Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Baju Blacu & Sepatu Jebol - Baju Blacu Dan Sepatu Jebol

Keterangan soebagio in yang menulis buku biografi 11 orang perintis pers nasional. Dulu wartawan berjuang untuk merdeka, tapi sekarang mereka berjuang mengisi kemerdekaan.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MASIH sekitar 'perjuangan pers', akhir-akhir ini Soebagio IN sibuk menulis buku biografi 11 orang Perintis Pers Nasional -- termasuk Mas Marco 'si Macan dari Cepu' yang justru belum dimasukkan dalam Sejarah Pers Nasional sering menulis artikel tentang tokoh-tokoh pers, anggota sekretariat redaksi LKBN Antara ini juga duduk sebagai salah seorang panitia penyusun Sejarah PWI. Di bawah ini rekaman hasil wawancaranya dengan reporter Said Muchsin: Tanya: Bagaimana gambaran wartawan dulu -- dibanding generasi sekarang? Jawab: Dari segi teori, wartawan sekarang jauh lebih pandai. Tapi wartawan dulu punya kelebihan, yaitu idealisme, berjuang untuk merdeka. Sasarannya pun sudah berbeda. Dulu menentang penjajahan, sekarang mengisi kemerdekaan -- membasmi kemelaratan, ketidak-adilan, kesewenang-wenangan dan subversi. Mutu wartawan sekarang jauh lebih baik, minimal berpendidikan SLA, bahkan tak sedikit yang sarjana. Dulu, sudah peralatannya sangat sederhana, pendidikannya pun kurang. Sekarang ini sering diselenggarakan penataran-penataran wartawan, tapi bagaimana hasilnya -- masih diperlukan waktu untuk menilainya. Wartawan-wartawan dulu, tak pelak lagi, merupakan salah satu pemegang saham berdirinya Republik. Sekarang, wartawan juga berdiri di barisan terdepan untuk menyampaikan penerangan kepada rakyat. Karena itu mereka harus lebih banyak membaca dan meningkatkan diri-sendiri -- ada penataran atau tidak. Lalu ia bercerita tentang suka-duka wartawan tempo dulu. "Pokoknya kalau ada kertas saja, terbit. Tapi yang namanya pencabutan SIT - tidak ada. Kalau tak ada kertas, mereka membajak kertas dari gerbong-gerbong kereta yang mengangkut kertas", tuturnya. Tampang pers zaman dulu, ia gambarkan seperti ini: pakai baju blacu sudah terbilang keren, naik sepeda dengan ban mati sudah cukup baik untuk nguber berita, bersepatu jebol pun bukan alasan untuk malu. Karena sering terjadi penangkapan-penangkapan, isteri wartawan lebih menderita. "Nyonya Pandu Kartawiguna misalnya, pernah ditodong bayonet, rumahnya diobrak-abrik," tutur Soebagio. "Sekarang, kalau janda-janda pahlawan revolusi diperhatikan, mengapa janda-janda wartawan perintis dilupakan?" Dulu, katanya, malah sering terjadi para wartawan saling rebutan untuk menjadi pesakitan -- manakala ada penangkapan-penangkapan Belanda - seperti yang pernah terjadi pada mingguan Penggugah. Bahkan sampai tahun 1946, suasana seperti itu belum banyak berubah. Di Yogya misalnya, jalan Tugu 58, ada satu mess kecil yang dihuni 10 keluarga wartawan. "Yang bujangan ngumpul jadi satu di satu kamar", katanya. Untuk mencetak harian Merdeka (ketika itu terbit di Sala), dicetak handset (cetak tangan) dekat sumur dengan penerangan lampu minyak. Klisenya pun cukup dengan menempelkan gambar dari kertas merang saja. T: Tentang kemerdekaan pers?: J: Sebenarnya dulu juga ada kemerdekaan pers -- dalam batas-batas tertentu. Dan sekarang, sedikit demi sedikit pemerintah pun sudah mulai memberi kelonggaran kepada pers. Misalnya, tempo hari BM Diah mengkritik Adam Malik, dan harian Merdeka tidak dibrangus. Mingguan Cahaya Kita dan Bharata Minggu yang mengkritik Departemen Penerangan, juga tidak dibreidel. Dari kasus ini saya melihat bahwa penguasa mulai tampak lebih dewasa. T: Bagaimana pengertian pers bebas yang bertanggung-jawab? J: Sebenarnya, kalau orang terjun dalam pers dan jadi wartawan, sudah harus berani bertanggungjawab. Semua bidang kerja kan juga menuntut rasa tanggungjawab? Kalau tidak bisa bertangungjawab ya jangan jadi wartawan. Untuk bertanggung-jawab, orang harus punya keberanian. Tapi bukan sensasi lho. Sebab dalam kata 'berani' ada terkandung pengertian jujur dan bertanggyng jawab . T: Tapi sekarang ini toh masih ada saja pelanggaran-pelanggaran terhadap UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik? J: Pers kita sekarang ini sebenarnya sudah lumayan. Setiap pelanggaran-juga dalam jurnalistik -- sebenarnya juga harus ada sanksinya, tanpa harus melakukan pencabutan SIT. Yang ditindak cukup oknumnya saja. Kalau seorang oknum ABRI bersalah misalnya, kan tak mungkin kompinya lalu dibubarkan? T: Tentang amplop? J: Saya tak bisa menyalahkan begitu saja. Soalnya tak bisa dilepaskan dari kemiskinan pers kita sendiri. Tapi saya tak suka wartawan yang memeras dengan cara pemuatan berita tertentu. Untuk mengurangi tendensi amplop, Pemimpin Redaksi perlu mengeluarkan larangan menerima amplop. Yang penting ialah mencukupi gaji wartawan hingga tak ada kemungkinan mengemis -- meskipun hal itu juga tak bisa dilepaskan dari segi,mental. Tapi orang seperti saya ini yang emoh amplop, ya tetap hidup begini-begini saja....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus