MENANGGAPI tuntutan pasar memang bisa efektif untuk meningkatkan pendapatan, bahkan juga laba. Itulah kiat yang ditempuh PT Timah. Dengan produk barutimah, yakni jenis Banka LL alias Banka low lead yang berkadar timbal rendah, hanya 0,010%. Sebelum ini, timah terbaik yang diproduksi PT Timah, yakni Banka Tin, mengandung timbal (Pb) 360 ppm (satu bagian per sejuta). Sekarang, melalui crystallizer buatan RRC (seharga Rp 400 juta), kadar Pb-nya menjadi 100 ppm. "Ini merupakan salah satu cara PT Timah menjawab tantangan, yakni menyesuaikan produk dengan kebutuhan pasar," kata Menteri Pertambangan dan Energi Ginandjar Kartasasmita, saat peluncuran ekspor perdana Banka LL ke Jepang, Selasa pekan silam. Masyarakat konsumen di banyak negara memang menuntut agar bahan baku untuk kaleng makanan sebisa mungkin terhindar dari timbal. Soalnya, kadar timbal yang terkonsumsi tubuh sangat berbahaya. Bahwa PT Timah sekarang bisa meyakinkan pasar internasional melalui Banka LL, ini merupakan kemajuan. Apalagi ekspor 60 ton ke Jepang akan disusul dengan ekspor-ekspor lanjutannya. Setelah restrukturisasi, tahun 1991-1992 merupakan awal kebangkitan kembali PT Timah. BUMN ini memang sempat terhuyung-huyung pada akhir 1980-an, karena terlalu dibebani overhead cost dan ongkos produksi yang tinggi (di atas US$ 5.000 per ton), sementara harga timah di pasar saat itu sempat di bawah US$ 5.000 per ton. Kini, selain PT Timah sudah sanggup membuat Banka LL, harga timah dipasar internasional naik menjadi US$ 6.800 per ton. Sementara itu, PT Timah berhasil menekan ongkos produksi di bawah US$ 5.000 per ton, berkat restrukturisasi. Direktur PT Timah Kuntoro Mangkusubroto optimistis, tahun ini akan memetik laba, setelah tahun lalu mencapai titik impas.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini