Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MICHAEL Baskoro Palwo Nugroho sedang duduk di ruangannya, di lantai dua kantor pusat PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), ketika Sekretaris Perusahaan Heri Yusup mengundangnya ke ruangan sebelah. Di ruangan Direktur Utama Hendi Priyo Santoso itu sudah menunggu empat direktur PGN lainnya.
Mereka yang berkumpul adalah Direktur Keuangan Riza Pahlevi Tabrani, Direktur Perencanaan Investasi dan Manajemen Risiko M. Wahid Sutopo, Direktur Sumber Daya Manusia Eko Soesamto Tjiptadi, serta Direktur Teknologi Jobi Triananda Hasjim. Adapun Hendi baru saja meninggalkan ruangan.
Tanpa banyak basa-basi, sore itu Heri menyerahkan surat dari Dewan Komisaris yang tergeletak di meja rapat. Isinya: pemberhentian sementara Baskoro dari jabatannya sebagai Direktur Pengusahaan. Dua jam sebelumnya jajaran direksi dipimpin Hendi telah membahas isi surat tersebut tanpa melibatkan Baskoro. "Pak Hendi sudah membaca surat tersebut. Karena dia ada urusan, saya yang menyerahkan kepada Pak Baskoro," kata Heri.
Malam harinya, tepat sebulan lalu, kabar pencopotan Baskoro tersebar di situs Bursa Efek Indonesia. PGAS—kode emiten PGN—menyampaikannya sebagai keterbukaan informasi. Karena laporan dari perseroan tanpa penjelasan, "pemecatan" Baskoro bak misteri. Dalam beberapa kesempatan setelah pengumuman itu, Hendi, direksi PGN lainnya, dan Heri satu kata. "Itu sepenuhnya keputusan komisaris."
Sumber Tempo di PGN mengungkapkan keputusan tersebut dilatarbelakangi konflik di jajaran direksi PGN, terutama antara Baskoro dan Hendi. Sejak akhir 2010, keduanya sering bersilang pendapat dalam beberapa kebijakan perusahaan.
Mereka, misalnya, pernah berdebat keras mengenai rencana perubahan harga gas dari Lapangan Maleo milik Santos (Madura Offshore) Pty Ltd. Baskoro menyetujui PGN membayar sedikit lebih mahal agar ada kepastian pasokan dari Santos. Sedangkan Hendi menolak mentah-mentah karena tak mau penerimaan perseroan berkurang.
Keduanya juga tak satu kata dalam rencana swap gas untuk PT PLN (Persero) dari Lapangan Jambi Merang. Baskoro ingin menyerahkan berapa pun kebutuhan gas untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas Muara Tawar, yang sedang defisit. Tapi Hendi hanya menyetujui jika volume gas yang dipertukarkan tinggi.
Puncaknya ketika Hendi, dalam sebuah rapat dengan Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita Legowo, menyerahkan alokasi gas dari Blok Tangguh, Papua, kepada PLN. Sedangkan Baskoro memilih gas tersebut dibeli terlebih dulu oleh PGN dalam bentuk gas cair (liquefied natural gas/LNG) untuk diregasifikasi di terminal apung Belawan.
Sejak saat itu, menurut sumber tadi, meski ruangan kerjanya bersebelahan, Hendi dan Baskoro bagaikan anjing dan kucing. Enam bulan terakhir Baskoro tak pernah dilibatkan dalam berbagai pengambilan keputusan perusahaan gas yang 56,96 persen sahamnya masih dikuasai pemerintah ini, termasuk dalam kontrak-kontrak perjanjian. "Itu sebabnya Hendi tak mau menyerahkan sendiri surat pemberhentian kepada Baskoro," ujar si sumber.
KATA demi kata yang dipilih Baskoro dalam suratnya kepada pemegang saham, Jumat tiga pekan lalu, tak bisa menyembunyikan kekesalannya terhadap Dewan Komisaris. Dalam dua lembar kertas bertajuk surat pembelaan diri itu, Baskoro terang-terangan mempertanyakan integritas Dewan Komisaris yang telah mencopot dirinya. "Alasan yang diungkapkan dalam surat pemberhentian sementara sumir," tulis Baskoro dalam surat yang juga dikirimkan kepada Menteri Badan Usaha Milik Negara itu.
Surat keputusan Dewan Komisaris PGN tertanggal 17 Januari 2012 memang hanya menyebutkan Baskoro tak menjalankan kewajibannya sebagai direktur. Perilaku dan kedudukannya sebagai Direktur Pengusahaan juga dinilai berdampak negatif terhadap kinerja perseroan.
Sumber Tempo menyebutkan bahang di jajaran direksi memuncak sejak awal Desember lalu, ketika Baskoro melayangkan laporan kepada Dewan Komisaris soal percaloan volume gas kepada beberapa pelanggan industri di Jawa Timur, yang diduga melibatkan Direktur Utama. Hendi dilaporkan telah memfasilitasi Paul Hahijary, Komisaris PT PGas Solution—anak perusahaan PGN—untuk menawarkan jasa tambahan pasokan gas yang "dibungkus" dengan perjanjian penghematan pemakaian gas (baca "Api Biru di Kampus Ungu").
Dalam laporan tersebut, praktek percaloan itu berlangsung sejak Maret tahun lalu. Hingga Oktober 2011, potensi pendapatan perusahaan yang hilang akibat kongkalikong ini diperkirakan mencapai Rp 2,97 triliun. "Itu baru dari dua pelanggan industri," ujarnya.
Baskoro, menurut sumber di Kementerian Badan Usaha Milik Negara, merasa kesal karena "dikucilkan". Apalagi sebelumnya, pada akhir November, tak ada angin tak ada hujan, Komisaris Utama PGN Tengku Nathan Machmud mengundangnya ke sebuah restoran di Pacific Place, Jakarta.
Dalam pertemuan itu, Machmud meminta Baskoro mengundurkan diri. Alasannya, ada keluhan dari pihak Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Badan Pengelola Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (BP Migas), serta Hendi mengenai perilaku dan kinerja Baskoro. "Pertemuan ini sudah dilaporkan pula ke Pak Menteri," kata sumber tersebut.
Entah kebetulan atau tidak, temuan Baskoro seolah-olah mendorong Hendi dan direktur PGN lainnya untuk membalasnya. Kurang dari tiga pekan kemudian, atau lima hari sebelum Natal tahun lalu, giliran kolega Baskoro di Dewan Direksi mengadukan Baskoro ke Dewan Komisaris.
Surat sangat rahasia tertanggal 20 Desember 2011 itu menyebutkan Baskoro telah menghambat kegiatan operasional dan berpotensi merugikan perusahaan. Sebagai Direktur Pengusahaan, Baskoro dinilai tak berhasil mendapatkan tambahan pasokan gas. Baskoro juga dituding mengintervensi pengadaan barang anak perusahaan. Karena itu, direksi telah mengambil alih pekerjaan Baskoro sejak triwulan ketiga tahun lalu.
Surat tak bernomor tersebut juga mengungkapkan ketidakmampuan Baskoro membina hubungan baik dengan stakeholder penting. Direksi mengaku telah menerima masukan tersebut dari Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas, Komisi Energi DPR, serta Pertamina EP.
Tempo mengkonfirmasi Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Evita H. Legowo dan Kepala BP Migas R. Priyono ihwal keluhan itu, tapi keduanya membantah pernah memberikan masukan tentang kinerja buruk Baskoro. Direktur Utama Pertamina EP Syamsu Alam juga kaget mendengar pencatutan namanya. "Saya tidak tahu, mereka mengambil kesimpulan itu dari mana," katanya. Priyono yakin persoalan ini tak lebih dari intrik internal PGN.
Hendi serta Wahid Sutopo tak mau berkomentar mengenai dokumen-dokumen yang diperoleh Tempo. Begitu pula Machmud enggan membicarakan masalah PGN ini sebelum rapat umum pemegang saham luar biasa pada awal bulan depan. "Ini masalah korporat yang sedang didiskusikan dengan Kementerian BUMN," katanya lewat pesan pendek, Kamis dua pekan lalu. Adapun Heri membenarkan adanya surat dari direksi kepada komisaris mengenai Baskoro. "Isinya bagaimana, saya tidak tahu," katanya.
Heri menambahkan, pengawasan atas kinerja direksi menjadi tanggung jawab Dewan Komisaris. "Sebelum mengambil keputusan, Dewan Komisaris telah meminta masukan dari pihak-pihak terkait dan melakukan verifikasi," ujar Heri dalam jawaban tertulisnya kepada Tempo. Adapun ihwal laporan Baskoro, menurut Heri, komite audit tidak menemukan adanya dugaan pelanggaran peraturan atau etika oleh pejabat PGN.
Namun seorang komisaris PGN yang enggan disebut namanya menyatakan laporan Baskoro, "Sekarang sedang diproses di Komite Audit." Menurut dia, hasil pemeriksaan diharapkan tuntas sebelum rapat umum pemegang saham luar biasa pada Senin pertama bulan depan. Dalam rapat itu pula nasib Baskoro ditentukan.
Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Iskan tak mau ambil pusing. Dia menegaskan tak ingin ada jajaran direksi perusahaan negara yang tak kompak. "Saya tidak mau direksi yang hanya bertengkar terus."
Agoeng Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo