Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Niaga Maya Kodok Lembu

Pengusaha kecil di kaki Gunung Semeru dan Madiun berpromosi lewat Internet. Ada yang ekspor sampai Kanada.

12 Februari 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

CANDU Internet telah merasuki Bambang Sukamto. Saban hari, pengusaha kerajinan tangan dari Desa Sumberbening, Ngawi, Jawa Timur itu menyambangi telecenter Muneng di Madiun untuk berselancar di dunia maya. ”Hidup saya tergantung di sini,” katanya pekan lalu.

Sudah setahun ia keranjingan begituan. Menunggang sepeda motor, ia harus menempuh 40 kilometer ke kota tetangganya itu untuk mengecek kotak surat elektroniknya. Biasanya pemesan menyatakan minat atau menawar lewat surat elektronik setelah melihat produk jualannya yang dipajang di situs indonetwork.co.id.

Sejak berpromosi lewat Internet, omset pengusaha 45 tahun ini naik fantastis. Sebelumnya hanya Rp 20 juta sebulan, tapi kini Bambang membukukan Rp 45 juta. Pembeli tak cuma datang dari Ngawi dan Yogyakarta, tapi juga dari Jakarta, Surabaya, bahkan Malaysia dan Kanada.

Untuk luar negeri, Bambang menitipkan kerajinannya ke Tropical Indonesia Furniture di Jepara, Jawa Tengah, yang setiap bulan mengekspor mebel. Lazimnya, barang dikirim setelah uang diterima, tapi transaksi yang dilakukan Bambang sebaliknya. ”Maklum, masih kecil,” katanya.

Desa Muneng, Kecamatan Pilang Ken-ceng, dipilih Pemerintah Daerah Jawa Timur sebagai pusat Internet desa untuk wilayah Madiun pada awal 2005. ”Desa ini miskin, tapi akses ke sana cukup mudah,” kata Asianti Oetojo, Kepala Badan Pengelola Data Elektronik Jawa Timur.

Sebagian besar orang Muneng hingga kini masih buta huruf dan buruh tani. Angkutan umum dari Madiun pun hanya sampai di Pilang Kenceng. Sisa perjalanan harus ditempuh dengan ojek atawa dokar. Dengan kondisi itu, tak mudah mengenalkan fungsi komputer dan Internet kepada penduduk. Butuh satu tahun bagi pengelola telecenter untuk membujuk warga agar mau melihat dan belajar memakai komputer.

Kini tak cuma Bambang yang fasih berselancar. Ada 35 pengusaha kecil menjadi anggota telecenter yang bernaung di bawah organisasi Gabungan Pemuda Trampil Kreatif. Dengan bantuan pengelola, warga lainnya memanfaatkan sarana ini untuk bertukar surat elektronik dengan anak mereka yang menjadi buruh migran di Hong Kong atau Malaysia. Biayanya Rp 4.000 per jam.

Para pengusaha kecil di sana dipacu menghasilkan usaha baru yang unik. Suyono, 36 tahun, misalnya, kini sedang merintis peternakan tokek, setelah berhasil membudidayakan bermacam hewan. Ilhamnya diperoleh dari Google, bahwa reptil itu bisa menyembuhkan sakit pinggang. Di kandang di sebelah rumahnya kini sudah berhimpun 4.000 ekor tokek. ”Sudah dipesan pengusaha obat dari Cina,” katanya.

Berdagang lewat Internet memang tak mudah. Itu sebabnya, pasokan barang langsung ke warung-warung di sekitar Madiun masih jadi andalan. Persoalan lain, pola pengelolaan bisnis juga masih amburadul. Para pengusaha itu sering kelabakan jika tiba-tiba order membludak, sementara kapasitas tak mencukupi. ”Karena itulah pelatihan manajemen juga diadakan setiap pekan,” kata Asianti.

Rumah Internet pun tak lagi cuma berisi komputer, tapi juga buku-buku tentang pelbagai jenis usaha. Untuk segala kelengkapan itu, plus biaya menggaji tiga pendamping dan pelatih, Badan Pengelola harus mengeluarkan Rp 400 juta. Rumah Internet Muneng, kata Asianti, meniru rumah serupa buatan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional dan Badan Pembangunan PBB (UNDP) di Desa Kertosari, Lumajang, Jawa Timur, 10 kilometer dari Gunung Semeru.

Cuma, karena terpencil, koneksi Internet di sana menjadi problem. Dengan kecepatan yang hanya 64 kilobyte per detik, akses ke dunia maya bak menunggu siput balap karung. ”Leletnya minta ampun, kadang putus tiba-tiba,” kata Sahlan Basyar, Ketua Telecenter Semeru.

Akibatnya, promosi di Semeru tak segencar di Muneng. Telecenter ini lebih banyak dimanfaatkan untuk pelatihan guru. Universitas Terbuka sudah setahun ini memasok modul bagi guru-guru sekolah dasar yang menempuh pendidikan diploma. Pengelola juga menyediakan pojok diskusi maya (mailing list) bagi para guru se-Lumajang. Juga ada kelompok belajar paket C karena Kertosari tak punya sekolah menengah atas.

Meski begitu, Sahlan tetap berpromosi lewat indonetwork.co.id. Ketika ditemui pada Rabu dua pekan lalu, ia sedang menerima telepon dari pedagang di Mojokerto. ”Dia minta dikirim keripik pisang dua ton sebulan,” katanya sumringah. Selain berdagang keripik, ada 15 kelompok usaha yang mengembangkan budidaya kodok lembu, paket wisata Semeru, keripik jahe, sampai tanaman hias.

Selain di Jawa, UNDP juga membangun rumah Internet serupa di Maluku dan Sulawesi. Menurut Surjadi Slamet, konsultan UNDP, akses Internet menjadi salah satu anasir untuk memangkas kemiskinan seperti tertuang dalam program Perserikatan Bangsa-Bangsa, Millennium Development Goal. Sesungguhnya, proyek ini mengadopsi apa yang dilakukan aktivis lembaga swadaya masyarakat di Eropa, Asia Tengah, dan Amerika Latin, sejak pertengahan 1980.

Di Indonesia proyek ini baru dimulai pada 2005. Meski belum maksimal, Surjadi maupun Asianti optimistis, Internet bisa membantu pengusaha kecil mengembangkan bisnis. ”Yang penting, orang desa kenal dulu dengan komputer dan Internet,” kata Surjadi.

Bagja Hidayat, Dini Mawuntyas (Madiun), Mahbub Junaidy (Lumajang)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus