PROSES panjang yang ditempuh Bahana Pembinaan Usaha Indonesia (BPUI) untuk menyelesaikan restrukturisasi utangnya di BPPN ternyata tak sia-sia. Jumat malam pekan lalu, lembaga yang bertugas menyehatkan sektor perbankan itu menyetujui skema restrukturisasi utang Bahana yang telah digodok selama tiga bulan terakhir dan menghabiskan biaya Rp 3 miliar.
Seperti diketahui, negosiasi itu berlangsung alot, antara lain karena prinsip bahwa negara—yang diwakili BPPN—tak boleh dirugikan. Utang Bahana kepada BPPN seluruhnya berjumlah Rp 2,77 triliun dan US$ 77,97 juta. Dalam skema restrukturisasi, Bahana akan membayar utangnya secara tunai sebesar Rp 300 miliar. Kemudian Rp 250 miliar lagi ditukar dengan saham, sehingga 99 persen saham Bahana beralih ke tangan BPPN. Dengan solusi itu, kepemilikan saham Bank Indonesia di Bahana menyusut tinggal 0,83 persen, sedangkan saham pemerintah tersisa 0,17 persen.
Selain itu, Bahana menerbitkan obligasi berjangka waktu 10 tahun sebesar Rp 2,2 triliun dengan bunga 14,11 persen per tahun dan US$ 78 juta dengan bunga 1,8 persen setahunnya. Kedua surat utang tersebut tanpa kupon (zero coupon straight bond) dan dari obligasi tersebut BPPN berharap memperoleh hasil 20 persen atau sekitar Rp 600 miliar.
Bukan mustahil obligasi tersebut bakal dibeli para debitor Bahana dalam upaya menyelesaikan utang mereka. Bila hal itu terjadi, pemerintah mengalami kerugian pajak. "Tapi pembelian obligasi oleh debitor Bahana mungkin tak terelakkan karena terjadi di pasar," ujar sumber TEMPO di pemerintahan.
Pagi hari sebelum kesepakatan diteken, Deputi Asset Management Credit (AMC) BPPN, Mohammad Syahrial, mengatakan bahwa pihaknya optimistis restrukturisasi utang Bahana akan segera disetujui. Pembahasan di tingkat BPPN, menurut dia, sudah selesai. Selanjutnya, usul restrukturisasi itu akan dibahas di tingkat Komite Pengawas (Oversight Committee) BPPN.
Hari Senin pekan ini, menurut rencana, Iyal, panggilan akrab Syahrial, akan bertemu dengan Ketua Komite Pengawas BPPN, Mar'ie Muhammad. "Pak Mar'ie tampaknya juga akan merekomendasikan skema tersebut. Ia sudah bilang agar masalah ini bisa cepat diselesaikan," ujar Iyal. Setelah itu, di level Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK), tinggal ditunggu lampu hijau dari Menteri Koordinator Perekonomian, Dorodjatun Kuntjoro-Jakti, yang sedang mengikuti kunjungan Presiden ke pertemuan APEC di Meksiko.
Sekretaris KKSK, Lukita Dinarsyah Tuwo, mengaku telah melakukan pertemuan pendahuluan dengan BPPN soal restrukturisasi utang Bahana. "Itu sekadar sosialisasi. Kami belum membahas isi restrukturisasi utang tersebut," ujarnya. Pihak KKSK, menurut dia, baru akan membahas setelah keputusan BPPN memperoleh lampu hijau dari komite pimpinan Mar'ie.
Iyal mengakui, restrukturisasi utang merupakan pilihan terbaik ketimbang likuidasi atau lelang utang Bahana. Kalau dilelang, aset kredit Bahana paling tinggi dihargai Rp 350 miliar. Sedangkan likuidasi hanya akan menghasilkan uang Rp 200-300 miliar—kendati Bahana memperkirakan bisa mencapai Rp 525-875 miliar.
Sementara itu, pemerintah masih harus mengeluarkan duit kontan untuk membayar pesangon karyawan dan berbagai keperluan lain. Belum lagi pemerintah kehilangan peluang memperoleh keuntungan dari bisnis jasa keuangan Bahana yang sebetulnya masih prospektif. "Bidang garapannya sangat bagus. Jadi, sebaiknya kita perbaiki saja wajahnya," kata Iyal.
Bagi para eksekutif Bahana, rampungnya restrukturisasi utang tentu sangat melegakan. Apalagi, sebelumnya, mereka sempat khawatir lantaran iklan penjualan aset kredit BPPN yang dimuat di beberapa media massa, Senin dua pekan lalu. Dalam iklan tersebut, aset kredit milik Bahana ikut bertengger di antara ratusan aset kredit yang akan dijual BPPN dalam proses lelang secara paket bersama obligor BUMN lainnya.
Tak pelak, pengumuman lelang itu menimbulkan rasa saling curiga di antara sesama pemimpin Bahana. Soalnya, saat itu proses restrukturisasi utang Bahana masih belum rampung. BPPN sendiri dalam suratnya bertanggal 9 Oktober 2002 masih memberi waktu sampai tanggal 18 Oktober 2002 kepada para direksi BUMN untuk menandatangani perjanjian restrukturisasi utang. Lalu siapa yang punya ulah sehingga aset kredit Bahana bisa mencuat dalam pengumuman lelang?
Ada kabar angin, masuknya BPUI dalam tumpukan ratusan aset kredit yang akan dijual putus ke para investor itu tak lain karena permainan oknum direksi Bahana sendiri. Nama yang disebut-sebut adalah Ignasius Jonan. Direktur Utama BPUI tersebut kabarnya bekerja sama dengan debitor untuk membeli Bahana dengan harga murah.
Ketika berita itu sampai ke telinga Jonan, Dirut Bahana ini marah besar. "Siapa yang bilang? Itu tidak benar," ujarnya menggebrak lewat saluran telepon. Ia juga membantah telah melakukan pembicaraan dengan debitor Bahana untuk mendukung rencana tersebut. "Siapa yang menghubungi mereka? Manajemen lama BPUI? Atau yang lain?" katanya dengan nada tinggi.
Jonan menegaskan bahwa ia tak mungkin melakukan sesuatu yang merugikan negara. Untuk membuktikan ketidakterlibatannya, melalui stafnya ia menunjukkan sejumlah surat yang menunjukkan dia justru menentang rencana BPPN melelang aset kredit Bahana. Salah satunya adalah surat kepada Ketua BPPN Syafruddin Temenggung bertanggal 14 Oktober 2002—hari yang sama dengan saat kemunculan iklan tersebut—yang ditekennya bersama Direktur Bahana Hendi Kariawan.
Isi suratnya mempertanyakan penjualan aset kredit Bahana melalui lelang, seraya mengingatkan agar BPPN tetap berupaya menempuh proses restrukturisasi. Di situ diingatkan juga bahwa Bahana telah mengeluarkan biaya yang cukup besar dan pembahasannya telah mencapai tahap final.
Seorang staf Bahana juga memastikan bahwa mustahil direksinya mengusulkan pelelangan aset kredit Bahana. Alasannya, tindakan itu pasti akan merugikan pemerintah. Apalagi mereka sudah siap dengan pilihan restrukturisasi karena telah memiliki uang kontan Rp 300 miliar yang diperoleh dari pembayaran utang debitor.
Setelah menerima surat direksi Bahana, BPPN menjawab melalui surat tertanggal 18 Oktober 2002 bernomor Prog-4644/BPPN/1002 yang ditandatangani Deputi AMC M. Syahrial dan isinya tentang syarat dan kondisi restrukturisasi utang BPUI.
Jadi, siapa yang mengusulkan pelelangan aset kredit Bahana? Sampai hari ini masih gelap. Sumber TEMPO di pemerintahan membisikkan, tawaran lelang aset kredit Bahana akhirnya dibatalkan oleh BPPN karena pemerintah khawatir aset kredit itu dibeli oleh para debitor Bahana, yang belum juga melunasi utangnya.
Sebagaimana diketahui, saat ini ada lima debitor besar Bahana, yaitu Peter Sondakh, Prajogo Pangestu, M.S. Hidayat, Agus Anwar, dan Arifin Panigoro. Dari semua pengusaha kondang itu, hanya Arifin yang paling kooperatif dan telah menyelesaikan pembayaran utangnya.
Katakanlah pihak debitor berhasil membeli Bahana dengan harga cuma Rp 350 miliar. Itu berarti mereka mendapat diskon utang hingga 90 persen. Kalau hal itu yang terjadi, jelaslah negara akan dirugikan. Kendati BPPN sekarang berada dalam semangat melepas aset secara besar-besaran, akan terlalu gegabah kalau lembaga ini sampai melepas aset Bahana yang utangnya masih dalam proses negosiasi.
Nah, dengan penyelesaian lewat restrukturisasi utang seperti sekarang, upaya pat-patgulipat debitor dengan sendirinya gagal total. Sekarang tinggal tugas manajemen membenahi Bahana agar bisa kembali menjalankan fungsinya. Yang tak kurang penting adalah pesan agar jangan sampai mereka mengulang kesalahan direksi lama (dipimpin Sudjiono Timan), yang dengan mudah membagi-bagikan pinjaman kepada debitor yang tampak bonafide tapi ternyata cuma jadi beban buat negara.
Nugroho Dewanto, Wenseslaus Manggut, Leanika Tanjung
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini