Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Calon Barang Kena Cukai: dari Tiket Konser Musik hingga Rumah

Pemerintah berencana menambah barang kena cukai. Rencana ekspansi cukai sering mentok karena ditolak publik.

11 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah akan mengenakan cukai pada tiket konser hingga rumah.

  • Kontribusi cukai pada penerimaan negara dan PDB masih rendah.

  • Pungutan cukai tak hanya berlaku untuk barang dengan eksternalitas negatif.

NIAT pemerintah memungut cukai pada tiket konser membuat Hariyadi Sukamdani tak habis pikir. Menurut Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia ini tidak ada alasan kuat untuk negara mengenakan cukai pada tiket konser musik. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Umumnya, kata Hariyadi, pungutan cukai seharusnya bertujuan membatasi peredaran barang tertentu yang memiliki dampak negatif untuk kesehatan atau lingkungan, seperti minuman beralkohol dan rokok. Karena itu, dia juga mengaku tak menemukan alasan kuat pengenaan cukai baru pada minuman berpemanis ataupun makanan olahan dalam Peraturan Pemerintah (PP) tentang Kesehatan. “Makanan olahan agak unik karena landasannya ada dalam peraturan tentang kesehatan tapi berujung pada cukai,” katanya pada Selasa, 6 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rencana pemerintah memperluas jenis barang kena cukai dalam PP Kesehatan menjadi kontroversi lantaran komoditas yang dibidik cukup banyak. Sebagai contoh, dalam PP 28 Tahun 2024 itu tercatat pemerintah dapat mengenakan cukai pada makanan olahan guna mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak

Sedangkan ide mengenakan cukai konser dan produk lain mengemuka dalam kuliah umum berjudul “Menggali Potensi Cukai” di Politeknik Keuangan Negara Sekolah Tinggi Akuntansi Negara pada 19 Juli 2024. Dalam acara itu, Direktur Teknis dan Fasilitas Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Iyan Rubiyanto mengatakan pemerintah sedang membahas perluasan obyek barang kena cukai.

Deretan minuman beralkohol di etalase toko di Jakarta, 14 Mei 2024. Tempo/Tony Hartawan

Selain tiket konser musik, barang yang akan dikenai cukai adalah rumah, makanan cepat saji, tisu, telepon seluler pintar, bahan penyedap rasa monosodium glutamat, dan detergen. “Kalau rumah, rumah yang mana? Rumah mewah-mewah yang sering di-flexing,” ucap Iyan dalam kuliah itu. Obyek pungutan diperluas, menurut dia, lantaran jumlah barang kena cukai masih terbatas. 

Saat ini Indonesia hanya memiliki tiga barang yang dikenai cukai, yakni produk hasil tembakau, etil alkohol, dan minuman yang mengandung alkohol. Sedangkan negara-negara anggota ASEAN lain memiliki jumlah barang kena cukai yang lebih banyak. Sebagai contoh, Malaysia memiliki 4 obyek cukai, Filipina 8 obyek, dan Thailand 21 obyek.

Toh, rencana perluasan obyek cukai menuai banyak sorotan, termasuk dari dalam pemerintahan. Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno, misalnya, menyarankan wacana tersebut dikaji lebih mendalam. “Memang benar Indonesia perlu ruang fiskal yang lebih luas, tapi apakah ini cara yang tepat?” ujarnya. Sandiaga berharap rencana tersebut didiskusikan lebih lanjut agar tidak merugikan publik. 

Menanggapi pendapat-pendapat tersebut, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heriyanto mengatakan penambahan jenis barang kena cukai bisa diusulkan semua pihak. Namun, dia menambahkan, pada akhirnya ada proses yang perlu dilalui dari prakajian, kajian, hingga pembahasan dalam Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagai landasan pemungutan cukai. 

Karena itu, menurut Nirwala, penerapan pungutan cukai pada komoditas-komoditas baru masih memerlukan waktu. “Itu ada yang masih di ranah akademis, masih panjang,” katanya. Nirwala memberi contoh, cukai untuk minuman berpemanis dalam kemasan yang sudah masuk Undang-Undang APBN saja belum dilaksanakan karena, “Kondisi ekonomi yang belum memungkinkan.”

Rencana penambahan barang kena cukai bukan hal baru. Pemerintah sudah memasukkan target penerimaan cukai kemasan plastik dalam Undang-Undang APBN pada 2017. Target penerimaan cukai dari minuman berpemanis juga masuk Undang-Undang APBN 2023. Namun hingga kini peraturan pemerintah sebagai landasan dua pemungutan cukai baru tersebut belum ada. Nirwala mengatakan pemerintah selalu menerapkan asas kehati-hatian dalam penerapan pungutan cukai baru. 

Di sisi lain, pengenaan cukai pada kemasan plastik dan minuman berpemanis terus didorong oleh sejumlah kelompok masyarakat. Masalahnya, dalam beberapa tahun terakhir, kondisi perekonomian belum cukup kondusif untuk memperluas pengenaan cukai. Apalagi pada 2022 pemerintah baru menetapkan kenaikan pajak pertambahan nilai dari 10 persen menjadi 11 persen. “Pemerintah menggunakan asas kehati-hatian,” tutur Nirwala. 

Direktur Center of Economic and Law Studies Nailul Huda sepakat bahwa pemerintah mesti berhati-hati dalam memperluas pengenaan cukai. Salah satu prinsip yang harus dipegang pemerintah dalam mengenakan cukai adalah mengurangi angka konsumsi barang yang punya eksternalitas negatif, bukan menambah penerimaan negara. 

Dengan berpegang pada prinsip tersebut, Huda melanjutkan, pemerintah bisa memperkecil cakupan barang yang bisa dikenai cukai. Saat ini calon barang kena cukai yang sejatinya sudah jelas menimbulkan dampak negatif tapi belum dikenai cukai adalah plastik dan minuman berpemanis. Padahal, dia menambahkan, pengenaan cukai pada dua komoditas ini sangat tepat dan dampaknya terhadap ekonomi akan terbatas dan sementara. “Tujuannya memang mengurangi konsumsi barang tersebut,” ujarnya. 

Namun peneliti Center of Indonesia Taxation Analysis, Fajry Akbar, melihat penerimaan cukai berperan besar dalam keuangan negara. Dalam APBN 2024, dia mengungkapkan, kontribusi cukai dalam penerimaan perpajakan mencapai 10,65 persen atau Rp 246,08 triliun. Angka ini tergolong cukup besar dan sulit digantikan oleh sumber lain, seperti denda dan pungutan dari program pengampunan pajak yang hanya menyumbang Rp 130 triliun pada 2016. 

Menurut Fajry, ketika penerimaan dari cukai melemah, pemerintah harus memikirkan pendapatan dari pajak yang bisa menggantikannya demi menutup defisit anggaran. “Inilah mengapa fungsi penerimaan dari cukai menjadi penting,” ucapnya. Di negara tetangga seperti Thailand dan Kamboja, Fajry melanjutkan, kebijakan cukai juga digunakan untuk menggenjot rasio perpajakan. 

Sejauh ini kontribusi penerimaan cukai dalam penerimaan perpajakan ataupun terhadap produk domestik bruto Indonesia masih relatif rendah jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Fajry mengatakan penyebabnya adalah masih sedikitnya obyek cukai di Tanah Air. Padahal pengenaan cukai sebenarnya tak selalu harus didasari adanya eksternalitas negatif. Pasal 2 ayat 1 huruf d Undang-Undang Cukai memuat klausul bahwa pembebanan pungutan dapat dilakukan demi keadilan dan keseimbangan.

Dalam penentuan barang kena cukai baru, selain membandingkan dengan negara lain, menurut Fajry, pemerintah harus jeli melihat masalah yang dihadapi masyarakat. Pemerintah dapat mengusulkan obyek cukai baru jika melihat ada situasi yang mengharuskan intervensi pemerintah.

Sebagai contoh, Fajry menjelaskan, dalam soal masyarakat yang kesulitan membeli rumah karena harganya mahal, pemerintah dapat mengintervensi dengan mengusulkan pengenaan cukai pada pembelian rumah atau apartemen kedua. Artinya, cukai akan berfungsi mengurangi konsentrasi kepemilikan rumah.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Ilona Esterina Piri dan Adil Al Hasan berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Jalan Berliku Memungut Cukai Baru"

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus