Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA - Sejumlah bank bersiap merestrukturisasi kredit salah satu grup perusahaan tekstil terbesar di Indonesia, Duniatex. Langkah mitigasi ditempuh bank setelah kasus gagal bayar kupon obligasi global senilai US$ 11 juta atau Rp 145 miliar (asumsi kurs rupiah 14 ribu per dolar Amerika Serikat) oleh PT Delta Merlin Dunia Textile (DMDT), satu dari 18 perusahaan milik grup usaha asal Solo, Jawa Tengah, itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk masuk daftar bank yang menyalurkan kredit kepada Duniatex Group Rp 459 miliar. "Ada kredit sindikasi Rp 301 miliar dan bilateral loan Rp 158 miliar," ujar Direktur Manajemen Risiko BNI, Bob Tyasika Ananta, kemarin. Bob mengaku tengah berkoordinasi dengan pemilik Duniatex. "Kami pastikan jaminan yang kami kuasai bisa menutupi 2,5 kali kreditnya," kata dia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hingga akhir Juni 2019, BNI mencatat Duniatex masih bisa membayar utangnya. "Masih call 1, tapi kejadian ini menjadi perhatian," ujar Bob. Dia pun membantah isu yang menyatakan bahwa bank akan memutuskan kredit secara sepihak (cross default). "Kami bisa turunkan ke pra-NPL, berikutnya melakukan restrukturisasi."
Masalah ini bermula ketika DMDT menerbitkan obligasi global dalam mata uang dolar Amerika Serikat senilai US$ 300 juta pada Maret lalu. Surat utang itu memiliki tenor lima tahun dengan imbal hasil kupon 8,625 persen. DMDT menyatakan dana penerbitan obligasi itu akan digunakan untuk pembiayaan utang kembali (refinancing) dan kebutuhan perseroan lainnya.
Lembaga pemeringkat S&P juga memangkas rating obligasi gobal yang dirilis DMDT empat bulan lalu itu, dari BB- menjadi CCC-, atau rentan terhadap risiko wanprestasi. S&P menyatakan perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat menjadi salah satu penyebab krisis industri tekstil di Indonesia, termasuk DMDT.
Berdasarkan riset dari JP Morgan, Senin lalu, ada 10 bank yang menjadi kreditur DMDT dengan total pinjaman Rp 5,25 triliun dan US$ 362,3 juta. Duniatex telah menunjuk penasihat keuangan untuk opsi restrukturisasi. Kepada JP Morgan, PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyebut kredit yang disalurkan kepada Duniatex Rp 2,2 triliun, turun dari Desember 2018 sebesar Rp 3,4 triliun.
Direktur Industri Tekstil, Kulit, dan Alas Kaki Kementerian Perindustrian, Muhdori, menuturkan masalah yang menimpa Duniatex tak dapat disimpulkan sebagai dampak dari pelemahan industri tekstil. "Tidak ada sangkut-pautnya dengan kebijakan pengembangan atau industri tekstil dalam negeri," kata dia.
Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API), Ade Sudrajat, menyebut kasus ini sebagai sesuatu yang menggambarkan karakter individu. Berdasarkan data API, industri tekstil nasional kini dalam keadaan baik, dengan target ekspor US$ 14,6 miliar pada akhir 2019. "Kasus default itu memiliki sejumlah anomali yang perlu dicermati, seperti rating S&P yang berubah dari BB- ke CCC- dalam waktu empat bulan saja."
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, menduga Duniatex kesulitan ketika pasar domestik banyak diserbu produk impor. "Sebab, mereka pasar utamanya domestik, sehingga penjualannya pasti tertekan," katanya. LARISSA HUDA | GHOIDA RAHMAH
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo