MASIH sekitar 'perjuangan pers', akhir-akhir ini Soebagio IN
sibuk menulis buku biografi 11 orang Perintis Pers Nasional --
termasuk Mas Marco 'si Macan dari Cepu' yang justru belum
dimasukkan dalam Sejarah Pers Nasional sering menulis artikel
tentang tokoh-tokoh pers, anggota sekretariat redaksi LKBN
Antara ini juga duduk sebagai salah seorang panitia penyusun
Sejarah PWI. Di bawah ini rekaman hasil wawancaranya dengan
reporter Said Muchsin:
Tanya: Bagaimana gambaran wartawan dulu -- dibanding generasi
sekarang?
Jawab: Dari segi teori, wartawan sekarang jauh lebih pandai.
Tapi wartawan dulu punya kelebihan, yaitu idealisme, berjuang
untuk merdeka. Sasarannya pun sudah berbeda. Dulu menentang
penjajahan, sekarang mengisi kemerdekaan -- membasmi
kemelaratan, ketidak-adilan, kesewenang-wenangan dan subversi.
Mutu wartawan sekarang jauh lebih baik, minimal berpendidikan
SLA, bahkan tak sedikit yang sarjana. Dulu, sudah peralatannya
sangat sederhana, pendidikannya pun kurang. Sekarang ini sering
diselenggarakan penataran-penataran wartawan, tapi bagaimana
hasilnya -- masih diperlukan waktu untuk menilainya.
Wartawan-wartawan dulu, tak pelak lagi, merupakan salah satu
pemegang saham berdirinya Republik. Sekarang, wartawan juga
berdiri di barisan terdepan untuk menyampaikan penerangan kepada
rakyat. Karena itu mereka harus lebih banyak membaca dan
meningkatkan diri-sendiri -- ada penataran atau tidak.
Lalu ia bercerita tentang suka-duka wartawan tempo dulu.
"Pokoknya kalau ada kertas saja, terbit. Tapi yang namanya
pencabutan SIT - tidak ada. Kalau tak ada kertas, mereka
membajak kertas dari gerbong-gerbong kereta yang mengangkut
kertas", tuturnya. Tampang pers zaman dulu, ia gambarkan seperti
ini: pakai baju blacu sudah terbilang keren, naik sepeda dengan
ban mati sudah cukup baik untuk nguber berita, bersepatu jebol
pun bukan alasan untuk malu.
Karena sering terjadi penangkapan-penangkapan, isteri wartawan
lebih menderita. "Nyonya Pandu Kartawiguna misalnya, pernah
ditodong bayonet, rumahnya diobrak-abrik," tutur Soebagio.
"Sekarang, kalau janda-janda pahlawan revolusi diperhatikan,
mengapa janda-janda wartawan perintis dilupakan?" Dulu, katanya,
malah sering terjadi para wartawan saling rebutan untuk menjadi
pesakitan -- manakala ada penangkapan-penangkapan Belanda -
seperti yang pernah terjadi pada mingguan Penggugah.
Bahkan sampai tahun 1946, suasana seperti itu belum banyak
berubah. Di Yogya misalnya, jalan Tugu 58, ada satu mess kecil
yang dihuni 10 keluarga wartawan. "Yang bujangan ngumpul jadi
satu di satu kamar", katanya. Untuk mencetak harian Merdeka
(ketika itu terbit di Sala), dicetak handset (cetak tangan)
dekat sumur dengan penerangan lampu minyak. Klisenya pun cukup
dengan menempelkan gambar dari kertas merang saja.
T: Tentang kemerdekaan pers?:
J: Sebenarnya dulu juga ada kemerdekaan pers -- dalam
batas-batas tertentu. Dan sekarang, sedikit demi sedikit
pemerintah pun sudah mulai memberi kelonggaran kepada pers.
Misalnya, tempo hari BM Diah mengkritik Adam Malik, dan harian
Merdeka tidak dibrangus. Mingguan Cahaya Kita dan Bharata Minggu
yang mengkritik Departemen Penerangan, juga tidak dibreidel.
Dari kasus ini saya melihat bahwa penguasa mulai tampak lebih
dewasa.
T: Bagaimana pengertian pers bebas yang bertanggung-jawab?
J: Sebenarnya, kalau orang terjun dalam pers dan jadi wartawan,
sudah harus berani bertanggungjawab. Semua bidang kerja kan juga
menuntut rasa tanggungjawab? Kalau tidak bisa bertangungjawab
ya jangan jadi wartawan. Untuk bertanggung-jawab, orang harus
punya keberanian. Tapi bukan sensasi lho. Sebab dalam kata
'berani' ada terkandung pengertian jujur dan bertanggyng jawab .
T: Tapi sekarang ini toh masih ada saja pelanggaran-pelanggaran
terhadap UU Pokok Pers dan Kode Etik Jurnalistik?
J: Pers kita sekarang ini sebenarnya sudah lumayan. Setiap
pelanggaran-juga dalam jurnalistik -- sebenarnya juga harus ada
sanksinya, tanpa harus melakukan pencabutan SIT. Yang ditindak
cukup oknumnya saja. Kalau seorang oknum ABRI bersalah misalnya,
kan tak mungkin kompinya lalu dibubarkan?
T: Tentang amplop?
J: Saya tak bisa menyalahkan begitu saja. Soalnya tak bisa
dilepaskan dari kemiskinan pers kita sendiri. Tapi saya tak suka
wartawan yang memeras dengan cara pemuatan berita tertentu.
Untuk mengurangi tendensi amplop, Pemimpin Redaksi perlu
mengeluarkan larangan menerima amplop. Yang penting ialah
mencukupi gaji wartawan hingga tak ada kemungkinan mengemis --
meskipun hal itu juga tak bisa dilepaskan dari segi,mental. Tapi
orang seperti saya ini yang emoh amplop, ya tetap hidup
begini-begini saja....
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini