Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Liberalisme kelontong

Banyak barang-barang dagangan di toko-toko tidak dicantumkan harganya hanya ditempeli kode harga. kini yayasan lembaga konsumen sedang mencoba membereskan soal praktek menentukan harga barang-barang kelontong.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA tahu, diskusi yang bersate kambing itu bisa sama menarik dengan yang pakai mikropon. Seperti yang kejadian tiga tahun yang lalu, itu di gedung DKI-Jaya, tepatnya 3 April. Kami sudah cukup pusing membincangkan perkara-perkara muskil eperti industrial design dan nasib kerajinan rakyat di pasaran dunia dan sebagainya di muka mikropon. Pada acara menyikat sop buntut dan sate kambing tahu-tahu saja mengelompok tiga orang: ibu Suwarmilah (Kepala Lembaga Pengembangan Ekspor Nasional), ibu Lasmidjah Hardi, dan saya. Ingat-ingat ada yang mulai bertanya apakah sop yang kami cucup itu bukan sop buntut kuda, tapi kalaupun begitu kami juga tidak tahu apa salahnya, biarpun tentu sedikit aneh. Tapi kalau susu bubuk palsu dan sari jeruk palsu itu terang tidak kami sukai. Bicara tentang pemberantasannya maka langsung saja ibu Hardi bertekad untuk membikin semacam lembaga pelindung konsumen Gegas seperti itu kontan saya tanggapi dengan bersemangat. Kita semua ini kan konsumen, dan setiap hari kita ini kan jadi permainan pedagang dan produsen? Baiklah,ceritanya kemudian sudah kita tahu semua, meskipun bukan cerita hot. Berdirilah Yayasan Lembaga Konsumen (YLK). Kita tunggu saja. Satu ketika YLK ini bisa jadi berita paling hot di negeri kita. Sekarang mereka sedang mencoba membereskan soal praktek menentukan harga di tempat kita belanja. Setiap barang itu mestinya punya harga tertentu tapi berapa, itu tidak ada orang yang tahu pasti. Ekonomi kita ini menjadi begitu kocak sampai pedagang sendiri tidak tahu harga barang jualannya. Di setiap toko kita lihat pelayan yang linglung dan gelagepan kalau ditanya harga suatu barang. Dan jangan kira majikan toko juga selalu tahu. Cuma karena dia harus menyebut harga, maka dia ngomong tapi siapa bisa jamin bahwa dia tidak ngomong asal ngomong? Sudah begitu dia masih bisa dibisiki konconya, lantas berubah pikiran, dan tentu saja menyebut harga yang lebih tinggi. Maaf oom, barang ini ada anunya di dalam, jadi mahalan. Ada toko toko di mana pelayannya yang menentukan harga. Konsumen menghampiri sang majikan di kassa untuk membayar, tapi ini majikan kok malah tanya dulu kepada itu pelayan: "Jual berapa?" Kadang-kadang saya pikir itu pelayan saya suap saja dulu dengan sehelai sudirman. Beberapa tahun yang lalu sobat saya yang baik budi membuka restoran istimewa. Para pengunjung diperlihatkannya daftar makanan berikut harganya. Setahun kemudian dia mulai "main". Dia pasang daftar makanan, tapi lupa pasang daftar harga. Dia mulai "pintar" menaksir tetamunya dengan sekejap saja: gengsinya, duitnya, lagaknya dan sebagainya dengan maksud menyesuaikan harga makanan dengan keadaan sang tamu. Kalau daftar harga sih sebetulnya ada, itu yang disembunyikannya dalam laci uang. Jadi sembari menghitung dia mengintip-ngintip ke dalamnya. Katanya dia menyesuaikan diri dengan restoran-restoran lain. Kata saya dia menyesuaikan diri dengan bangsa penipu. Cuma untungnya penipu bangsa dia tidak pernah masuk koran atau masuk bui, sebab liberalisme gaya pedagang ini sah di negeri kita. Ini sobat yang baik budi kok begini jadinya. Supaya tidak perlu mengintip-ngintip dan jadi linglung, banyak pedagang lantas punya akal bulus. Namanya siasat "liberalisme terpimpin". Barang-barang kelontong mereka tempeli label berisi rerumusan rahasia Albert Einstone atau Ein-tsetung entah mana yang betul. Maka setiap hari sang kelontong bisa menghibur diri dengan pemandangan konsumen yang begitu gairah, mendekati barang tapi mendadak kecele kalau membaca labelnya. Lihatlah dia lantas menoleh ke yang empunya barang, mohon diberi tahu berapa harganya. Sedaap. Ini bagus buat adegan film. Komedi boleh, tragedi boleh. Kata kawan, orang hidup di Indonesia ini musti tahu seni menawar harga. Ini ekonomi liar sebetulnya disesuaikan dengan kepribadian bangsa kita katanya. Kawan ini jelas tukang lawak. Dia sebetulnya tahu bahwa kebudayaan nawar ini kebudayaan kelas berduit yang dipaksakan kepada kelas miskin supaya yang miskin tetap miskin. Mana pernah dia menawar di loket bioskop atau di toko buku atau di salon kecantikan. Kalau dia coba nawar arloji atau kopor echolac dia merengek seperti peminta-minta. Tapi lihat kalau dia nawar tempe dan daun sledri. Si bakul sayuran dikocoknya mati-matian dan kasar-kasaran sampai bertekuk lutut. Ini namanya kebudayaan sakit dan kepribadian brengsek. Sidang UNCTAD bisa jadi kocak kalau mendengar semua ini. Kata saya dulu kepada ibu Hardi, suatu YLK itu bakal banyak musuhnya, dan itu wajarlah. Mereka kuat-kuat dan akan kusak-kusuk sampai tingkatan yang tertinggi. Mereka akan membujuk dan menyuap dan menjegal dan menina-bobokkan YLK. Mereka bisa bikin YLK tandingan berisi "staf ahli"nya sendiri dengan maksud memberi informasi lain kepada konsumen. Senjata mereka yang hebat tentulah iklan dengan segala rupa dongengnya dan sayembaranya dan hadiahnya. Syarat YLK yang kuat dan berwibawa memang cukup berat. Semangatnya mesti kerakyatan, jiwanya mesti bersih, penilaiannya mesti ilmiah, perjuangannya mesti tekun. Syarat lain ialah masyarakat konsumen yang lebih dewasa, lebih arif dan tidak mudah termakan dongeng dongeng yang kurang masuk akal. Kalau YLK begini dan rakyat begini bisa bahu membahu, bisalah kita nanti mengharapkan mekarnya ekonomi yang tambah sehat dan kepribadian bangsa yang tambah terhormat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus