Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Pensiun Untuk Wartawan?

Sps (serikat perusahaan surat kabar) berumur 30 tahun, sejak berdirinya merupakan alat perjuangan. dipertanyakan apakah sps memperjuangkan pensiun buat wartawan, tergantung usaha pers masing-masing.

10 Juli 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tengah gejolak revolusi, 8 Juni 1946, Serikat Perusahaan Suratkabar berdiri di Yogya. Dan 30 tahun kemudian, bulan kemarin sejak tanggal 7 sampai 12, SPS memperingatinya dengan sebuah Pekan Pers di Jakarta. Sebagai satu-satunya wadah bagi para penerbit -- tentu saja SPS bukan cuma saluran untuk mendapatkan jatah kertas. Sebab seperti kata M. Sjurech, sekjen SPS, "SPS bisa menampung segala masalah yang timbul di kalangan penerbit untuk dicari jalan keluarnya". Baru Gagasan Bicara soal subsidi kertas, menurut Djamal Ali SH, ketua SPS sudah dihapuskan sejak Januari 1967. "Penghapusan oleh pemerintah ini dimaksud agar perhitungan untung-rugi perusahaan pers bisa disesuaikan dengan mekanisme pasar", katanya. Di lain fihak, agar pers daerah bisa tetap hidup, subsidi masih diberikan meskipun hanya berupa ongkos angkut dan potong. Itulah sebabnya impor kertas yang sejak Januari 1967 bebas bea masuk, sejak Januari 1973 khusus buat kertas non-pers kena bea masuk 20%. Dalam hal pendaftaran ulang dan juga pembatasan SIT, menurut Sjurech hanya merupakan semacam sensus. "Berdasarkan data-data yang masuk, selama ini sudah bisa diduga berapa yang bakal gugur. Dan kelak, pemberian SIT disesuaikan dengan kemampuan penerbitnya", katanya. Dengan demikian, pertumbuhan pers daerah dan pusat diharapkan bisa seimbang, sementara terhadap pers yang dianggap lemah pemerintah akan meringankan pajak. Tentang pertumbuhan pers daerah, sekjen SPS itu mengharapkan pula partisipasi pemerintah daerah. Sebagai contoh Pemda Banjarmasin yang akan menyumbang percetakan atau Pemda Aceh yang akan meminjami Rp 50 juta untuk percetakan. Dalam pada itu 'pers masuk desa' masih juga berupa gagasan yang belum terlaksana. "Gagasan itu berangkat dari keinginan agar desa terbuka untuk horison yang lebih luas", kata Djamal Ali. "Dengan begitu pers bisa memperkenalkan ide-ide baru. Untuk itu pemerintah bisa menerbitkan majalah khusus berisi pendidikan desa, disebarkan secara gratis" Sampai saat ini, pengertian 'pers masuk desa' memang belum jelas. Menerbitkan koran baru untuk masyarakat desa? Atau menyebarkan koran-koran 'kota' sampai ke pelosok? Sementara itu orang-orang pers daerah menghendaki pemerintah berlangganan koran daerah secara kolektif, dikirim ke desa-desa. Meski sudah 30 tahun, tampaknya SPS belum juga selesai dengan masalah-masalahnya sendiri. Tapi Djamal Ali sendiri memang menyatakan bahwa SPS(juga PWI) sejak berdirinya "merupakan alat perjuangan". Maksudnya, berbeda dari lembaga di lain negeri, Eropa atau Amerika misalnya, yang merupakan organisasi perjuangan para majikan. Lalu, mungkinkah SPS memperjuangkan, misalnya pensiun buat wartawan? "Juga tidak. Sebab SPS bukan alat untuk memikirkan kesejahteraan wartawan. Pensiun wartawan itu urusan perusahaan pers masing-masing", katanya. "Misalnya dengan menyelenggarakan asuransi kolektif untuk hari tua".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus