WIRASWASTA Indonesia sering kali tidak siap mengelola kredit investasi. Menurut cerita Kuntoadji, Direktur Utama Bank Pembangunan Indonesia (Bapindo). banyak calon wiraswasta yang datang ke lembaga keuangan itu lemah dalam manajemen: kelihatan tidak menguasai mekanisme persaingan di pasar dan perkembangan teknologi. Mereka, katanya, belum cukup melakukan penelitian mengenai, "siapa pembeli dan apa keinginan calon pembelinya." Pada umumnya memang banyak usaha swasta berskala menengah dan kecil, terutama penanam modal baru, dihinggapi penyakit di bidang manajemen. Mahalnya manajer profesional menyebabkan pengusaha kecil cenderung lebih suka mengelola perusahaannya dengan cara sederhana. Tapi, di kalangan pengusaha keturunan Cina dan pribumi yang mengembangkan usahanya dari awal sebagai perusahaan keluarga persoalannya lain. Para pengusaha jenis ini, biasanya, enggan membagi wewenang pada para manajer terdidik, untuk menghindari "keterbukaan". Fakta seperti itu juga disebut Kuntoadji sebagai salah satu kelemahan. Banyak di antara mereka, katanya, lebih suka menggunakan tenaga dari lingkungan keluarga sendiri daripada, misalnya, menyewa manajer profesional. Lain anggapan Adil Nurimba, Presiden Direktur Gesuri Lloyd, misalnya, yang tidak merasa perlu memasukkan manajer profesional dari luar. Alasannya semata-mata pertimbangan psikologis. Masuknya manajer profesional, katanya, kebanyakan akibatnya hanya akan mengguncangkan para pegawai seniornya. Bukan tak mungkin pula, masuknya seorang manajer profesional bakal menyebabkan keluarnya lima tenaga berpengalaman Gesuri. Karena alasan itulah, maka Adil lebih suka mempromosikan pegawainya yang loyal untuk menduduki pelbagai jabatan penting. "Itu, kepala cabang Gesuri di Tanjungpriok, sudah bekerja pada saya selama tiga puluh tahun lebih," katanya. Faktor loyalitas terhadap perusahaan memang ditekankan sekali oleh pengusaha semacam Adil Nurimba. Gaya manajemen seperti ini biasanya menjadi ciri utama banyak perusahaan Jepang. Di situ para manajer didorong untuk mengembangkan sikap loyal dan punya ikatan kuat (shaen) pada perusahaan. Karena itu, tak mengherankan bila mereka, seperti juga Adil, lebih menghargai senioritas (senpai) daripada tingkat pendidikan para manajer. Jusuf Kalla, Direktur Utama NV Hadji Kalla, Ujungpandang, juga lebih menyukai cara Adil Nurimba. Dia tidak suka membajak atau menyewa manajer terdidik dari luar. "Pertama, karena mahal. Dan kedua, diragukan loyalitasnya," katanya. Benarkah mahal? Anggapan itu tampaknya benar. Terbatasnya suplai manajer terdidik memang menyebabkan harga transfer "barang langka" itu kian membubung. Beberapa perusahaan terkemuka bahkan berani "membeli" manajer keuangan melalui jasa para pencari tenaga eksekutif (headhunters) antara Rp 2 juta dan Rp 3 juta. Sudah jadi rahasia kalangan pengusaha di Jakarta ini, Citibank, yang dianggap paling baik menyelenggarakan pendidikan sendiri (in house), merupakan sumber utama bagi kebutuhan calon manajer keuangan. Bahkan, menurut pengalaman Astra International Inc., IBM juga merupakan pensuplai utama manajer terbaik. "Kalau ambil tenaga eks IBM, kansnya 90% bakal jadi," ujar T.P. Rachmat Wakil Presiden Astra, beberapa waktu laiu. Mencari manajer di bidang perkapalan juga sulit dilakukan. Setidaknya L. Sapta Adji, Wakil Presiden PT Bahana Utama Line, cukup merasakan ketika akan mengisi beberapa lowongan jabatan di perusahaan pelayarannya. Karena itu, dia cukup senang menerima sejumlah tenaga manajer terdidik dari perusahaan pelayaran lain yang menyeberangkan ke Bahana. Karena keterbatsan pengetahuan manajer di sini, Gudang Garam, misalnya, merasa perlu menyewa tenaga dari Inggris dan Jerman Barat, untuk menangani lima unit mesin pemroses rokok yang dibelinya US$ 17,5 juta. Kata Suyoso Notokusumo, direktur pabrik rokok itu, kehadiran mereka ini, tanpa menyebutkan jumlahnya, diperlukan dalam rangka alih teknologi. "Alih teknologi di Gudang Garam bukan dengan hanya mengajarkan teori, tapi harus praktek bersama mereka dari lima sampai sepuluh tahun," ujarnya. Berapa kebutuhan manajer terdidik di bidang industri rokok tidak jelas angkanya begitu pula untuk sektor lain. Tapi, menuru Derkiraan Lembaga Pendidikan dan PembDinaan Manajemen (LPPM), Jakarta, setiap tahun pelbagai perusahaan di Indonesia. membutuhkan Darin tidak 62.000 manajer baru untuk segala lapisan - termasuk tingkat penyelia. Suatu riset yang diselenggarakan LPPM, 1981, menunjukkan bahwa kebutuhan manajer sebuah perusahaan akan meningkat dua kali lipat dalam tempo lima tahun rrendatang. LPPM sendiri sesungguhnya juga berusaha mensuplai kebutuhan tenaga manajer itu melalui pendidikan Wijawiyata Manajemen. Tapi, karena keterharasan nenaiar. setiap angkatan yang pesertanya diharuskan memiliki ijazah sarjana lengkap dan lulus tes tidak terlalu banyak jumlahnya. Kesimpulannya, sekalipun sekolah bisnis di luar negeri - seperti Harvard, Wharton, dan Asian Institute Management - juga berperanan dalam mensuplai manajer, kebutuhan manajer terdidik masih belum juga terpenuhi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini