Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
HENRI Ziegler Delivery Centre sedang bersolek. Ruang pamer paling bergengsi di kantor pusat pabrik pesawat terbang terkemuka Airbus itu memang masih gres, baru kelar akhir tahun lalu—bau catnya masih menyengat. Interiornya didesain bergaya minimalis. Ziegler, bersama FranzJoseph Strauss, adalah pendiri yang juga presiden pertama Airbus.
Baru kali inilah ruang pamer yang terletak di utara Toulouse, Prancis, itu dipadati ratusan tamu—kebanyakan pemain industri penerbangan—pada akhir Januari lalu. Sambil menikmati kue kering, aneka teh, jus, kopi turki, dan anggur merah, para tamu yang berbusana serba formal itu tampak celingukan mengamati ruangan berbentuk setengah lingkaran itu.
Ada yang asyik jepratjepret seraya berpose di teras. Sejumlah juru kamera sibuk merekam lalulalang pesawat terbang di bandara internasional di kota berjuta bata merah itu. Letak bandara berdekatan dengan kantor Airbus. Sesekali, wuss, melintas A380, burung besi raksasa yang mampu mengangkut 555 penumpang. Di luar sana, terpaan angin musim gugur terasa nyelekit menusuk pori.
Mereka datang untuk sebuah acara penting: pelepasan sebuah pesawat jenis A320 pesanan AirAsia. Ini sekaligus pesawat bikinan Airbus yang ke3.000. Bagi AirAsia, ini adalah pesawat ke51 yang mereka miliki. Interiornya dicat khusus, joknya dari kulit hitam, berhiaskan model empat pramugari berseragam merah menyala. Mereka, dua di antaranya dari Indonesia, mengapit tulisan amazing—yang setiap hurufnya dicat beragam warna funky.
Ajaib, memang. Baru lima tahun berdiri, maskapai berbiaya murah terbesar di Asia ini langsung main borong pesawat berbadan sedang. Ini belum pernah dilakukan maskapai paket hemat seperti Easyjet dan Ryanair di Eropa, atau Jetblue di Amerika. ”Tony (Fernandes, CEO Air Asia) terus menekan dan menantang kami agar cepat berproduksi,” kata CEO Airbus Louis Gallois kepada Tempo. Kedua bos ini terus saja berteleponan tentang bisnis meski di tengah liburan Natal.
Maskapai penerbangan berbiaya murah yang berinduk di Kuala Lumpur, Malaysia, itu sedang keranjingan membeli pesawat. Tak tanggungtanggung, sejak Maret 2005, hingga Juli tahun lalu, mereka memesan 100 pesawat. Dirasa kurang, mereka order lagi 100 pesawat, awal tahun ini. Total jenderal, AirAsia memesan A320 sebanyak 200 pesawat, 50 di antaranya masih bersifat optional alias tentatif.
Kontrak pesanan pesawat tambahan itu baru saja diteken pada awal tahun ini. Nilai pemesanan 100 pesawat tersebut mencapai US$ 6 miliar. Kalau total 200 biji, ya, dua kali lipatnya, US$ 12 miliar atau sekitar Rp 108 triliun, atau sepertujuh APBN kita tahun ini. Satu pesawat harganya US$ 60 juta, atau lebih dari setengah triliun rupiah. ”Pengiriman pesawat dimulai tahun ini hingga tahun 2013,” kata Tony Fernandes, 43 tahun, kepada Tempo.
Tentu saja Airbus dibikin sibuk untuk memenuhi order bernilai spektakuler itu. ”Kalau ini terjadi, AirAsia menjadi pemesan pesawat kami yang terbesar di dunia,” kata Louis Gallois. Menteri Transportasi Prancis Dominique Perben dan koleganya dari Malaysia, Menteri Dato’ Seri Chan Kong Choy, yang ikut hadir dan berpidato, spontan memberi aplaus. Airbus kini mampu memproduksi 32 pesawat dan akan terus ditingkatkan menjadi 36 pesawat pada akhir 2008—angka produksi tertinggi yang bisa dicapai industri pesawat.
Pembelian Airbus A320 tersebut menggunakan dana internal dan sebagian pinjaman bank. Menurut rencana, pengiriman pesawat dilakukan 20 buah setiap tahunnya. ”Kami sudah punya 16 pesawat, dan tahun ini akan dikirim 18 pesawat oleh Airbus. Untuk Indonesia? Sabar, pesawat gres itu diplot untuk diterbangkan ke Jakarta akhir tahun ini. Molormolornya Januari tahun depan.
Dengan penambahan jumlah pesawat tersebut, AirAsia menargetkan penumpang bisa tumbuh 60 persen atau mencapai 15 juta orang pada tahun ini. Untuk tahun depan, diharapkan tumbuh 40 persen atau mencapai 21 juta orang. Pada 2013, ketika semua order kelar, jumlah penumpang diharapkan bisa mencapai 54 juta orang. ”Persentase pertumbuhan jumlah penumpang juga mencerminkan besarnya pertumbuhan pendapatan Grup AirAsia,” ujar Tony, lulusan London School of Economics yang selalu naik pesawat di kelas ekonomi ”untuk menghemat” ini.
AirAsia merupakan perusahaan penerbangan yang saat ini sahamnya tercatat di bursa Malaysia. Menurut Tony, tidak tertutup kemungkinan AirAsia akan mencatatkan sahamnya di Bursa Efek Jakarta dan Bursa Efek Thailand, tetapi tidak dalam waktu dekat. Maskapai penerbangan bertarif murah yang terkemuka di Asia ini bekerja sama dengan Shin Corporation di Thailand, via Thai AirAsia, untuk pengoperasian rute domestik dan internasional dari Bangkok International Airport.
AirAsia juga hinggap di Indonesia. Pada 2004, mereka bermitra dengan perusahaan penerbangan lokal yang nyaris ambruk, Awair. Sejak 1 Desember dua tahun lalu, AirAsia Berhad, yang menguasai 49 persen saham Awair, mengganti nama Awair menjadi Indonesia AirAsia. Sisa sahamnya dikuasai Pin dan Un Harris, pengusaha asal Sidoarjo, Jawa Timur, yang adalah pemilik lama Awair (20 persen), Sendjaja Widjaja, seorang pengusaha industri rekaman, 21 persen, dan PT Fersindo 10 persen.
Indonesia AirAsia diluncurkan kembali pada 8 Desember 2004 sebagai maskapai penerbangan berbiaya rendah dan mengusung konsep yang sama dengan Grup AirAsia. Biayanya murah dan tanpa embelembel alias tanpa tiket, tempat duduk bebas, dan tanpa makanan komplimen. Mereka pernah diprotes asosiasi maskapai penerbangan Indonesia (INACA) karena sabotase, penerbangan asing yang terbang di rute domestik. Tapi kemudian dibantah oleh durektur utamanya, Sendjaja Widjaja (Tempo, 8 Januari 2006).
Jenis A320 sengaja dipilih karena efisien. Masih ada kelebihan 32 seats, jika dibandingkan dengan Boeing 747300, yang biasa dipakai maskapai berbiaya hemat di mana pun. A320 berkapasitas 180 penumpang, sedangkan 747300 cuma menampung 148 penumpang. Bahan bakarnya juga lebih irit. ”Kalau kami hitung ratarata biaya per jam terbangnya per kilometer, jelas lebih efisien,” kata Widjiastoro Nugroho, Direktur Pemasaran dan Distribusi PT Indonesia AirAsia.
Keluarga A320, yang punya 30 juta siklus terbang dan 50 juta jam terbang, kini makin banyak diminati maskapai penerbangan untuk rute jarak pendek dan menengah di Eropa dan Amerika. Kelak, pesawat jenis ini akan terus dipakai AirAsia, menggantikan Boeing 737300. ”Semakin banyak kami punya A320, makin banyak pula biaya yang bisa kami hemat,” kata Tony. Lumayan.
Wahyu Muryadi (Toulouse)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo