Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Produsen rokok bersiasat ketika tarif cukai naik.
Kenaikan cukai memicu peredaran rokok murah.
Rokok murah membuat gelisah pemerhati sektor kesehatan.
ADA fenomena migrasi kelas konsumen ketika tarif cukai rokok terus naik. Sementara tujuh tahun lalu konsumen lebih banyak mengisap rokok merek ternama yang masuk kelas cukai golongan I, kini mereka beralih ke rokok golongan II dan III buatan pabrik berskala lebih rendah dan dengan tarif cukai lebih murah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ihwal migrasi konsumen ini mengemuka antara lain dalam paparan publik PT HM Sampoerna Tbk pada akhir Juli 2024. Saat itu Presiden Direktur HM Sampoerna Ivan Cahyadi mengatakan pada 2017 pangsa pasar industri rokok golongan I atau pabrik dengan skala produksi 3 miliar batang setahun masih 82 persen. Pada semester I 2024, pangsa pasarnya anjlok menjadi 56 persen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebaliknya, angka konsumen rokok pabrik golongan II dan III yang skala produksinya di bawah 3 miliar batang per tahun melejit dari 18 persen menjadi 44 persen pada rentang waktu yang sama. Ivan menyebut fenomena ini sebagai downtrading. “Downtrading ini sesuatu yang perlu kita amati dengan cermat,” katanya.
Migrasi konsumen itu tak lepas dari melebarnya jarak pungutan cukai golongan I dengan golongan di bawahnya. Pada 2017, perbedaan tarif cukai rokok golongan I dengan golongan di bawahnya dalam segmen sigaret kretek mesin Rp 195 per batang. Pada 2024, selisihnya mencapai Rp 485 per batang.
Pabrik rokok murah pun makin menjamur, mengisi pasar kelas bawah yang ditinggalkan produsen lama karena harganya terpaksa naik terkerek pungutan cukai. “Ketika daya beli tertekan, konsumen akan melakukan downtrade, mencari alternatif rokok yang lebih murah seperti sigaret kretek tangan atau produk rokok produsen kecil,” tutur Direktur dan Sekretaris Perusahaan Gudang Garam, Heru Budiman, dalam paparan publik pada November tahun lalu. “(Sebab,) makin besar produsen rokok, makin besar cukai yang dibebankan.”
Proses produksi rokok jenis sigaret kretek tangan di Kudus, Jawa Tengah, 17 Juli 2024. Antara/Yusuf Nugroho
Di tingkat retail, saat ini makin banyak rokok seharga belasan ribu rupiah per bungkus yang dibuat oleh produsen baru. Selain itu, ada produsen rokok ternama yang masuk golongan I tapi merilis varian produk baru dengan ukuran batang lebih pendek dan volume per bungkus yang tak sebanyak biasanya. Ada pula produsen rokok putih global yang merilis varian sigaret putih tangan, juga dengan harga belasan ribu rupiah per bungkus.
Menjamurnya pabrik rokok baru terekam dalam data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan. Pada awal 2022, jumlah usaha produk tembakau kena cukai mencapai 1.214 unit. Pada Juni 2024, jumlah pabrik rokok bertambah menjadi 1.723 unit. “Ada penambahan 509 pabrik,” ucap Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Nirwala Dwi Heryanto pada Senin, 5 Agustus 2024.
Data yang dirilis HM Sampoerna dalam paparan publik juga menunjukkan tingkat pertumbuhan jumlah produsen paling tinggi ada pada segmen golongan I ke bawah, yaitu 5 persen pada kuartal I 2024 dibanding pada kuartal I 2023. Sedangkan tingkat pertumbuhan peredaran rokok murah paling tinggi di Jakarta dan sekitarnya, Sumatera Selatan, dan Indonesia bagian timur, masing-masing 7 persen pada semester pertama tahun ini.
Adapun data Gudang Garam mengungkap pergeseran selera konsumen akibat kenaikan cukai. Dalam laporan keuangan Gudang Garam 2023 disebutkan tingkat penjualan rokok jenis sigaret kretek mesin merek Gudang Garam anjlok 28,3 persen, sementara angka penjualan sigaret kretek tangan hanya turun 2,1 persen. Hal ini menunjukkan kecenderungan konsumen memilih rokok yang lebih murah.
Sebagai perbandingan, cukai sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin berkisar Rp 746-1.336 per batang. Sedangkan cukai sigaret kretek tangan Rp 122-483 per batang. Tarif ini membuat harga jual sigaret kretek tangan bisa di bawah Rp 20 ribu per bungkus, jauh lebih murah dibanding rokok sigaret kretek mesin dan sigaret putih mesin yang harganya di atas Rp 20 ribu. Ini pula yang memicu pergeseran kelas konsumsi serta produksi rokok.
•••
PEMERINTAH sebetulnya sudah sadar akan perubahan pola konsumsi rokok ketika menaikkan tarif cukai hasil tembakau 10 persen. Dalam konferensi pers realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2023 pada 2 Januari 2024, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kenaikan cukai menyebabkan penurunan angka produksi rokok. “Terutama golongan I, yang turunnya mencapai 14 persen,” katanya. Di sisi lain, Sri menambahkan, tingkat produksi rokok golongan II dan III naik masing-masing 11,6 persen dan 28,2 persen.
Sedangkan hasil riset pasar AC Nielsen menunjukkan pergeseran selera konsumen sebagai fenomena industri rokok. Tingkat penjualan rokok pada 2023 turun 9 persen dibanding pada 2022. Penurunan terbesar terlihat di segmen sigaret kretek mesin sebesar 14,4 persen. Sebaliknya, angka penjualan sigaret kretek tangan yang memiliki kandungan tar lebih tinggi tumbuh 8,6 persen. Karena itu, produsen besar bersiasat dengan meluncurkan varian baru di kelas sigaret kretek tangan dan sigaret putih tangan yang harganya lebih murah. Sebab, pabrik golongan I pun masih bisa menjual dua varian ini dengan harga eceran terendah hingga Rp 1.250 per batang.
Sebetulnya ada celah mengakali lapis tarif cukai bagi pabrik besar dengan mendirikan pabrik baru yang seolah-olah bukan afiliasinya. Namun sejak 2013 Kementerian Keuangan membaca peluang ini sehingga menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan tentang Penetapan Golongan dan Tarif Cukai Hasil Tembakau terhadap Pengusaha Pabrik Hasil Tembakau yang Memiliki Hubungan Keterkaitan. Keterkaitan itu dihitung berdasarkan kepemilikan saham, manajemen, juga rantai pasok tembakau iris. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Nirwala Dwi Heryanto mengklaim belum ada temuan pabrik besar melanggar aturan ini.
Di luar pelaku industri rokok, fenomena ini meresahkan penyedia jasa dan pemerhati kesehatan. Sebab, kenaikan tarif cukai belum mampu menurunkan prevalensi perokok secara signifikan. Bahkan kenaikan tarif cukai malah membuat peredaran rokok murah, yang kandungan tar dan nikotinnya lebih tinggi, semakin deras.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2023, persentase merokok penduduk berusia 15 tahun ke atas mencapai 28,62 persen. Angka perokok terbesar berada di kelompok umur 35-39 tahun sebesar 35,21 persen, sementara prevalensi kelompok remaja (15-19 tahun) mencapai 9,62 persen. Adapun Survei Kesehatan Indonesia 2023 yang digelar Kementerian Kesehatan menemukan jumlah perokok aktif mencapai 70 juta orang. Sebanyak 7,4 persen di antaranya berusia 10-18 tahun.
Ihwal maraknya fenomena downtrading yang mengerek naik angka peredaran rokok, juru bicara Kementerian Kesehatan, Mohammad Syahril, mengatakan pada Jumat, 9 Agustus 2024, “Kalau ada yang beralih ke rokok murah, harus dikejar. Ini malah lebih berbahaya.”
Project Lead for Tobacco Control di Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives, Beladenta Amalia, mengatakan lembaganya sudah bolak-balik mengusulkan Kementerian Keuangan menyederhanakan golongan pungutan cukai. Saat ini tarif cukai dikelompokkan dalam delapan golongan. Setiap golongan memiliki lapis. Perbedaan tarif ini membuat rokok murah merajalela. “Ini yang membuat kenaikan tarif cukai tidak efektif menekan konsumsi rokok,” tutur Bela pada Jumat, 9 Agustus 2024.
Idealnya, Bela menjelaskan, tarif cukai diterapkan dalam dua lapis saja, yaitu untuk rokok kretek mesin dan rokok kretek tangan. Menurut dia, pelaku industri rokok juga mendorong penyederhanaan tarif cukai karena banyak yang rugi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Resah Tersebab Rokok Murah"