KALAU pengusaha terperosok bermain valas, itu biasa. Tapi bila terjerumus karena rupiah, agaknya jarang terjadi. Namun, itulah penyebab utama kesulitan bisnis yang sejak beberapa bulan lalu menggerogoti Grup Mantrust, konglomerat dalam industri makanan, minuman, dan perdagangan. Kini, grup usaha yang dimiliki Teguh Soetantyo itu harus menyesuaikan sepak terjangnya dengan tuntutan para kreditor, yakni 52 bank dalam dan luar negeri. Mereka menuntut agar Mantrust dengan segera mengikis usaha-usaha di luar bisnis intinya, terutama yang merugi. Masalah timbul, karena menjual perusahaan yang lagi "miring" bukanlah perkara mudah. Sementara itu, Mantrust harus memenuhi kewajiban jangka pendeknya yang telah jatuh tempo berjumlah sekitar Rp 900 milyar. Dalam keadaan terjepit, usaha-usaha yang melaba justru dilego. Satu langkah perampingan Mantrust adalah menjual PT Delta Djakarta. Penjualan 58,8% saham Mantrust di perusahaan ini -- bernilai US$ 42 juta -- cukup mengejutkan dunia usaha. Bukan karena pembelinya San Miguel Corporation dari Filipina, tapi lantaran Delta, yang memproduksi Anker Bir itu, merupakan unit usaha yang sangat menguntungkan. Dengan kapasitas produksi 600.000 hektoliter setahun, Anker disebut-sebut hampir mengalahkan Bir Bintang, yang kini merajai pasar bir di Indonesia. Apa boleh buat. "Kami terdesak memenuhi kewajiban yang jatuh tempo," kata Jim Wiryawan, salah seorang direktur Mantrust. Diungkapkannya bahwa Mantrust kini melakukan negosiasi untuk menjual beberapa perusahaan lainnya. Setelah menjual Hotel Majapahit di Surabaya tiga bulan lalu, kini Hotel Sarkis (juga milik Mantrust) -- dihargai sekitar Rp 20 milyar-- ditawarkan pada seorang calon pembeli. Juga dalam waktu dekat akan dilepas perusahaan minuman ringan Pepsi Cola, yang ditawarkan sekitar Rp 14 milyar. Calon pembelinya sudah ada, yakni Liem Sioe Liong. Menurut Jim, kendati masih merugi, Pepsi punya prospek bagus. Memang kalah bersaing dengan Coca Cola, tapi pangsa pasarnya masih bisa dinaikkan. Dan itu memerlukan biaya banyak yang tak mungkin disediakan Mantrust. Setelah yang bagus-bagus terjual, tibalah giliran yang kurang dan tidak bagus. Di antaranya industri sepatu Adidas di Tangerang, industri elektronik yang memproduksi alat-alat audio visual (termasuk TV) juga di Tangerang, industri kayu PT Kayu Nusantara, aset tanah dan bangunan di Bali, serta sebidang tanah di Bandung. Puncak dari semua itu adalah menjual Mantrust Asahi Airways. Selain memiliki beberapa pesawat terbang, Asahi Airways juga mempunyai jalur penerbangan tetap. Jadi, bukan sekadar menyediakan pesawat carter. Walau begitu, uang yang diperlukan Mantrust ternyata belum cukup. Sesudah dihitung-hitung, hasil "obral" Mantrust itu baru mengumpulkan US$ 150 juta. Berarti kurang Rp 600 milyar. Kini manajemen Mantrust tengah melakukan negosiasi alot dengan para kreditor. Grup ini mengusulkan perpanjangan jangka waktu pinjaman. Utang-utang yang semula dijadwalkan 1-3 tahun diharapkan bisa dijadwalkan kembali menjadi 8-14 tahun. Dibandingkan grup-grup lain yang juga dilanda "sesak napas", kondisi Mantrust tampaknya sungguh memprihatinkan. Masyarakat bisnis memperoleh kesan bahwa grup ini terpaksa membayar mahal untuk kesulitan yang terjadi gara-gara manajemen keluarga yang dikendalikan oleh Teguh Soetantyo beserta kedua anaknya. Teguh bertindak sebagai direktur utama, lalu putranya, Budi dan Jhoni Soetantyo, menduduki posisi wakil direktur utama. Dengan formasi semacam ini, praktis keputusan-keputusan penting (termasuk keputusan untuk diversifikasi usaha di luar core business Mantrust) berada sepenuhnya di tangan mereka. Kenyataan itu tidak dibantah oleh Jim Wiryawan. Peran keluarga di Mantrust cukup besar. Tapi, "Manajer profesional seperti saya juga ikut memberikan pertimbangan pada setiap keputusan," katanya. Kalau benar demikian, apa yang membuat Mantrust sempoyongan? Jim menjawab bahwa pihaknya salah hitung. Sekitar tiga tahun lalu, Mantrust ingin memperluas usaha agribisnisnya, terutama memperbesar kapasitas produksi jamur dan asparagus yangdiekspor. Manajemen juga melihat peluang bisnis di luar bisnis inti mereka. Bersamaan dengan itu, isu devaluasi bertiup santer sekali. Manajemen lalu memutuskan untuk melakukan investasi dengan menggunakan pinjaman dalam bentuk rupiah. Pertimbangannya ialah, jika terjadi devaluasi, Mantrust akan memperoleh keuntungan yang lumayan dari turunnya nilai rupiah. Apalagi dalam setahun perusahaan ini bisa mengantongi US$ 300 juta dari ekspor asparagus dan jamur. Singkatnya, Mantrust akan menangguk dua keuntungan dalam sekali renggut. Ternyata, devaluasi tak pernah terjadi. Pada pertengahan tahun 1990 Pemerintah melancarkan kebijaksanaan uang ketat, sehingga bunga kredit melesat. Akibatnya, Mantrust yang bermimpi untung malah buntung. Grup ini tercekik bunga -- ganjaran yang terpaksa dipikulnya karena salah mengantisipasi jurus-jurus yang diambil Pemerintah maupun dunia usaha. Kini Mantrust harus membenahi utang-utangnya. Selain melepas beberapa perusahaan (semua anak perusahaan Mantrust ada 33 buah), grup ini berupaya keras agar bank kreditor tak keberatan menjadwalkan kembali utang mereka. Sementara itu, Mantrust kabarnya mendapat lampu hijau dari BRI untuk pinjaman baru sebesar Rp 15 milyar. Dana ini akan digunakan sebagai tambahan modal kerja untuk PT Dieng Jaya, yang mengelola industri jamurnya di Jawa Tengah. Budi Kusumah
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini