mengatakan, setelah merebaknya pandemi Covid-19, daya beli masyarakat dan buruh menurun sehingga pengusaha serta pemerintah harus mengembalikannya seperti semula. Menurut dia, kenaikan upah minimum paling sedikit 7 persen bakal mengerek konsumsi masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi ikut terdongkrak.

Said mengatakan survei kebutuhan hidup layak yang dilakukan serikat pekerja mencakup kebutuhan sewa rumah, transportasi, hingga kenaikan barang konsumsi yang signifikan pada masa pandemi. “Bila pengusaha dan pemerintah tidak mempertimbangkan usul buruh ini, akan ada aksi besar-besaran secara terus-menerus,” ucapnya.

Di sisi lain, pengusaha mengaku kesulitan jika harus memenuhi tuntutan pekerja yang meminta kenaikan upah minimum 7-10 persen. Ketua Himpunan Pengusaha Pribumi Indonesia (HIPPI) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang, mengatakan kenaikan upah minimum sebaiknya tidak dipaksakan dan harus didasarkan pada data ekonomi terbaru. “Pertumbuhan ekonomi DKI Jakarta saja hanya sebesar 2,43 persen di kuartal III, di bawah pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 3,51 persen,” ujar dia.

Sarman berharap penetapan upah minimum mengacu pada data Badan Pusat Statistik masing-masing provinsi. Variabel yang menjadi indikator adalah pertumbuhan ekonomi, inflasi, paritas daya beli, tingkat penyerapan tenaga kerja, hingga median upah.  

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Hariyadi Sukamdani, mempertanyakan penghitungan kenaikan upah pekerja. “Coba dijelaskan angka itu mengacu pada aturan mana, dasarnya apa, karena terus terang kami tidak tahu dasarnya apa,” ucap dia.

Menurut Hariyadi, penetapan upah minimum harus mengacu pada UU Cipta Kerja maupun turunannya. Dengan demikian, ketentuan soal kebutuhan hidup layak seharusnya tidak lagi dijadikan acuan. “Kalaupun kami melakukan penghitungan mengacu pada komponen hidup layak, hasilnya malah upah tidak naik karena kami juga memasukkan komponen yang lain, seperti inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang memang sedang drop,” ujarnya.

GHOIDA RAHMAH
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus