Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Maju-Mundur Menerapkan Cukai Minuman Berpemanis dan Makanan Olahan

Pemerintah kembali memunculkan rencana pemungutan cukai MBDK dan pangan lain. Ada rencana penerapan label warna pengganti cukai.

11 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang aturan teknis UU Kesehatan membuka peluang pungutan cukai.

  • Pemerintah maju-mundur dalam menetapkan pungutan cukai MBDK dan cukai plastik.

  • Ada rencana penerapan label pada makanan sebagai indikator kandungan gula, garam, dan lemak.

SEPEKAN setelah Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Kesehatan terbit pada 26 Juli 2024, sejumlah perusahaan yang tergabung dalam Asosiasi Industri Minuman Ringan atau Asrim merapatkan barisan. Mereka membahas ketentuan baru PP Kesehatan, yang salah satu isinya membatasi kadar gula, garam, dan lemak dalam makanan dan minuman itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Regulasi baru yang bisa berujung pada pungutan cukai itu pun masuk daftar persoalan yang dihadapi pelaku industri. “Ada enam atau tujuh masalah industri saat ini,” kata Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo kepada Tempo, Selasa, 6 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asrim akan membawa hasil pembahasan itu ke forum yang lebih besar, seperti pertemuan Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia, Asosiasi Pengusaha Indonesia, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia. Namun belum sempat pertemuan itu terlaksana, sebuah undangan datang dari Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Merrijantij Punguan Pintaria. Pemerintah mengumpulkan sejumlah asosiasi pengusaha minuman, makanan, dan tembakau pada Jumat, 9 Agustus 2024, untuk membahas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024. 

Regulasi baru itu menjadi isu penting bagi pengusaha. Sebenarnya PP Nomor 28 Tahun 2024 terbit sebagai aturan teknis Undang-Undang Kesehatan. Tapi dua dari 1.172 pasal yang tercantum menyinggung industri makanan dan minuman. Pasal 194 ayat 1, misalnya, menyatakan, dalam rangka pengendalian konsumsi gula, garam, dan lemak atau GGL, pemerintah pusat menentukan batas maksimal kandungannya dalam pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji.

Gerai minuman kopi cepat saji di kawasan Pasar Santa, Jakarta, 8 Agustus 2024. Tempo/Tony Hartawan

Klausul lain adalah pasal 195 yang menyatakan setiap orang yang memproduksi, mengimpor, dan/atau mengedarkan pangan olahan, termasuk pangan olahan siap saji, wajib memenuhi ketentuan batas maksimum kandungan GGL serta mencantumkan label gizi pada kemasan atau media informasi. 

Aturan ini terbit di tengah upaya pemerintah memerangi penyakit yang dipicu konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih seperti obesitas, diabetes, hipertensi, dan masalah jantung. Data Global Burden of Disease 2019 and Injuries Collaborators 2020 menyebut penyakit tidak menular sebagai penyebab utama atau sekitar 80 persen kasus kematian di Indonesia. Dalam tiga dekade terakhir, terjadi pergeseran penyebab utama kematian di Indonesia, dari semula penyakit infeksi ke penyakit tidak menular. 

Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan mencatat beberapa penyakit katastrofik yang memakan biaya klaim sangat besar dalam program Jaminan Kesehatan Nasional. Kelompok penyakit ini menyedot dana Rp 24,06 triliun dengan 23,27 juta kasus sepanjang 2022. Klaim terbesar berasal dari penyakit jantung yang menguras kas BPJS Kesehatan Rp 12,14 triliun pada 2022. 

Laporan Survei Kesehatan Indonesia 2023 menunjukkan mayoritas atau sekitar 47,5 persen penduduk Indonesia berusia tiga tahun ke atas mengkonsumsi minuman manis atau berkadar gula tinggi lebih dari sekali sehari. Selain itu, 43,3 persen masyarakat menyeruput minuman manis 1-6 kali per pekan. Hanya 9,2 persen penduduk yang mengkonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali sebulan. Survei ini melibatkan 829.573 responden di semua provinsi. Adapun angka konsumsi makanan manis oleh 56,2 persen responden mencapai 1-6 kali sepekan. Hal yang sama didapati pada kebiasaan menyantap makanan asin dan makanan berlemak. 

Melihat data tersebut, pemerintah berupaya mengendalikan konsumsi gula, garam, dan lemak. Badan Perencanaan Pembangunan Nasional telah menetapkan kebijakan pembatasan konsumsi GGL dalam Rencana Aksi Nasional Pangan dan Gizi 2021-2024. Salah satu rencana kebijakan pemerintah adalah membatasi konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan melalui instrumen cukai. 

Karena itu, PP Nomor 28 Tahun 2024 yang sejatinya mengatur sektor kesehatan menyinggung pula soal cukai. Pasal 194 ayat 4 peraturan itu menyatakan, selain menetapkan batas maksimum kandungan GGL, pemerintah pusat dapat mengenakan cukai terhadap pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan Kementerian Kesehatan tidak mengatur cukai. Tapi PP Nomor 28 Tahun 2024 dapat menjadi dasar hukum bagi penerapan instrumen fiskal tersebut. “Aturan teknis selanjutnya menjadi kewenangan kementerian urusan fiskal,” ujarnya pada Rabu, 7 Agustus 2024.

•••

RENCANA pemungutan cukai minuman berpemanis dalam kemasan atau MBDK bukan baru kali ini mengemuka. Pada 2012, pemerintah mengincar produk minuman berkarbonasi sebagai target barang kena cukai dengan alasan yang berkaitan dengan kesehatan. Tapi ketika itu pelaku industri menyanggah dengan argumen angka konsumen produk ini relatif kecil.

Berdasarkan data Asosiasi Industri Minuman Ringan, pangsa pasar produk minuman siap saji nonalkohol terbesar atau sekitar 70 persen adalah air mineral atau air minum dalam kemasan. Setelah itu, produk teh, jus, dan minuman berkarbonasi. “Minuman berkarbonasi hanya 3 persen dari total volume dalam setahun,” tutur Ketua Umum Asrim Triyono Prijosoesilo. Walhasil, rencana penerapan cukai itu batal.

Produk minuman manis kemasan dipajang pada rak swalayan di Jakarta, Januari 2024. Tempo/Tony Hartawan

Tiga tahun kemudian, muncul rencana pemungutan cukai dari plastik kemasan minuman, yaitu botol polyethylene terephthalate (PET). Industri kembali menengkari dengan menunjukkan data bahwa di tempat pembuangan akhir sampah volume botol plastik PET tak sampai 1 persen. Yang terbanyak adalah kantong plastik, kantong kresek, serta plastik kemasan saset. Pelaku industri juga berdalih banyak pabrik yang menggelar aksi pengumpulan sampah botol plastik dan memakai bahan plastik daur ulang. Rencana itu pun suak.

Sampai akhirnya muncul ide memungut cukai dari MBDK pada 2016. Pembahasan terus berlanjut hingga pemerintah memasukkannya ke Undang-Undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2022. Berdasarkan lampiran Peraturan Presiden Nomor 104 Tahun 2021 tentang Rincian APBN 2022, pemerintah menetapkan pendapatan cukai produk plastik Rp 1,9 triliun dan pendapatan cukai MBDK Rp 1,5 triliun. Tapi rencana ini tak terwujud dengan alasan pandemi Covid-19 memukul perekonomian. 

Tahun berikutnya, pemerintah kembali menuangkan rencana penerapan cukai itu dalam Peraturan Presiden Nomor 130 Tahun 2022 tentang Rincian APBN 2023. Dalam peraturan itu, pemerintah membidik pendapatan cukai produk plastik Rp 980 miliar dan pendapatan cukai MBDK Rp 3,08 triliun. Namun Presiden Joko Widodo membatalkannya melalui Peraturan Presiden Nomor 75 Tahun 2023. Dalam Lampiran I Rincian Penerimaan Perpajakan 2023, pendapatan dari cukai produk plastik dan MBDK tertulis Rp 0 alias nihil.

Pada November 2023, Direktur Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Askolani menyatakan cukai MBDK baru akan diterapkan pada 2024. Menurut dia, pemerintah mempertimbangkan kondisi ekonomi global dan domestik yang sedang dalam tahap pemulihan. Pemerintah juga tengah mematangkan regulasinya. “Implementasinya akan disiapkan dalam bentuk PP,” ucapnya ketika itu.

Dalam rincian APBN 2024, rencana pemungutan cukai itu kembali muncul. Berdasarkan Lampiran I Peraturan Presiden Nomor 76 Tahun 2023, pemerintah menetapkan target penerimaan cukai produk plastik Rp 1,849 triliun dan pendapatan cukai MBDK Rp 4,389 triliun. Namun hingga kini belum ada aturan turunan atas rencana penerapan cukai tersebut. 

Seorang pejabat yang mengetahui hal ini mengatakan Kementerian Keuangan belum mengajukan permohonan izin prakarsa ke Kementerian Sekretariat Negara untuk menyusun draf peraturan pemerintah yang akan menjadi acuan penerbitan peraturan Menteri Keuangan. Ketika ditanyai soal ini, Sekretaris Kementerian Sekretariat Negara Setya Utama tak merespons. Demikian pula Deputi Bidang Perundang-undangan dan Administrasi Hukum Lydia Silvanna Djaman.

Produk minuman manis berkarbornasi kemasan di sebuah swalayan di Jakarta, Januari 2024. Tempo/Tony Hartawan

Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan Nirwala Dwi Heryanto mengatakan pungutan cukai tidak bisa diterapkan begitu saja. Kementerian Keuangan tidak hanya memperhitungkan penerimaan, tapi juga mempertimbangkan aspek kesehatan, keberlangsungan industri, ketenagakerjaan, pendapatan negara, dan potensi produk ilegal. 

Menurut Nirwala, pemerintah pun mempunyai instrumen nonfiskal untuk mengendalikan konsumsi minuman dan makanan mengandung GGL berlebih. Instrumen nonfiskal dapat berupa edukasi atau kampanye kepada pelajar ataupun masyarakat umum tentang bahaya mengkonsumsi produk dengan kandungan pemanis tinggi. “Kedua instrumen itu harus berjalan bersamaan,” katanya.

•••

BAGI pelaku industri, penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 terasa mendadak. Ketua Umum Asosiasi Industri Minuman Ringan Triyono Prijosoesilo mengatakan anggota asosiasinya baru mengetahui peraturan yang akan membatasi konsumsi gula, garam, dan lemak tersebut pada awal tahun ini. Asrim pun menyusun materi kajian sebagai masukan bagi pemerintah, yang disampaikan pada Mei 2024. Pelaku industri, dia mengungkapkan, menyampaikan aspirasi melalui Kementerian Perindustrian. Tapi tak satu pun masukan mereka terakomodasi. “Nihil,” tutur Triyono, yang juga mengatakan Asrim tak pernah diajak berdiskusi.

Kementerian Perindustrian menilai penerapan cukai pada produk minuman berpemanis dalam kemasan akan berdampak buruk terhadap industri kecil-menengah karena bisa menaikkan harga produk serta mengurangi pendapatan pedagang kecil. “Kami menganalisis, kebijakan itu cukup berdampak pada industri,” ucap Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi IX Dewan Perwakilan Rakyat yang antara lain membidangi industri, awal Juli 2024.

Di sisi lain, juru bicara Kementerian Kesehatan Mohammad Syahril mengatakan telah melibatkan berbagai pemangku kepentingan dalam pembahasan Rancangan PP Nomor 28 Tahun 2024 sejak tahun lalu. Salah satunya dalam pertemuan yang digelar secara daring dan luring pada Rabu, 20 September 2023, di kawasan Mega Kuningan, Jakarta. Dalam persamuhan itu, Kementerian Kesehatan mengundang Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia dan beberapa lembaga lain, seperti Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). 

Dalam surat undangannya, Kementerian Kesehatan mengatakan pertemuan ini bertujuan memberi masukan terhadap rancangan peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 mengenai penanggulangan penyakit tidak menular, kesehatan penglihatan dan pendengaran, serta pengamanan zat adiktif berupa produk tembakau dan rokok elektronik. 

Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi membenarkan adanya undangan membahas draf PP Nomor 28 Tahun 2024 tahun lalu. Menurut dia, pembahasan makin intensif pada Maret-April 2024. Tulus pun mendesak pemerintah segera menerapkan cukai MBDK yang telah lama dibahas. “Pada 2022, Direktur Jenderal Bea dan Cukai berjanji menerapkannya pada 2024,” ujarnya.

Di luar pembahasan cukai, ada rencana lain yang mengemuka. Berdasarkan informasi yang diperoleh Tempo, ada kemungkinan pemerintah menggunakan instrumen nonfiskal dengan memberi warna label pada kemasan. Langkah ini meniru regulasi di Singapura dan banyak negara maju lain tentang nutrigrade, yakni penerapan label warna hijau gelap untuk pangan olahan dengan tingkat kandungan gula, garam, dan lemak terendah diikuti label hijau muda, kuning, dan merah buat produk dengan kadar GGL lebih tinggi. 

Konsep label dalam kemasan pangan ini diyakini memudahkan konsumen menemukan produk yang aman, terutama mereka yang mempunyai risiko diabetes, hipertensi, dan penyakit lain. Apabila pembatasan konsumsi GGL dengan cara ini berjalan mulus, kebijakan cukai tak diperlukan lagi. 

Sejauh ini, kalangan industri belum mengetahui kejelasan kebijakan warna label pada kemasan. Dalam pertemuan pada Jumat, 9 Agustus 2024, Asrim bersama beberapa asosiasi industri sektor makanan dan minuman masih berupaya menitipkan aspirasi. Kementerian Perindustrian pun berjanji membuat rekomendasi menanggapi terbitnya PP Nomor 28 Tahun 2024. “Rekomendasi ke tingkat kementerian koordinator atau mungkin kepada presiden,” kata Triyono.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Pada edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Bimbang Cukai Berganti Label"

Retno Sulistyowati

Retno Sulistyowati

Alumnus Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Brawijaya, Malang, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo pada 2001 dengan meliput topik ekonomi, khususnya energi. Menjuarai pelbagai lomba penulisan artikel. Liputannya yang berdampak pada perubahan skema impor daging adalah investigasi "daging berjanggut" di Kementerian Pertanian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus