Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan perjanjian itu, pemerintah memiliki 80 persen saham Chandra Asri, sebagai ganti atas seluruh piutang (nilainya US$ 340 juta) yang diberikan kepada proyek petrokimia itu. Sedangkan 20 persen saham lagi akan dikuasai Marubeni sebagai imbalan piutang US$ 100 juta. Kedua pemilik baru Chandra Asri itu (pemerintah dan Marubeni) akan bersama-sama menanggung beban sisa utang US$ 610 juta kepada konsorsium kreditor Jepang. Bunganya ditetapkan 2,5 persen di atas LIBOR (suku bunga antarbank di pasar uang London).
Mengapa seluruh piutang pemerintah dijadikan penyertaan modal? Mengapa cuma sebagian kecil piutang Jepang yang dialihkan sebagai setoran kapital? Bukankah itu berarti pemerintah Indonesia mem-bail-out (menanggung) utang Chandra Asri? Dan sebaliknya, bukankah dengan jaminan itu risiko para kreditur Jepang makin ringan karena piutangnya ditanggung pemerintah Indonesia? Adilkah perjanjian pelunasan utang seperti ini?
''Jelas tidak adil," kata sumber TEMPO di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga yang mengurusi utang macet ini. Sejak awal, BPPN pasang harga mati: kedua kreditor, Indonesia dan Jepang, harus sama-sama menanggung beban kerugian Chandra Asri. Proyek raksasa pembuat olefin (bahan baku plastik) itu sejak beroperasi lima tahun lalu sudah merugi US$ 650 juta dan kini menanggung utang macet US$ 1,050 miliar.
Dengan posisi rugi sama ditanggung seperti itu, pembagian setoran modal (kalaupun harus dilakukan) sudah semestinya disesuaikan dengan komposisi utang, yakni 65:35. Berapa pun utang yang diubah menjadi kapital, berapa pun yang dipertahankan sebagai sustainable debt (utang yang mampu dibayar), semuanya harus disesuaikan dengan komposisi piutang.
Lalu, mengapa pemerintah menyetujui perjanjian timpang ini? Boleh jadi, itulah hasil karya para jin dari alam gaib yang dibawa konsultan ahli khusus BPPN, Hasyim Wahid. Menurut kiai-pengusaha K.H. Nur Muh Iskandar S.Q., adik kandung Gus Dur yang ngetop dengan panggilan Gus Im itu telah mengerahkan jin-jin untuk membantu penyelesaian utang macet. Bukan mustahil, Chandra Asri merupakan salah satu proyek pertama yang digarap jin-jin Gus Im.
Harus diakui, restrukturisasi utang Chandra Asri terjadi setelah file-nya masuk ke meja Gus Dur. Ceritanya, perundingan antara Marubeni, yang mewakili kreditor Jepang, dan BPPN mentok. Lembaga pemerintah itu ngotot agar kerugian Chandra Asri sama-sama dipikul. Belakangan, BPPN memang setuju dengan pembagian 80:20, tapi dengan catatan sisa utangnya dilunasi 20 tahun.
Tapi, Marubeni tak setuju. Mereka ngotot dengan usul semula. Bahkan, perusahaan Jepang ini memberi tenggat sampai 31 Maret. Alasannya, sebuah bank di Negeri Sakura itu bakal kolaps jika Chandra Asri tak segera membayar utang. Mereka juga berkilah, Tokyo berada di belakang mereka.
Pendek kata, kata seorang pejabat BPPN, Marubeni ingin pemerintah Indonesia melunasi seluruh utang Chandra Asri. BPPN angkat tangan dan menyerahkan masalah ini kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dipimpin Kwik Kian Gie. Ternyata Kwik pun angkat tangan. Marubeni tak mau mundur sejejak pun.
Tak ada jalan lain: file dioper kepada Gus Dur. Di sinilah mukjizat itu datang. Presiden ternyata menyetujui usulan Marubeni. Pemerintah sepakat menukarkan seluruh piutangnya dengan 80 persen saham, dengan janji bahwa sebuah bank Jepang akan memberikan kredit modal kerja US$ 200 juta. Dengan kredit baru ini, kapasitas Chandra Asri bisa digenjot penuh.
Menurut sumber TEMPO, jurus bail-out Gus Dur bukan tanpa alasan. Seorang pejabat di kalangan keuangan menyatakan langkah itu, ''Cuma umpan untuk mengail kakap besar." Begini ceritanya. Demi kesehatan perbankan, pemerintah Jepang sangat ingin menyelamatkan Marubeni dari kubangan Chandra Asri. Tapi, berdasarkan undang-undang, Tokyo dilarang mem-bail-out perusahaan swasta. Karena itu, ''Kasarnya, mereka minta tolong kita."
Gus Dur bukan tak kenal jurus tik-tak seperti ini. Konon, kompensasi yang dijanjikan cukup menggiurkan. Ada yang bilang, dengan menjamin utang Chandra Asri, Indonesia akan mendapatkan pencairan pinjaman lunak Miyazawa Plan untuk sejumlah proyek infrastruktur, seperti jalan tol yang terbengkalai atau jalur ganda kereta api di Jawa. Lagi pula, katanya, Jepang sudah banyak membantu kelancaran Paris Club, bulan lalu. ''Itung-itung sekalian balas budi," katanya santai.
Kalaulah iming-iming Miyazawa itu benar, tampaknya harus disadari, ongkos bail-out ini tidak murah. Kalaupun ada keuntungan operasional, bisa dipastikan tak akan menetes dalam bentuk dividen karena sudah habis (bahkan mungkin kurang) untuk membayar cicilan utang. Mudah diduga, bagi pemerintah, kepemilikan di Chandra Asri akan lebih jadi beban ketimbang kekayaan.
Salah satu yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban pemerintah adalah menjual Chandra Asri sebisanyakalau bisa jangan, sampai rugi. Kebetulan, menurut sumber TEMPO di BPPN, raksasa Inggris, BP Amoco, sedang mengincar saham pabrik penghasil olefin itu. ''Akhir Mei ini, bosnya akan datang mengajukan tawaran," katanya.
Tapi, berapa kira-kira yang bisa diperoleh pemerintah? Entahlah. Yang pasti, soal harga akan menjadi ganjalan. Menurut taksiran para analis perusahaan petrokimia, nilai aset Chandra Asri cuma US$ 1 miliar. Melalui metode replacement cost, bisa dihitung nilai bersih perusahaan ini hanya US$ 390 juta (aset dikurangi utang). Dengan nilai sekecil itu, paling banter pemerintah bisa melego sahamnya pada harga US$ 310 juta, rugi US$ 30 juta dari investasi semula.
Itu pun belum tentu dapat. Soalnya, pemilik lama Chandra Asri (Prajogo Pangestu dkk.) kabarnya sedang ngotot agar bisa tetap bertahan di sana. Dan menurut sumber TEMPO, pemerintah sebenarnya sudah memberi konsesi 10 persen kepada Prajogo dkk. Jadi, kata sumber ini, komposisi sahamnya bukan 80:20, tapi 70:20:10.
M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung
Posisi Utang Chandra Asri
Tahun | Jenis Utang dan Jumlah Utang | Bank Pemberi Utang |
1991 | Modal US$ 400 juta, terdiri dari US$ 300 juta (Konsorsium Indonesia/IPIC) dan US$ 100 juta (Konsorsium Jepang/JIPIC) | Dari modal IPIC sebesar US$ 300 juta itu, US$ 190 juta berupa utang kepada BCA (US$ 20 juta), Bank Yama (US$ 52 juta), Bank Andromeda (US$ 77 juta), dan Bahana (US $ 46,5 juta). |
1993 | Kredit investasi U$ 1,27 miliar | |
1994 | Kredit modal kerja US$ 80 juta | Kredit berasal dari Bank Danamon US$ 30 juta, Bank Andromeda US$ 20 juta, dan BBD US$ 30 juta. |
1996 | Kredit modal kerja US$ 122 juta | BNI |
1996 | Kredit pembiayaan impor US$ 100 juta | BNI US$ 75 juta dan JIPIC US$ 25 juta |
1998 | Kredit modal kerja US$ 150 juta | JIPIC (Marubeni) |
2000 | Posisi akhir utang Chandra Asri US$ 1,05 miliar | Bank lokal US$ 340 dan JIPIC US$ 710 juta |
Retrukturisasi Utang Chandra Asri
Tahun | Pokok-Pokok Restrukturisasi | Keterangan |
September 1997 | Utang dari bank lokal (Danamon,BBD, dan BDN) sebesar US$ 500 juta dijadikan penyertaan saham di Inter Petrindo Inti Citra,yang memegang 32,62 persensaham Chandra Asri. | |
Februari 2000 | Penjadwalan utang ke bank lokal US$ 356 juta, dan JIPIC US$ 710 juta. | |
Mei 2000 | Utang bank lokal sebesar US$ 350 juta dan utang JIPIC US$ 100 juta dijadikan penyertaan saham. |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo