Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jin Gaib, Janji Gaib, Chandra Asri

Gus Dur menyetujui pembagian saham Chandra Asri. Umpan yang terlalu mahal untuk mengail pinjaman lunak dari Jepang.

14 Mei 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DUNIA penuh keganjilan, apalagi di Indonesia. Lihat saja penyelesaian utang Chandra Asri. Setelah setahun lebih berunding, saling ngotot dalam negosiasi yang alot dan macet kepentok deadlock, eh, tiba-tiba ''abrakadabra", seperti sulapan, restrukturisasi utang proyek kontroversial itu bisa diselesaikan dengan cara yang begitu gampang. Kamis lalu, Presiden Abdurrahman Wahid menyetujui perjanjian pelunasan utang macet Chandra Asri: sebagian utang diubah jadi penyertaan modal, dan sisanya dicicil selama sembilan tahun.

Dengan perjanjian itu, pemerintah memiliki 80 persen saham Chandra Asri, sebagai ganti atas seluruh piutang (nilainya US$ 340 juta) yang diberikan kepada proyek petrokimia itu. Sedangkan 20 persen saham lagi akan dikuasai Marubeni sebagai imbalan piutang US$ 100 juta. Kedua pemilik baru Chandra Asri itu (pemerintah dan Marubeni) akan bersama-sama menanggung beban sisa utang US$ 610 juta kepada konsorsium kreditor Jepang. Bunganya ditetapkan 2,5 persen di atas LIBOR (suku bunga antarbank di pasar uang London).

Mengapa seluruh piutang pemerintah dijadikan penyertaan modal? Mengapa cuma sebagian kecil piutang Jepang yang dialihkan sebagai setoran kapital? Bukankah itu berarti pemerintah Indonesia mem-bail-out (menanggung) utang Chandra Asri? Dan sebaliknya, bukankah dengan jaminan itu risiko para kreditur Jepang makin ringan karena piutangnya ditanggung pemerintah Indonesia? Adilkah perjanjian pelunasan utang seperti ini?

''Jelas tidak adil," kata sumber TEMPO di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), lembaga yang mengurusi utang macet ini. Sejak awal, BPPN pasang harga mati: kedua kreditor, Indonesia dan Jepang, harus sama-sama menanggung beban kerugian Chandra Asri. Proyek raksasa pembuat olefin (bahan baku plastik) itu sejak beroperasi lima tahun lalu sudah merugi US$ 650 juta dan kini menanggung utang macet US$ 1,050 miliar.

Dengan posisi rugi sama ditanggung seperti itu, pembagian setoran modal (kalaupun harus dilakukan) sudah semestinya disesuaikan dengan komposisi utang, yakni 65:35. Berapa pun utang yang diubah menjadi kapital, berapa pun yang dipertahankan sebagai sustainable debt (utang yang mampu dibayar), semuanya harus disesuaikan dengan komposisi piutang.

Lalu, mengapa pemerintah menyetujui perjanjian timpang ini? Boleh jadi, itulah hasil karya para jin dari alam gaib yang dibawa konsultan ahli khusus BPPN, Hasyim Wahid. Menurut kiai-pengusaha K.H. Nur Muh Iskandar S.Q., adik kandung Gus Dur yang ngetop dengan panggilan Gus Im itu telah mengerahkan jin-jin untuk membantu penyelesaian utang macet. Bukan mustahil, Chandra Asri merupakan salah satu proyek pertama yang digarap jin-jin Gus Im.

Harus diakui, restrukturisasi utang Chandra Asri terjadi setelah file-nya masuk ke meja Gus Dur. Ceritanya, perundingan antara Marubeni, yang mewakili kreditor Jepang, dan BPPN mentok. Lembaga pemerintah itu ngotot agar kerugian Chandra Asri sama-sama dipikul. Belakangan, BPPN memang setuju dengan pembagian 80:20, tapi dengan catatan sisa utangnya dilunasi 20 tahun.

Tapi, Marubeni tak setuju. Mereka ngotot dengan usul semula. Bahkan, perusahaan Jepang ini memberi tenggat sampai 31 Maret. Alasannya, sebuah bank di Negeri Sakura itu bakal kolaps jika Chandra Asri tak segera membayar utang. Mereka juga berkilah, Tokyo berada di belakang mereka.

Pendek kata, kata seorang pejabat BPPN, Marubeni ingin pemerintah Indonesia melunasi seluruh utang Chandra Asri. BPPN angkat tangan dan menyerahkan masalah ini kepada Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) yang dipimpin Kwik Kian Gie. Ternyata Kwik pun angkat tangan. Marubeni tak mau mundur sejejak pun.

Tak ada jalan lain: file dioper kepada Gus Dur. Di sinilah mukjizat itu datang. Presiden ternyata menyetujui usulan Marubeni. Pemerintah sepakat menukarkan seluruh piutangnya dengan 80 persen saham, dengan janji bahwa sebuah bank Jepang akan memberikan kredit modal kerja US$ 200 juta. Dengan kredit baru ini, kapasitas Chandra Asri bisa digenjot penuh.

Menurut sumber TEMPO, jurus bail-out Gus Dur bukan tanpa alasan. Seorang pejabat di kalangan keuangan menyatakan langkah itu, ''Cuma umpan untuk mengail kakap besar." Begini ceritanya. Demi kesehatan perbankan, pemerintah Jepang sangat ingin menyelamatkan Marubeni dari kubangan Chandra Asri. Tapi, berdasarkan undang-undang, Tokyo dilarang mem-bail-out perusahaan swasta. Karena itu, ''Kasarnya, mereka minta tolong kita."

Gus Dur bukan tak kenal jurus tik-tak seperti ini. Konon, kompensasi yang dijanjikan cukup menggiurkan. Ada yang bilang, dengan menjamin utang Chandra Asri, Indonesia akan mendapatkan pencairan pinjaman lunak Miyazawa Plan untuk sejumlah proyek infrastruktur, seperti jalan tol yang terbengkalai atau jalur ganda kereta api di Jawa. Lagi pula, katanya, Jepang sudah banyak membantu kelancaran Paris Club, bulan lalu. ''Itung-itung sekalian balas budi," katanya santai.

Kalaulah iming-iming Miyazawa itu benar, tampaknya harus disadari, ongkos bail-out ini tidak murah. Kalaupun ada keuntungan operasional, bisa dipastikan tak akan menetes dalam bentuk dividen karena sudah habis (bahkan mungkin kurang) untuk membayar cicilan utang. Mudah diduga, bagi pemerintah, kepemilikan di Chandra Asri akan lebih jadi beban ketimbang kekayaan.

Salah satu yang bisa dilakukan untuk mengurangi beban pemerintah adalah menjual Chandra Asri sebisanya—kalau bisa jangan, sampai rugi. Kebetulan, menurut sumber TEMPO di BPPN, raksasa Inggris, BP Amoco, sedang mengincar saham pabrik penghasil olefin itu. ''Akhir Mei ini, bosnya akan datang mengajukan tawaran," katanya.

Tapi, berapa kira-kira yang bisa diperoleh pemerintah? Entahlah. Yang pasti, soal harga akan menjadi ganjalan. Menurut taksiran para analis perusahaan petrokimia, nilai aset Chandra Asri cuma US$ 1 miliar. Melalui metode replacement cost, bisa dihitung nilai bersih perusahaan ini hanya US$ 390 juta (aset dikurangi utang). Dengan nilai sekecil itu, paling banter pemerintah bisa melego sahamnya pada harga US$ 310 juta, rugi US$ 30 juta dari investasi semula.

Itu pun belum tentu dapat. Soalnya, pemilik lama Chandra Asri (Prajogo Pangestu dkk.) kabarnya sedang ngotot agar bisa tetap bertahan di sana. Dan menurut sumber TEMPO, pemerintah sebenarnya sudah memberi konsesi 10 persen kepada Prajogo dkk. Jadi, kata sumber ini, komposisi sahamnya bukan 80:20, tapi 70:20:10.

M. Taufiqurohman, Leanika Tanjung

Posisi Utang Chandra Asri

TahunJenis Utang dan Jumlah UtangBank Pemberi Utang
1991Modal US$ 400 juta, terdiri dari US$ 300 juta (Konsorsium Indonesia/IPIC) dan US$ 100 juta (Konsorsium Jepang/JIPIC)Dari modal IPIC sebesar US$ 300 juta itu, US$ 190 juta berupa utang kepada BCA (US$ 20 juta), Bank Yama (US$ 52 juta), Bank Andromeda (US$ 77 juta), dan Bahana (US $ 46,5 juta).
1993Kredit investasi U$ 1,27 miliar
  • JIPIC (Konsorsium Jepang): US$ 635 juta
  • Bank-bank lokal US$ 635 juta, terdiri dari: Bank Danamon US$ 315,23 juta, Bank Bumi Daya US$ 220 juta, dan Bank Dagang Negara US$ 99,77 juta.
  • 1994Kredit modal kerja US$ 80 jutaKredit berasal dari Bank Danamon US$ 30 juta, Bank Andromeda US$ 20 juta, dan BBD US$ 30 juta.
    1996Kredit modal kerja US$ 122 jutaBNI
    1996Kredit pembiayaan impor US$ 100 jutaBNI US$ 75 juta dan JIPIC US$ 25 juta
    1998Kredit modal kerja US$ 150 jutaJIPIC (Marubeni)
    2000Posisi akhir utang Chandra Asri US$ 1,05 miliarBank lokal US$ 340 dan JIPIC US$ 710 juta


    Retrukturisasi Utang Chandra Asri

    TahunPokok-Pokok RestrukturisasiKeterangan
    September 1997Utang dari bank lokal (Danamon,BBD, dan BDN) sebesar US$ 500 juta dijadikan penyertaan saham di Inter Petrindo Inti Citra,yang memegang 32,62 persensaham Chandra Asri.
  • Utang dari JIPIC sebesar US$ 150 juta dijadikan penyertaan saham di Chandra Asri.
  • Komposisi saham Chandra Asri sebelum restrukturisasi: Stallion dan Siemene 75 persen, JIPIC 25 persen.
  • Komposisi setelah restrukturisasi: Siemene (24,76%), Stallion (3,81%), Inter Petrindo (32,62%), JIPIC (23,81%), dan tiga bank lokal (15%).
  • Tiga bank tidak menjadi pemegang saham Chandra Asri, melainkan di Inter Petrindo, sehingga secara tidak langsung menguasai 15 persen Chandra Asri.
  • Februari 2000Penjadwalan utang ke bank lokal US$ 356 juta, dan JIPIC US$ 710 juta.
  • Pembayaran bunga ke bank lokal dikapitalisasi menjadi pokok pinjaman, sementara pembayaran bunga ke JIPIC tunai.
  • Kredit dari JIPIC dan kredit modal kerja dari BNI punya status senior, sehingga kalau Chandra Asri bangkrut, harus dibayar lebih dulu.
  • Mei 2000Utang bank lokal sebesar US$ 350 juta dan utang JIPIC US$ 100 juta dijadikan penyertaan saham.
  • Komposisi saham adalah 80 persen pemerintah, sisanya Marubeni.
  • Utang ke Marubeni US$ 610 juta dijadwal ulang menjadi 9 tahun dengan bunga 2,5 persen di atas LIBOR.
  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus