SEBUAH percakapan kecil terdengar dari sekelompok pengusaha. Mereka mempersoalkan penunjukan Pusat Pengendalian Besi Baja (PT Krakatau Steel) dan Giwang Selogam sebagai importir untuk produk baja lembaran tipis hasil penggilingan dingin. Seseorang berkata, penunjukan yang dilakukan Departemen Perdagangan awal bulan ini akan menyebabkan biaya produksi seng naik 10%-20%. Industri seng memang hampir 100% menggunakan baja lembaran tipis sebagai bahan baku utama. Selama ini, mereka bisa mengimpor bahan baku itu dengan harga dumping terutama dari Jepang dan Korea Selatan. Tetapi pada hari-hari mendatang, prosedur seperti itu tak bisa dilakukan lagi. Impor tampaknya akan semakin dibatasi, untuk menghemat pemakaian devisa, sekaligus melindungi industri dalan negeri - sekalipun industri hilir dan juga konsumen harus membayar cukup mahal. Sejak pagi-pagi pemerintah tampaknya merasa perlu melindungi industri penghasil baja lembaran tipis hasil penggilingan dingin di Cilegon. Padahal pabrik patungan swasta dan pemerintah itu baru akan berproduksi tiga tahun lagi. Proteksi memang patut diberikan untuk industri hulu itu mengingat investasinya cukup mahal: menelan dana US$ 800 juta lebih. Percakapan kecil peserta diskusi di meja makan Restoran Ramayana, Hotel Indonesia, itu memang berakhir dengan tidak menghasilkan rekomendasi. Pemberian "hak-hak istimewa" semacam itu dikhawatirkan kalangan pengusaha hanya akan mendorong munculnya usaha monopoli. Tapi bukan soal itu saja yang dikhawatirkan. Usaha swasta, yang bergerak di bidang industri telekomunikasi, belakangan merasa disaingi secara tidak sehat sesudah BUMN dan lembaga penelitian ikut pula terjun di situ. Bidang pembuatan stasiun bumi kecil (SBK), misalnya, semula hanya dimasuki PT Elnusa, anak perusahaan Pertamina. Tapi pada 1975, PT Radio Frequency Communication (RFC), Lembaga Elektronika Nasional (LEN) LIPI dan PT Inti BUMN milik Departemen Pariwisata, Pos, dan Telekomunikasi - ikut terjun pula. Entah kenapa, tender kemudian jarang jatuh ke tangan Elnusa. Manajemen perusahaan ini jelas masygul menghadapi kenyataan itu, apalagi untuk menyongsong bisnis SBK itu, Elnusa sudah mengirimkan 40 insinyurnya ke AS khusus memperdalam bidang komunikasi satelit. BUMN ini akhirnya mundur dari usaha bisnis SBK. Dan 40 insinyur itu, "akhirnya menjadi assets nasional yang terbuang," ujar Tiur Simandjuntak, Direktur Riset dan Pengembangan Elnusa, sendu. Belakangan, Inti sudah pula membuat radio dengan frekuensi tinggi - selain menghasilkan produk utama telepon dan sqitcking board. Tapi tanpa diduga, diversifikasi produk BUMN ini mendesak kue RFC yang mempunyai bisnis utama membuat radio dengan frekuensi tinggi. Perkembangan terakhir itu tentu merisaukan usaha swasta ini. Karena itu, dalam usaha meningkatkan daya saingnya, RFC berusaha memprioritaskan program riset dan pengembangan produknya. Dalam soal ini, "kaml harus selangkah di depan LEN dan Inti. Kalau tidak, wah bisa mati," ujar Bambang Lukito, Direktur Produksi RFC. Pengusaha swasta ini sesungguhnya tidak perlu cemas jika pemerintah sudah mempunyai arah untuk mengembangkan industri telekomunikasi. Tiadanya beleid yang jelas menyebabkan sebuah lembaga penelitian semacam LEN di bawah LIPI ikut-ikutan terjun memasuki bisnis ini. Sekalipun skala ekonomi dan pengaruhnya kurang menekan, soal keagenan karcis kereta api juga bisa dikemukakan sebagai salah satu contoh monopoli. Pemberian hak tunggal menjual karcis kereta pada PT Carnation di Jakarta dan Pusaka Nusantara di Bandung dianggap pula merupakan kebijaksanaan tldak sehat. Dari bisnisnya ini Pusaka diperbolehkan mengutip uang provisi Rp 15 untuk menjual setiap lembar karcis Parahyangan. Tapi prakteknya, perusahaan ini masih pula mengenakan biaya administrasi Rp 200. "Kalau kami hanya tergantung provisi dari penjualan 60 karcis Parahyangan, cuma dapat Rp 900 saja sehari," kata Djoedi, kepala pengurus Pusaka. Dalam skala lebih besar, praktek pemberian monopoli itu secara terang-terangan diberikan pula pada PT Pantja Niaga, yang diberi wewenang sebagai importir tunggal . . . pacul. Kebijaksanaan ini terpaksa diambil dengan alasan untuk melindungi industri dalam negeri dan menghemat devisa. Dan itu sudah berhasil. Sesudah hak itu diberikan, Pantja Niaga ternyata tidak mau mengimpor pacul. "Jadi, bukan pemerintah melarang impor pacul," kata Menteri Muda Urusan Peningkatan Penggunaan Barang Produksi Dalam Negeri Ginandjar Kartasasmita.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini