DI tengah gejolak revolusi, 8 Juni 1946, Serikat Perusahaan
Suratkabar berdiri di Yogya. Dan 30 tahun kemudian, bulan
kemarin sejak tanggal 7 sampai 12, SPS memperingatinya dengan
sebuah Pekan Pers di Jakarta. Sebagai satu-satunya wadah bagi
para penerbit -- tentu saja SPS bukan cuma saluran untuk
mendapatkan jatah kertas. Sebab seperti kata M. Sjurech, sekjen
SPS, "SPS bisa menampung segala masalah yang timbul di kalangan
penerbit untuk dicari jalan keluarnya".
Baru Gagasan
Bicara soal subsidi kertas, menurut Djamal Ali SH, ketua SPS
sudah dihapuskan sejak Januari 1967. "Penghapusan oleh
pemerintah ini dimaksud agar perhitungan untung-rugi perusahaan
pers bisa disesuaikan dengan mekanisme pasar", katanya. Di lain
fihak, agar pers daerah bisa tetap hidup, subsidi masih
diberikan meskipun hanya berupa ongkos angkut dan potong. Itulah
sebabnya impor kertas yang sejak Januari 1967 bebas bea masuk,
sejak Januari 1973 khusus buat kertas non-pers kena bea masuk
20%.
Dalam hal pendaftaran ulang dan juga pembatasan SIT, menurut
Sjurech hanya merupakan semacam sensus. "Berdasarkan data-data
yang masuk, selama ini sudah bisa diduga berapa yang bakal
gugur. Dan kelak, pemberian SIT disesuaikan dengan kemampuan
penerbitnya", katanya. Dengan demikian, pertumbuhan pers daerah
dan pusat diharapkan bisa seimbang, sementara terhadap pers yang
dianggap lemah pemerintah akan meringankan pajak. Tentang
pertumbuhan pers daerah, sekjen SPS itu mengharapkan pula
partisipasi pemerintah daerah. Sebagai contoh Pemda Banjarmasin
yang akan menyumbang percetakan atau Pemda Aceh yang akan
meminjami Rp 50 juta untuk percetakan.
Dalam pada itu 'pers masuk desa' masih juga berupa gagasan yang
belum terlaksana. "Gagasan itu berangkat dari keinginan agar
desa terbuka untuk horison yang lebih luas", kata Djamal Ali.
"Dengan begitu pers bisa memperkenalkan ide-ide baru. Untuk itu
pemerintah bisa menerbitkan majalah khusus berisi pendidikan
desa, disebarkan secara gratis" Sampai saat ini, pengertian
'pers masuk desa' memang belum jelas. Menerbitkan koran baru
untuk masyarakat desa? Atau menyebarkan koran-koran 'kota'
sampai ke pelosok? Sementara itu orang-orang pers daerah
menghendaki pemerintah berlangganan koran daerah secara
kolektif, dikirim ke desa-desa.
Meski sudah 30 tahun, tampaknya SPS belum juga selesai dengan
masalah-masalahnya sendiri. Tapi Djamal Ali sendiri memang
menyatakan bahwa SPS(juga PWI) sejak berdirinya "merupakan alat
perjuangan". Maksudnya, berbeda dari lembaga di lain negeri,
Eropa atau Amerika misalnya, yang merupakan organisasi
perjuangan para majikan. Lalu, mungkinkah SPS memperjuangkan,
misalnya pensiun buat wartawan? "Juga tidak. Sebab SPS bukan
alat untuk memikirkan kesejahteraan wartawan. Pensiun wartawan
itu urusan perusahaan pers masing-masing", katanya. "Misalnya
dengan menyelenggarakan asuransi kolektif untuk hari tua".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini