MODAL punya, tapi urusan macet juga. Begitu keluh Bayu Santosa, Presiden Direktur PT Ben Santosa, Surabaya, yang cukup kenyang dipingpong kian kemari mengurus izin pendirian galangan kapal di Jawa limur. "Sudah setahun hilir mudik, permohonan izin saya tidak juga keluar," katanya. Padahal, jika lancar perizinannya dia merencanakan menanamkan modal Rp 6 milyar. Menteri Negara PAN Dr. Saleh Afiff, yang mendengar pengaduan itu dalam forum diskusi pekan lalu, meminta Santosa memberikan semua berkas permohonannya. Sebagai pejabat pemerintah, yang bertanggung jawab melakukan penyederhaan perizinan, Menteri PAN mafhum bahwa selama ini banyak pengusaha baru bisa memperoleh suatu izin sesudah melewati prosedur panjang dan berbelit-belit. Pendeknya, kelak "sistem perizinan tidak boleh sama sekali sampai berakibat menghambat perkembangan dunia swasta," janjinya. Ben Santosa mulai mengurus izin, pada Maret 1983, melalui Badan Pengusahaan Pelabuhan (BPP) Tanjung Perak, Surabaya. Dari sini urusan dilanjutkan ke Syahbandar. Kemudian naik ke tingkat Direktorat Jasa Maritim. Merasa bahwa usahanya akan gagal, dia lalu mencoba berhubungan dengan BKPM. Permohonannya masuk Juni 1983, sebulan kemudian sudah keluar Surat Persetujuan Sementara (SPS). Celakanya, dia diharuskan membuka fasilitas galangan untuk kapal dengan bobot mati minimal 5.000 ton. Padahal, "di Jawa Timur, kapal swasta terbesar 'kan cuma berbobot 2.500 ton," katanya mengeluh kepada Bambang Harymurti dari TEMPO. Musa, Direktur Utama PT Daya Manunggal Tekstil, juga punya cerita menarik. Seorang pengusaha tekstil, yang mengurus izin pendirian gudang, harus mengisi bermacam-macam formulir yang berisi banyak pertanyaan tak perlu: mulai dari jenis barang yang disimpan, ukuran gudang, sampai ke soal pemakaian bahan bangunan. Padahal, katanya, yang perlu apakah gudang itu bisa digunakan untuk menyimpan barang supaya awet. Musa juga meminta agar izin usaha permanen diberkan. "Hingga kelak pengusaha tidak sibuk dengan urusan administratif," kata Musa. Tapi pembaruan izin dan banyaknya meja yang harus dilalui, bagi sejumlah birokrat, memang berarti kekuasaan. Dan juga sumber fulus. Menteri Saleh Afiff tidak menutupi kenyataan itu. Menteri bahkan menyebut bahwa para pengusaha sering berulang kali diminta syarat-syarat yang sama untuk setiap jenis perizinan oleh sebuah instansi pemerintah. Soal akta pendirian perusahaan, misalnya, jika sudah dipenuhi "seharusnya instansi itu tidak perlu lagi meminta syarat tadi," katanya. Berabenya, sekalipun semua syarat sudah dipenuhi, tak ada jaminan bahwa izin bakal lancar keluar. M. Jusuf Kalla, Direktur Utama N.V. Hadji Kalla Tradiog Coy., Ujungpandang, misalnya, sampai harus menunggu lima tahun untuk memperoleh izin hak guna usaha (HGU) atas sebidang tanah 40 ha, yang dibelinya dari penduduk di Ujunpandang. Karena dia membutuhkan sertifikat HGU itu - untuk meminta kredit bank - dengan sabar dia menunggu terbitnya izin tadi. "Kalau saja saya bukan investor dari Sulawesi Selatan, tentu sudah angkat kaki," katanya kepada James Lapian dari TEMPO. Kemacetan izin sering dikaitkan dengan alasan sepele: pejabat yang berwenang membubuhkan tanda tangan lagi absen atau ikut penataran. Fritz H. Eman, Ketua Grup Indauda, yang antara lain mengageni mobil Holden, menganggap pemerintah perlu menerapkan pendelegasian wewenang. Sebab, katanya, pengusaha tak pantas harus menunggu lama untuk memperoleh tanda tangan seorang pejabat, yang cuti misalnya. "Kalau sistem perizinan sederhana, orang tentu akan bergairah menanamkan modal," katanya. "Meskipun nanti jumlah meja juga diciutkan dari 15 jadi satu meja, kalau urusannya lama, ya, percuma saja." Di samping harus mengikuti liku-liku untuk memperoleh izin usaha, pengusaha masih pula harus berhadapan dengan ketidakjelasan peraturan. Belum lama ini pabrik rokok Gudang Garam, Kediri, pernah mencoba mengimpor kertas rokok. Pembayar cukai terbesar ini menganggap, cara itu bisa menekan biaya produksi. "Tapi, karena aturan mainnya belum ada, permintaan itu tidak dilayani pemerintah," ujar Suyoso Notokusumo, Direktur Gudang Garam kepada Saiff Bakham dari TEMPO. Akhirnya, pabrik rokok itu tetap harus mengimpor kertas melalui importir yang sudah punya Angka Pengenal Impor (API). Untuk mendorong penanaman modal, kata Mohamad Amid, Presiden Direktur Asia Permai Electronics, pemerintah juga perlu menetapkan suatu kepastian peraturan - apalagi tahun ini pengusaha harus berhadapan pula dengan UU Pajak 1984. "Sering berubahnya peraturan menimbulkan kesan bahwa pemerintah seperti dokter yang memberikan obat secara cocok-cocokan," katanya. Sekretaris Jenderal Kadin, Prof. Sadli, menyatakan pula perlunya pemerintah menciptakan stabilitas kebijaksanaan untuk menentukan arah investasi. "Kepastian memang merupakan lingkungan yang diperlukan untuk mendorong investasi," jawab Ketua Bappenas Prof. Sumarlin akhirnya. Tapi bisakah para menteri yang berniat baik itu "melawan" birokrasi di bawah mereka sendiri?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini