Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Industri perbankan mulai mengantisipasi lonjakan kredit macet atau non-performing loan (NPL) pasca-pandemi Covid-19 dengan meningkatkan pencadangan. Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk Jahja Setiaatmadja mengatakan ada kekhawatiran debitur yang kreditnya direstrukturisasi tak mampu memulihkan bisnisnya sehingga gagal membayar utang saat pelonggaran berakhir pada Maret 2021. “Kami mendalami satu per satu keadaan nasabah, apakah masalahnya hanya likuiditas atau ada masalah yang lebih serius, seperti profitabilitas dan ketahanan usaha,” ujarnya, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Jahja mengatakan kondisi tersebut merupakan konsekuensi dari kebijakan restrukturisasi kredit. Penilaian kredit nasabah yang direstrukturisasi hanya didasari oleh ketepatan pembayaran pokok dan bunga atau kolektibilitas satu pilar. “Ini bahayanya restrukturisasi karena mengkamuflase semua yang tidak bisa bayar,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Untuk mengantisipasi risiko, Jahja mengatakan, BCA memupuk pencadangan. “Walau sekarang tidak muncul sebagai NPL, kami tetap mencadangkan,” ujar dia. Hingga Maret 2020, tingkat NPL BCA tercatat 1,6 persen, tapi porsi pencadangan diperbesar hingga 121,9 persen.
Antisipasi serupa dilakukan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk yang hingga 7 Juni lalu telah menyetujui restrukturisasi 440 ribu debitur dengan baki debit Rp 99 triliun. Direktur Manajemen Risiko Bank Mandiri Ahmad Siddik Badruddin mengatakan beban pencadangan yang disiapkan perseroan melonjak dari 144,25 persen pada Desember 2019 menjadi 256,65 persen pada akhir Maret lalu. “Kami siapkan untuk memutihkan kredit kalau sampai macet,” kata dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Piter Abdullah, mangatakan potensi kenaikan NPL terjadi karena memburuknya perekonomian akibat wabah Covid-19 sulit dihindari. “Restrukturisasi kredit hanya bisa menahan laju pemburukan tersebut agar tidak meningkat terlalu tajam sehingga membahayakan perbankan,” ucapnya.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan, hingga 26 Mei lalu, ada 96 bank yang menjalankan kebijakan restrukturisasi untuk 5,3 juta debitur dengan nilai kredit Rp 517,2 triliun.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Halim Alamsyah menyebutkan kredit macet masuk dalam tiga risiko besar yang dihadapi perbankan akibat pandemi Covid-19, bersama dengan risiko pasar dan risiko likuiditas. “Ini membuat perbankan perlu melakukan pencadangan yang di satu sisi akan memberatkan neracanya karena membuat profitabilitas menjadi lebih rendah dan terganggunya permodalan,” ujar Halim.
Tingkat rasio kecukupan modal (CAR) perbankan tercatat bergerak fluktuatif sejak awal tahun ini, dari 22,8 persen hingga tergerus menjadi 22,1 persen pada akhir April. Meski demikian, Halim memastikan kondisi industri perbankan secara keseluruhan tetap sehat, yang ditunjukkan dengan rasio-rasio kesehatan keuangan yang terjaga. “Sehingga kalau ditanya sampai saat ini apakah sudah ada bank yang gagal, kami tegaskan belum ada.”
GHOIDA RAHMAH
Bank Genjot Pencadangan untuk Antisipasi Kredit Macet
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo