Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BARU lima bulan menjabat Chief Executive Officer Ford Motor Company, Alan Mulally sudah menanggung beban berat. Pria 61 tahun kelahiran Oakland, California, Amerika Serikat itu harus menerima dua kabar pahit yang datang beruntun.
Kabar pertama soal laporan keuangan perusahaan pada 2006. Dalam laporan yang dipublikasikan tiga pekan lalu itu, perusahaan otomotif Amerika yang didirikan Henry Ford itu menderita kerugian US$ 12,7 miliar (sekitar Rp 114,8 triliun), rekor terburuk selama 103 tahun perusahaan itu berdiri.
Yang kedua, anjloknya hasil penjualan Ford di Amerika hingga 19 persen, Januari lalu. Jumlah kendaraan yang terjual cuma 166.835 unit. Perolehan itu langsung membuat Ford, yang selama ini nangkring di urutan dua pasar otomotif Amerika—di bawah General Motors—terlempar ke posisi empat.
Perusahaan yang bermarkas di Dearborn, Michigan, itu disodok oleh Toyota Motor Corporation dan DaimlerChrysler. Penjualan Toyota melonjak 9,5 persen menjadi 175.850 unit. Sedangkan penjualan DaimlerChrysler, produsen MercedesBenz, naik tiga persen menjadi 173.377 unit.
Tergerusnya brankas perusahaan juga membuat kejayaan Ford selama bertahuntahun luruh. Agar tak karam, Ford langsung menggadaikan asetasetnya demi mendapat pinjaman US$ 23,4 miliar. Duit itu akan dipakai untuk merestrukturisasi perusahaan dan menutup kerugian yang diperkirakan terus menghantam hingga 2008. Soalnya, ”perdarahan” itu diprediksi bakal lebih hebat.
Ford diperkirakan baru bisa memperoleh laba pada 2009. Untuk sampai ke sana, 38 ribu karyawan yang dibayar per jam sepakat mengundurkan diri, sesuai dengan tawaran perusahaan. Ford juga berencana memangkas 14 ribu eksekutifnya. Jumlah produksi akan dikurangi, dan 16 pabrik di berbagai negara ditutup hingga 2012. ”Kami tahu di mana posisi kami,” kata Allan Mulally, yang sebelumnya menjabat Executive Vice President Boeing Corporation.
Langkah lain Ford adalah melakukan investasi US$ 7 miliar untuk mengembangkan produk baru dan memperbaiki produk lama, seperti mobil Ford Escape dan Mercury Mariner, di pabrik Claycomo, Kansas. Kedua jenis mobil tadi akan dilengkapi dengan versi hibrid agar bahan bakarnya lebih irit.
Sempat juga tersiar kabar, Ford sudah melakukan pembicaraan dengan RenaultNissan, kemudian Toyota, untuk menjajaki penggabungan usaha. Tapi Mulally langsung menyangkal. ”Kami tidak akan melakukannya,” katanya. ”Kami hanya berfokus pada Ford dan mengembalikannya ke arah yang benar.”
Tandatanda tersungkurnya Ford sesungguhnya sudah tampak sejak melambungnya harga minyak mentah dunia, yang sempat menembus US$ 70 per barel. Kenaikan sejak pertengahan 2005 itu membuat harga bensin melonjak. Akibatnya, banyak konsumen beralih ke mobil hibrid, yang berbahan bakar campuran bensin dan listrik.
Toyota, sebagai pelopor mobil hibrid—pertama kali menjual Toyota Prius ke pasar dunia pada 2001—langsung ketiban rezeki. Lewat versi hibrid itu pula, Toyota Camry menjadi salah satu kendaraan terlaris di Amerika. Tak mengherankan, dalam 16 bulan terakhir, penjualan produk Toyota—seperti Camry, Lexus, Rav4, dan Yaris—melejit. Padahal, ”Sepuluh tahun lalu, tak terbayang Toyota bisa menyalip Ford,” kata Jesse Toprak, analis otomotif dari Edmunds Inc.
Keberhasilan Toyota itu membuat jumlah produksinya di pasar dunia kini hanya terpaut tipis dari General Motors. Saat tutup tahun 2006 lalu, produksinya mencapai 9 juta unit, hanya kalah 162 ribu unit dari General Motors. Adapun penjualannya diperkirakan menembus 8,8 juta unit. Jauh meninggalkan Ford, yang hanya 6,6 juta unit.
Dari sisi profit, Toyota sesungguhnya sudah menaklukkan General Motors. Pada 2005, misalnya, perusahaan ini sudah mereguk laba US$ 12 miliar. General Motors malah rugi US$ 10,6 miliar. Menurut Presiden Toyota, Katsuaki Watanabe, laba itu akibat meningkatnya penjualan di Amerika Utara. ”Di sanalah pasar paling menguntungkan buat Toyota,” katanya. ”Karena pembeli memilih kendaraan dengan bahan bakar yang lebih efisien.”
Berkat pencapaian itu, raksasa otomotif Jepang yang didirikan Kiichiro Toyoda pada 1933 ini kini bersiap menggenjot produksi mobilnya hingga 9,4 juta unit. Sebaliknya, General Motors tampaknya masih sibuk berhemat. Pertengahan tahun lalu, 35 ribu karyawan dipangkas. Sedangkan pada kuartal pertama tahun ini, produksinya akan dikurangi hingga 40 ribu unit. Dampaknya sudah terasa. Penjualannya di Amerika pada Januari lalu terpuruk hingga 16 persen.
Untuk memperbaiki kondisi keuangan, perusahaan yang beken berkat mobil Cadillac, Pontiac, Opel, dan Chevrolet itu juga menjual 92,4 miliar lembar saham Suzuki, perusahaan otomotif asal Jepang, miliknya. Dari penjualan itu, General Motors mendapat suntikan segar US$ 2,3 miliar.
Perusahaan juga telah melego 51 persen saham GMAC, anak perusahaan di bidang keuangan dan asuransi otomotif, kepada Carberus Capital Management. Langkah lain perusahaan yang berdiri sejak 1908 itu ialah merencanakan membuat mobil hibrid, dengan nama iCar. Itu semua dilakukan, kata Rick Wagoner, CEO General Motors, untuk mengembalikan kejayaan otomotif Amerika.
Yandhrie Arvian (AP, Washington Post, ABC News, Bloomberg)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo