Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SUDAH dua bulan ini Yohan Irianto sibuk mengutak-atik telepon seluler anyarnya. Entah untuk chatting dan update status lewat Facebook, entah browsing berita terbaru melalui Nexian yang mirip dengan BlackBerry Javelin itu. ”Tampilan keren, fasilitas setara telepon pintar, harga terjangkau, dan termasuk tidak bandel. Enggak rugi beli ponsel ini,” kata karyawan swasta 33 tahun itu pekan lalu. Tentu masih banyak Yohan lainnya.
Bagai tumbu ketemu tutup, demam jejaring sosial lewat Facebook, Twitter, eBuddy, dan fasilitas browsing serta push e-mail dengan Opera Mini yang melanda publik ternyata direspons cepat para produsen ponsel asal Cina. Melihat konsumen Indonesia yang senang mengetik pesan pendek tapi berkantong cekak, tak butuh waktu lama merek-merek baru ponsel dengan bodi mirip BlackBerry atau Nokia berpapan ketik QWERTY seperti E71 merangsek pasar telekomunikasi.
Lihat saja, di sentra penjualan ponsel seperti ITC Roxy Mas, Jakarta Pusat, hampir semua toko lantai satu menjual tiruan dua ponsel pintar bermerek itu. Puluhan merek yang asing di telinga bermunculan, seperti Mito Slim, Taxco, K-Touch, Dezzo, ToCall, Titan, dan Tiphone, dan ditawarkan dengan harga terjangkau, paling tinggi Rp 900 ribu. Ayung, penjual di toko Cellular One, mengaku omzetnya melonjak karena produk asal Cina laris manis sejak pertengahan tahun lalu. ”Per bulan minimal laku 40 buah,” ucapnya.
Tingginya penjualan ponsel ikut mendorong sektor telekomunikasi tumbuh tertinggi dalam produk domestik bruto selama kuartal ketiga tahun ini dibanding periode yang sama tahun lalu. Badan Pusat Statistik melaporkan pertumbuhan sektor transportasi dan telekomunikasi mencapai 18,2 persen dengan kontribusi sekitar Rp 91,8 triliun dari total PDB sebesar Rp 1.453 triliun. ”Dengan promosi murah, terutama merek baru, masyarakat sangat antusias membeli. Seperti sekarang musim BlackBerry, semua pakai itu,” kata Kepala Badan Pusat Statistik Rusman Heriawan.
Saat pertama kali didatangkan dari Kanada oleh Research In Motion bekerja sama dengan Indosat ke Tanah Air pada akhir 2004, BlackBerry sebetulnya belum terlalu menyedot perhatian publik karena harganya masih selangit, sampai Rp 10 juta. Seiring dengan waktu, jenis BlackBerry berkembang, tapi harga tetap tak terjangkau. BlackBerry Pearl—termurah—dibanderol Rp 2,1 juta dan harga BlackBerry Bold, termahal, Rp 5,4 juta.
Karena itu, banyak calon konsumen terpaksa gigit jari. Tapi, belakangan, ponsel dengan bentuk dan fitur mirip BlackBerry Javelin dan Nokia E71 buatan Cina bermunculan. Selain harganya jauh lebih murah, ponsel ini ”akrab” dengan operator telekomunikasi GSM mana pun. Bahkan ada ponsel yang bisa menampung dua SIM card sekaligus.
Salah satunya Nexian. Booming-nya terasa sekali pertengahan tahun ini. Nexian G900—yang populer dengan sebutan NexianBerry—yang dijual tidak sampai sejuta rupiah, merajai penjualan ponsel pada Indonesia Cellular Show. Antrean pembelinya mengular hingga 30 meter saat itu. Program bundling NexianBerry ini dipelopori operator telekomunikasi XL pada 1 Mei 2009.
Produsen NexianBerry yakin bisa melego dua juta unit hingga akhir tahun ini. Sebab, tren penjualannya terus naik, bahkan sejak dirilis Mei hingga kini sudah terjual lebih dari satu juta unit. Ini menunjukkan pasar ponsel QWERTY sangat besar. ”Kami pun merilis ponsel sesuai dengan kebutuhan masyarakat dengan harga terjangkau,” kata Chief Marketing Officer Nexian Herbert Tobing. Produk teranyarnya, NexianBerry yang dibundel dengan Telkomsel, dibanderol Rp 599 ribu.
Produsen lain asal Cina, HT-Mobile, juga yakin meraup keuntungan di pasar ponsel QWERTY, yang diprediksi mencapai 500 ribu unit per bulan. Target penjualan per tiga bulan yang dipatok PT Sinar Jaya Sukses Mandiri—distributor ponsel merek ini—minimal 10 ribu unit. ”Selain menawarkan papan ketik QWERTY yang nyaman, ada TV analog yang merupakan keahlian kami,” ujar General Manager Sinar Jaya Nuramin.
Sejatinya, sebelum BlackBerry datang, ponsel QWERTY dengan merek ternama sudah hadir di Indonesia. Misalnya Nokia dengan E63 atau ponsel pintar lain seperti Sony Ericsson, Hewlett Packard, Palm, dan O2. Tapi, kembali lagi, karena harganya masih menjulang, alhasil ponsel ini hanya dinikmati masyarakat kelas atas.
Kini persaingan makin ketat karena banyak ponsel bermerek kuat ikut merilis produk serupa berharga miring seiring dengan makin canggihnya teknologi. Produsen asal Korea, seperti LG dan Samsung, tak mau ketinggalan membuat program bundling. Hanya Nokia yang keukeuh hingga kini tidak bermitra dengan operator telekomunikasi mana pun.
Namun produsen asal Finlandia ini mengklaim penjualannya tidak terganggu dengan masuknya merek-merek baru itu, bahkan tetap memimpin di kelas ini dengan tipe E63, E71, dan E72. ”Saking besarnya penjualan ponsel jenis ini, Indonesia menjadi negara pertama yang dipilih untuk merilis tipe E72 terbaru di dunia bulan lalu,” ujar Kepala Pemasaran Nokia Riadi Sugihtani.
Tahun lalu, penjualan ponsel Nokia di Indonesia mencapai 2.046 juta euro (setara dengan Rp 29 triliun), naik dibanding tahun sebelumnya, 1.754 juta euro (Rp 25 triliun). Sayangnya, Riadi tutup mulut ketika ditanya berapa pangsa pasar ponsel QWERTY Nokia saat ini. Yang pasti, Nokia sudah siap dengan jaringan pelayanan pascajual terbesar di dalam negeri sebagai modal bersaing dengan para pemain baru.
Adapun produsen ponsel asal Korea, LG, menilai bundling dengan operator lebih menguntungkan. Hingga September ini, jumlah pelanggan mencapai 14,1 juta, naik 7,9 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. Richard Susilo dari Product Marketing LG Mobile Communications Indonesia mengaku tak gentar dengan makin maraknya pemain baru. Sebab, produknya mengincar konsumen ponsel khusus berharga Rp 1-2 juta.
Kompetitor merek lokal, menurut dia, bermain di harga kurang dari Rp 1 juta, dan BlackBerry di harga lebih dari Rp 2 juta per unit. ”Lagi pula pasar terus meningkat,” kata Richard. LG akhir bulan lalu merilis tipe QWERTY terbarunya, GW300, seharga Rp 1,5 juta. Targetnya: 80 ribu unit terjual hingga akhir tahun. Selain itu, target pangsa pasar ponsel ini dipatok 20 persen dari total pasar. Sedangkan Samsung mematok target melego 100 ribu unit per bulan setelah merilis tipe teranyarnya, Corby, yang dibanderol Rp 1,4 juta per unit.
Terlepas dari asli atau tiruan, gurihnya pasar ponsel pada akhirnya menggelembungkan pendapatan operator telekomunikasi. Sebab, jumlah pelanggan meningkat drastis setelah ada program bundling, baik dengan BlackBerry asli maupun BlackBerry ”jadi-jadian”. Dengan program ini, sementara tahun lalu tiga operator telekomunikasi terbesar mencatat 365 ribu pelanggan, per Oktober angkanya bertambah menjadi 530 ribu pelanggan (lihat tabel). ”Program bundling tidak merugikan karena meski kelihatannya banyak fasilitas gratis, sebetulnya konsumen membayar paket,” kata Group Head Brand Marketing Indosat Teguh Prasetya.
Pengamat telekomunikasi Mas Wigrantoro Roes Setiyadi meramal, pasar ponsel QWERTY ini belum akan jenuh dalam waktu dekat. Sebab, ke depan, kebutuhan konsumen mengakses Internet makin tinggi. ”Ponsel non-QWERTY akan ditinggalkan.” Tapi, menurut dia, potensi pasar gemuk ini perlu diwaspadai karena tanpa mantapnya teknologi si ponsel dan jaringan pelayanan pascajual yang jelas, konsumen akan dirugikan.
Presiden Direktur PT Metrotech Jaya Komunika, Martono Jaya Kusuma, mengaku fenomena BlackBerry tiruan tidak perlu dikhawatirkan, karena fenomenanya hampir sama dengan booming motor Cina pada tahun 2000. ”Kami membuktikan sudah melewati seleksi alam sejak 2007,” ujarnya. Kita buktikan saja siapa yang bakal bertahan nanti.
R.R. Ariyani, Evan (PDAT)
Pelanggan BlackBerry (Ribu)
2008 | 2009 (Sampai Oktober) | |
Indosat | 300 | 180 |
Telkomsel | 35 | 180 |
XL | 30 | 170 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo