Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Baru Sebatas Impian

11 Agustus 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SALAU terbelit urusan duit, dia tetap mengayunkan kaki dengan pasti menuju sekolahnya di Cikini, Jakarta Pusat. Siswa kelas tiga SMP Negeri 1 ini belum mampu membayar iuran bulanan sebesar Rp 45 ribu, sampai pekan lalu. Tapi Dudi, bukan nama sebenarnya, tidak mau terlalu pusing. Dana orang tuanya memang telah tersedot habis buat biaya adiknya yang tahun ini masuk ke SMP yang sama. Untuk sumbangan awal saja mesti dikeluarkan Rp 400 ribu. "Emak sudah memberi tahu kepala sekolah bahwa bulan ini saya telat membayar iuran," ujar anak penjual pisang goreng di kantin sekolah ini. Kesulitan yang dialami orang tua Dudi bukanlah penggalan cerita sinetron. Sebagian besar orang tua murid sekolah menengah di Jakarta terjerat masalah serupa. Begitu anak kesayangannya masuk ke kelas satu SMP atau SMU, tabungan mereka segera terkuras habis. Maklum, besarnya sumbangan anak baru yang ditetapkan sekolah gila-gilaan. Yang diberlakukan oleh sekolah Dudi tergolong murah. Tidak sedikit SMP negeri di Jakarta yang mematok sumbangan lebih dari Rp 1 juta. Untuk SMU? Jelas lebih besar. SMUN 47 di Kebayoran Lama, Jakarta Selatan, misalnya, menetapkan uang masuk Rp 2,25 juta. Di tengah kondisi itu, wajar bila banyak orang menyambut suka cita kabar dari Senayan. Dua pekan lalu, Amandemen IV UUD 1945 disahkan oleh MPR. Dan ini yang penting bagi mereka. Dalam Pasal 31 ayat 4 ditegaskan: negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnnya 20 persen dari APBN serta dari APBD. Aturan baru itu sebuah lompatan besar karena anggaran pendidikan selama ini cuma sekitar 3 persen dari APBN. Kalangan pendidik pun menyambut baik. "Saya sangat bersyukur karena adanya perubahan kebijakan itu," kata Suyanto, Kepala SMUN 70 Jakarta Selatan. Kecilnya anggaran pendidikan selama ini memang membuat para pemimpin sekolah pontang-panting. Kucuran subsidi dari pemerintah tak mencukupi. Jumlahnya? Menurut Indrajati Sidi, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, besarnya bervariasi untuk tiap sekolah. Subsidi yang diberikan untuk satu SMP adalah Rp 2-7 juta per tahun, dan untuk SMU Rp 10-20 juta tiap tahun. Selain dari pemerintah pusat, sekolah-sekolah juga mendapat dana operasional pendidikan dari pemerintah daerah. Jumlahnya bergantung pada dana alokasi umum yang diperoleh suatu daerah. Pemerintah DKI Jakarta, misalnya, pada 2002 ini menganggarkan Rp 8 miliar untuk 283 SMP. Jika dibagi rata (prateknya tidak) masing-masing mendapat dana sekitar Rp 28 juta per tahun. Duit ini dipakai untuk membayar listrik, telepon, air, dan peralatan mengajar. Hanya, dana sebesar itu amatlah minim. Jika ditotal dana dari pemerintah pusat dan daerah cuma sekitar Rp 30-40 juta. Ini hanya menutup sekitar 10 persen anggaran sebuah sekolah. Soalnya, anggaran SMP di Jakarta umumnya mencapai ratusan juta per tahun. Anggaran SMU tentu lebih besar. Sebagai contoh SMUN 47 Jakarta, tahun ini anggarannya mencapai Rp 3,2 miliar. Itu sebabnya para pemimpin sekolah menempuh jalan pintas. Untuk menutup anggaran, mereka mematok sumbangan penyelenggaran pendidikan (SPP) dan sumbangan anak baru sebesar-besarnya. Akibatnya, para orang tua murid tercekik. Dengan adanya amandemen UUD 1945, semestinya penderitaan orang tua segera berakhir. Biaya pendidikan bisa lebih murah. Kebijakan baru itu bakal mendongkrak anggaran pendidikan tujuh kali lipat dari selama ini. Jika dihitung-hitung, sebuah SMP di Jakarta bisa mendapat dana Rp 300 juta setahun. Jumlah ini cukup buat memenuhi biaya operasional. Hanya, belum jelas kapan aturan indah itu bisa dijalankan. Yang pasti, dalam RAPBN 2003 anggaran sektor pendidikan yang dirancang pemerintah cuma Rp 13,6 triliun atau 3,8 persen dari total APBN. Ini masih jauh dari impian yang tertuang dalam konstitusi. Jika dibandingkan dengan anggaran pendidikan tahun ini, angka itu memang naik 20 persen. Tapi kenaikan ini tak bakal mengurangi beban orang tua murid. Soalnya, kata Indrajati, dana itu akan diprioritaskan buat meningkatkan kesejahteraan guru dan memperbaiki sekolah. "Kalau tidak digunakan buat hal begini akan jadi boros," katanya. Sekolah murah rupanya baru sebatas impian konstitusi dan rakyat di negeri ini. Tahun depan ibu Dudi akan pusing lagi mencarikan biaya anaknya yang bakal masuk SMU. Hadriani Pudjiarti dan Tempo News Room

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus