Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bank Bali, Sebentar Sampai

Suntikan modal ke Bank Bali dihentikan sampai proses peradilan selesai. Ongkos penutupan ''Bank Jempol" lebih besar dari biaya penyehatannya.

14 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANK Jempol itu berdiri di ujung tanduk. Goyang saja sedikit, si Jempol bakal terguling jatuh. Dan mati.

Posisi Bank Bali makin kritis setelah pemerintah menyetop seluruh proses injeksi modal, Kamis pekan lalu. Sedianya penyuntikan modal untuk bank berlogo jempol itu akan digelar bulan depan. Tapi, karena status Bank Bali berada dalam proses pengadilan banding, rekapitalisasi itu ditunda sampai ada ketetapan hukum yang final.

Tentu saja penundaan ini tidak cuma mengancam kinerja Bank Bali, tapi juga membahayakan kemampuan keuangan pemerintah. Tanpa suntikan kapital baru, modal Bank Bali akan menyusut Rp 75 miliar per bulan untuk menutup kerugian bunga. Pemerintah memang telah menyatakan kesanggupannya untuk menutup ''kebocoran" itu. Tapi persoalannya: sampai berapa lama negara harus menomboki Bank Bali?

Pelbagai keruwetan ini merupakan buntut dari gugatan pemilik lama Bank Bali, Rudy Ramli, terhadap Bank Indonesia (BI) dan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Menurut Rudy, kedua lembaga pemerintah itu tak berhak mengambil alih kepemilikan Bank Bali. Hebatnya, gugatan itu dimenangkan oleh pengadilan tata usaha negara. Pemerintah memang bisa melakukan banding, tapi sementara itu proses rekapitalisasi menjadi terkatung-katung.

Menurut pemerintah, rekapitalisasi bisa saja diteruskan jika Rudy mau mencabut gugatan dan ikut menyuntikkan 20 persen total kebutuhan modal Bank Bali. Semula, negosiasi di luar pengadilan berjalan mulus. Rudy dikabarkan mau memenuhi tuntutan pemerintah dengan satu syarat: diizinkan ikut menyuntikkan tambahan modal dan mendapat hak memiliki 15 persen saham Bank Bali.

Tapi, belakangan, menurut sumber TEMPO di kalangan keuangan, ''Rudy plintat-plintut." Ketika deal hampir diteken, tuntutan Rudy bertambah: ada tujuh syarat, di antaranya pemerintah wajib melapor kepada Rudy jika mau menjual sahamnya kepada pihak lain. Menghadapi sikap yang tak bisa dipegang ini, pemerintah angkat tangan. ''Ya, kita teruskan saja proses peradilannya sampai selesai," kata sumber TEMPO di Departemen Keuangan.

Tapi itu suara pemerintah. Suara Rudy lain. Menurut ahli waris Bank Bali ini, justru pemerintah yang banyak menuntut. ''Banyak permintaan yang tak masuk akal," katanya (lihat wawancara Rudy Ramli). Misalnya, permintaan untuk mencabut gugatan itu, bagi Rudy, hanya akan melecehkan pengadilan dan berpeluang ''membawa saya kembali ke penjara. Terang saja saya tak mau."

''Perseteruan" Rudy dengan BI dan BPPN, agaknya, sulit direkatkan. Dalam setiap negosiasi, kabarnya, mereka saling ngotot, berjuang dengan tuntutan masing-masing, tanpa mau mundur. Sering kali perseteruan malah dilanjutkan di luar dengan saling melancarkan perang urat saraf lewat media massa. Para pejabat BI, misalnya, berkali-kali ''mengancam" melikuidasi Bank Bali bila tak tercapai kesepakatan.

Perundingan model begini jelas membuat masa depan si Jempol makin tak menentu. Mudah dipahami juga bila para nasabah mulai hengkang dari Bank Bali. ''Kualitasnya makin merosot lantaran nasabahnya pada lari," kata Deputi BPPN Bidang Administrasi, Sumantri Slamet. Menurut taksiran, sekitar Rp 1,5 triliun dana pihak ketiga sudah cabut dari bank yang terkenal konservatif itu.

Lalu, untuk apa Bank Bali harus dipertahankan? Pertanyaan yang tak mudah dijawab memang. Tapi, menurut Kepala BPPN Cacuk Sudarijanto, biaya untuk menyehatkan Bank Bali lebih murah ketimbang ongkos untuk menutupnya. Berdasarkan taksiran awal, biaya likuidasi Bank Bali akan mencapai Rp 5 triliun, sedangkan biaya rekapitalisasinya cuma Rp 4,56 triliun.

Tambahan pula, biaya penutupan harus dibayar tunai (cash). Sedangkan dalam rekapitalisasi, yang dibayar kontan cuma bunga obligasinya. Alasan lain, pemerintah harus memperhatikan nasib 6.000 karyawan Bank Bali. Sementara itu, diakui pula, ''Jaringan Bank Bali sebenarnya cukup bagus," kata Cacuk.

Jadi, Bank Bali akan tetap direkap? Jangan terlampau optimistis….

Nugroho Dewanto, Leanika Tanjung, Ardi Bramantyo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus