SEGERA kami kirim kepada anda 9 karet KB (kondom) bermutu
tinggi, jika anda mengirim prangko Rp 45 kepada Dunjaya,
Kotakpos 85, Yogyakarta". Begitu bunyi iklan kecil di
koran-koran yang beberapa bulan lalu begitu populer. Ini bukan
main-main. Dwijaya adalah salah satu proyek Lembaga Kependudukan
UGM yang dipopulerkan sejak September 1973. Mula-mula hanya
lewat koran Kompas (Jakarta) dan Kedaulatan Rakyat (Yogya) saja.
Gagasan melancarkan 'proyek kondom melalui pos' ini berangkat
dari kenyataan bahwa kehidupan seks bagi banyak orang merupakan
sesuatu yang sangat pribadi. Keengganan orang pergi ke toko atau
mengunjungi klinik untuk mendapatkan alat-alat kontrasepsi pun,
tidak selalu disebabkan keseganan melaksanakan KB. Sementara
itu, pemakaian spiral, iud, pil anti hamil atau obat-obat lain
yang bagi sementara orang tidak cocok, barangkali bisa diganti
dengan kondom sebagai salah satu pilihan yang aman. Itulah
sebabnya Lembaga Kependudukan UGM lalu mencari cara pelayanan
yang lain -- dalam hal ini pelayanan pemakaian kondom lewat pos
-- sebagai pelayanan tanpa tatapmuka. "Dari pada bisik-bisik",
ujar Dr. Masri Singarimbun, pimpinan Lembaga Kependudukan UGM
yang juga memimpin proyek Dwijaya.
Pemasangan iklan secara terus-menerus selama enam bulan pertama,
boleh dibilang sedikit-banyak telah berhasil menghilangkan sikap
tabu terhadap kondom. Sinonimnya yang baru, yaitu karet KB, juga
semakin dikenal. Upaya ini juga dimaksud untuk menghapuskan
konotasi yang buruk terhadap kondom yang pengertiannya mudah
dihubungkan dengan dunia pelacuran. Ini toh tidak berarti
Dwijaya selamat dari kebobolan-kebobolan. Komunikasi tanpa
tatap-muka seperti itu niscaya bisa disalah-gunakan oleh
orang-orang iseng yang ternyata di atas namakan orang lain yang
tidak menghendakinya. Dan tentu saja si penerima tersinggung.
Sedemikian jauh, Dwijaya telah berusaha membatasinya.
Misalnya, mulai Nopember 1975 khusus kiriman untuk pemesan
wanita selalu dilampiri surat: kalau ternyata tidak memesan, dan
merasa keberatan, supaya mengembalikannya kepada Dwijaya. Dari
sekian banyak pemesan, ternyata ada 14 orang yang menjadi
'korban' pesanan iseng, terdiri dari 7 pria dan 7 wanita.
Setelah diteliti, ternyata pula bahwa rata-rata 1,16% pemesan
adalah wanita. Ini bisa disimpulkan bahwa kondom bukanlah
semata-mata 'cara pria'. Atau setidaknya kaum ibu, selain sudah
tidak merasa tabu terhadap kondom, juga beranggapan bahwa kondom
adalah alat yang cukup baik dan aman.
Kapan 'Bebas'?
Selama 6 bulan pertama, Dwijaya telah menerima surat pesanan
sebanyak 12.240. Jadi rata-rata 2.069 per bulan atau hampir 80
per hari. Berdasarkan kenyataan itulah, sejak bulan April sampai
September 1975 iklan dimuat 312 kali dalam 23 koran dan majalah,
13 di antaranya penerbitan-penerbitan Ibukota. Tentu saja daya
jangkau iklan seperti itu sangat terbatas, yaitu orang-orang
kota (dan tentu saja yang melek huruf. Sementara pesanan dari
daerah pedesaan sangat jarang, ada pula pesanan dari Australia
dan Serawak masing-masing 1 surat. Anehnya: Yogya sebagai sumber
'kondom lewat pos' justru tak banyak pesanan. Padahal menurut
laporan BKK BN (Desember 1975), jumlah akseptor kondom di kota
gudek itu menduduki tempat kedua dalam urutan akseptor KB. Tapi
secara rata-rata, pesanan ulangan dari berbagai kota-kota besar
toh cukup banyak.
Kondom yang bisa dipesan, sebanyak 9 biji untuk setiap
pengiriman prangko seharga Rp 45, atau 6 biji untuk Rp 30.
Kalau ada kelebihan prangko, setiap Rp 5 diganti dengan 1 biji
kondom. Karena banyak juga pemesan yang enggan memesan
berulang-ulang, Dwijaya juga mengirim kondom dalam jumlah lebih
banyak, maksimum 1 gros berisi 144 biji. Kecuali itu disertakan
pula sebuah brosur karangan Dr. Masri setebal 40 halaman (ukuran
15 x 10 sentimeter) berisi penjelasan tentang penggunaan spiral,
pil anti hamil, kondom, pemandulan, sanggama terputus dan
pantang berkala. Juga selembar HP PB (Haid, Pantang, Pantang,
Bebas), sebuah jadwal mingguan yang memuat masa-masa subur kaum
wanita dihitung qari saat datang-bulan. Dan karena itu bisa
ditentukan pula kapan harus 'pantang' dan kapan 'bebas'.
Meski proyek ini mendapat bantuan Badan Koordinasi Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) dan Lembaga Bantuan Internasional AS
(USAID), toh kantrnya ebeng di kantor Lembaga Kependudukan
yang cuma seluas 2 x 4 mQter. Petugasnya 2 orang, setiap hari
melayani pesanan-pesanan. Tapi sejak bulan Maret 1976 Dwijaya
menghentikan kegiatannya, kabarnya karena "kekurangan biaya".
Habis, 90% dana yang diperoleh melulu buat pasang iklan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini