RINGAN di lidah, berat di langkah. Begitu barangkali perumpamaan yang tepat untuk Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, Laksamana Sukardi, dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional, Syafruddin Temenggung. Kedua pejabat tersebut selama ini diketahui paling bersemangat menyelesaikan urusan utang para obligor kakap di Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Pekan lalu, dalam sidang kabinet terbatas, kata Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Kwik Kian Gie, Laksamana kembali mendesak pemerintah agar segera menerbitkan release and discharge buat konglomerat yang dinilai sudah menyelesaikan kewajibannya. Surat tersebut, tutur Syafruddin, mesti diberikan kepada obligor baik untuk unsur perdata maupun pidana.
Namun, ketika dibicarakan siapa yang harus membubuhkan tanda tangan pada surat bebas hukuman itu, Laks kontan terdiam. Sedangkan Syafruddin berkelit. Ujarnya, tugas BPPN hanya sebatas memberi rekomendasi kepada pemerintah mengenai sudah selesainya kewajiban obligor. Adapun soal keputusan akhir, termasuk penerbitan release and discharge (R&D), menurut dia tetap berada di tangan pemerintah.
Presiden Megawati kemudian melontarkan ucapan bagaimana bila surat tersebut diteken oleh Menteri Koordinator Perekonomian/Ketua Komite Kebijakan Sektor Keuangan (KKSK) dan Jaksa Agung. Terjadi perdebatan seru. Presiden akhirnya menolak mengambil keputusan soal R&D saat itu juga. Yang diputuskan hanyalah soal empat pengutang (Bank Budi, Bank Dana Utama, Bank Risjad Salim Int., dan Bank Surya) yang dianggap sudah menyelesaikan tanggung jawabnya.
Dalam soal R&D, Mega memberi waktu dua pekan kepada Ketua KKSK dan Jaksa Agung, dibantu Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, Kepala Polri, dan Tim Pengarah Bantuan Hukum, untuk meneliti masalah ini. Seusai Idul Fitri, soal itu akan dibahas kembali dalam sidang kabinet.
Meski keputusan sudah diketok, seusai sidang, Kejaksaan Agung melalui juru bicaranya, Barman Zahir, masih mengusulkan agar release and discharge diteken oleh Presiden dalam bentuk keputusan presiden atau minimal ditandatangani Menteri Koordinator Perekonomian. "Setidaknya yang teken pimpinan negara. Kalau keputusan bersama, dasar hukumnya kurang kuat," ujar Barman.
Hanya Menko Perekonomian/Ketua KKSK Dorodjatun Kuntjoro-Jakti yang mencoba bersikap kesatria. Ia bersedia meneken surat tersebut dengan syarat ada Berita Acara Pemenuhan (BAP) Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) yang ditandatangani oleh Ketua BPPN Syafruddin Temenggung. "Kalau Ketua BPPN sudah tanda tangan BAP, barulah saya mau teken," ujar Djatun.
Bagi pemerintah, urusan release and discharge ibarat buah simalakama. Di dalamnya ada masalah hukum yang bisa menjadi perangkap. Namun, di sisi lain, pemerintah terpepet waktu. Sebagian besar kontrak MSAA (Master of Settlement and Acquisition Agreement) ataupun MRNIA (Master of Refinancing and Notes Issuance Agreement) akan habis akhir tahun ini. Itulah sebabnya pemerintah harus segera mengambil keputusan.
Secara hukum, banyak kalangan menilai perjanjian antara para obligor dan BPPN sebagaimana tertuang dalam MSAA dan MRNIA itu sebagai perjanjian perdata yang menelikung hukum pidana. Masalah pidana di sini adalah tindakan para pengutang yang terbukti melanggar batas maksimum pemberian kredit (BMPK), yang menurut Undang-Undang Perbankan mestinya diganjar sembilan tahun penjara. Dengan penerbitan R&D, pelanggaran pidana itu seolah-olah mendapat pengampunan.
Bagi Ketua TPBH, Hadiah Herawati, perjanjian MSAA, MRNIA, ataupun APU (Akta Pengakuan Utang) hanya menyangkut unsur perdata. Sedangkan unsur pidana tetap menjadi wewenang Jaksa Agung. Ketua MPR Amien Rais pun mengusulkan agar masalah PKPS dikembalikan ke proses hukum dan dijadikan masalah pidana. "Ini bukan masalah utang-piutang antara individu dan lembaga. Ini adalah kejahatan terhadap bangsa," ia menegaskan.
Peliknya masalah ini membuat para pejabat mau lepas tangan. Seperti kata Rizal Djalil dari Komisi Keuangan dan Perbankan DPR, bisa-bisa mereka digiring ke Gedung Bundar di masa mendatang. Karena itulah Wakil Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Pramono Anung, menyarankan agar Mega tak menandatangani surat tersebut.
Lalu, bagaimana mengakhiri urusan utang obligor ini? Menurut Kwik, yang paling berkepentingan atas terbitnya release and discharge adalah para obligor. Di antaranya adalah Sjamsul Nursalim dan Salim, yang masing-masing berutang Rp 27,4 triliun dan Rp 52,7 triliun. "Mereka perlu surat itu agar merasa aman," ujarnya. Menurut dia, pejabat pemerintah sebetulnya tak perlu tanda tangan. Soalnya, dengan ditekennya MSAA, otomatis release and discharge sudah diberikan. Tinggallah pejabat yang dulu membuat MSAA yang mesti bertanggung jawab.
Jadi, mungkinkah bekas Menteri Keuangan Bambang Subianto dan bekas Ketua BPPN Glenn Yusuf yang akan jadi kambing hitam? Kepada TEMPO, Bambang mengaku tak tahu-menahu masalah itu. "Saya sudah enggak ngurusin," ujarnya. Sedangkan Glenn merasa tak khawatir. Di masanya dulu, katanya, para konglomerat meneken MSAA untuk menunjukkan bahwa mereka akan bersikap kooperatif. Setelah itu, apakah mereka menepati janji atau tidak, Ketua BPPN yang sekarang yang harus meneliti. "Saya kan tidak di BPPN lagi," ujarnya.
Nugroho Dewanto, Levi Silalahi, Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini