Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Untung-Rugi Bea Masuk 200 Persen Produk Cina

Pemerintah berencana mengenakan bea masuk impor produk Cina hingga 200 persen. Dibayang-bayangi serangan balasan dari Cina.

2 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pameran industri tekstil dan produk tekstil di Jakarta International Expo Kemayoran Jakarta. Tempo/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan pemerintah akan mengenakan bea masuk terhadap impor produk Cina dengan nilai hingga 200 persen.

  • APSyFI mencatat total nilai impor kain dan garmen yang legal pada 2023 sekitar US$ 5 miliar, sedangkan yang ilegal sekitar US$ 3 miliar.

  • Bea masuk produk Cina sebesar 200 persen dikhawatirkan mendorong Cina melakukan retaliasi atau pembalasan di bidang perdagangan antarnegara.

MENTERI Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan bahwa pemerintah akan mengenakan bea masuk terhadap impor produk Cina dengan nilai hingga 200 persen. Persoalan perang dagang antara Cina dan Amerika Serikat menjadi pertimbangannya.

Zulkifli berujar, perang dagang Cina dan Amerika Serikat membuat barang Cina kelebihan pasokan sehingga membanjiri pasar Indonesia, khususnya produk tekstil. Untuk itu, Zulkifli berencana segera menerbitkan peraturan Menteri Perdagangan ihwal kenaikan bea masuk tersebut. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Karena pasar negara-negara Barat menolak mereka. Satu-dua hari ini mudah-mudahan sudah selesai permendagnya," ujar Zulkifli di Bandung, Jawa Barat, seperti dilansir Antara pada Jumat, 28 Juni 2024. Pemerintah berharap kebijakan itu dapat melindungi industri dalam negeri serta usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).  

Lesunya industri tekstil memang tengah menjadi sorotan. Kementerian Perindustrian menyatakan aktivitas manufaktur Indonesia sedang melambat, baik dari sisi penjualan maupun permintaan. Juru bicara Kementerian Perindustrian, Febri Hendri Antoni Arif, menuturkan skor Purchasing Manager's Index (PMI) manufaktur pada Juni 2024 turun menjadi 50,7 dari 52,1 pada Mei 2024.

Skor PMI di atas 50 menunjukkan sektor manufaktur berada di level ekspansi. Sedangkan jika angkanya di bawah 50, industri berada di fase kontraksi. Artinya, PMI pada Juni yang berada di level 50,7 mencerminkan industri manufaktur nyaris berada di fase kontraksi.

Laporan S&P Global menyebutkan pertumbuhan sektor manufaktur kehilangan momentum pada Juni 2024. Musababnya, terjadi kenaikan yang lebih lambat dibanding output, permintaan baru, dan penjualan. Kondisi itu juga dinilai mempengaruhi kepercayaan diri terhadap output 12 bulan mendatang. 

Febri menyebutkan sektor industri memang sudah masuk ke kondisi alarming. Sebab, optimisme para pelaku industri terhadap bisnis mendatang menurun akibat melemahnya pesanan baru. Menurut dia, pelemahan ini yang dipengaruhi oleh kondisi pasar, restriksi perdagangan di negara lain, serta regulasi yang kurang mendukung. Regulasi yang Febri maksudkan adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pemerintah sudah mengutak-atik kebijakan impor. Pada 2023, pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 yang memperketat arus barang masuk dari luar negeri, dari yang sebelumnya bisa langsung masuk ke toko atau konsumen tanpa sekat akibat kebijakan postborder dalam bea-cukai menjadi harus melalui pemeriksaan lebih dulu. Kebijakan itu juga mengatur pekerja migran Indonesia boleh membawa barang dari luar negeri yang tidak kena pajak maksimal senilai US$ 500 pada 56 jenis. 

Kemudian pemerintah mengubah aturan itu dengan menerbitkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan tersebut membuat pekerja migran Indonesia dapat kembali membawa barang impor apa pun dengan nilai maksimal US$ 500.  

Tapi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 Tahun 2024 disebut membuat barang-barang di berbagai pelabuhan menumpuk hingga 20 ribu kontainer. Akhirnya pemerintah mengubah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 7 menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024. Regulasi ini memperlonggar impor barang-barang dari luar negeri yang sejenis dengan produk-produk yang dihasilkan di dalam negeri. 

Walhasil, Kementerian Perindustrian meminta Kementerian Perdagangan menyesuaikan kebijakan, antara lain dengan mengembalikan peraturan impor ke Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023. Kementerian Perindustrian juga meminta Kementerian Keuangan memberlakukan bea masuk tindakan pengamanan (BMTP) dan bea masuk anti-dumping (BMAD) untuk sejumlah komoditas.

Febri mengatakan perubahan aturan diperlukan karena industri manufaktur dalam negeri sedang darurat. Kondisi itu dinilai dari fenomena pemutusan hubungan kerja yang disebabkan oleh penurunan angka permintaan pasar global dan serbuan produk impor akibat restriksi perdagangan dari Cina. Apabila Indonesia tidak menerapkan peraturan ihwal hal tersebut, barang impor akan makin mendominasi pasar dan memukul mundur produk-produk dalam negeri. 

Merespons permintaan Kementerian Perindustrian, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan segera mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan tentang BMAD dan BMTP untuk sejumlah komoditas impor, terutama tekstil. "Kementerian Keuangan akan melakukan langkah sesuai yang sudah diatur undang-undang, apakah akan menentukan kembali bea masuk atau measure yang lain,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi pers, Kamis lalu.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan sependapat bahwa banjir impor produk tekstil belakangan justru membuat industri tekstil dan produk tekstil (TPT) dalam negeri terpuruk. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea-Cukai Nirwala Dwi Heriyanto berujar, peraturan soal impor harus adaptif dengan perkembangan ekonomi dunia dan antisipatif menyesuaikan keadaan. 

Untuk menerapkan BMAD dan BMTP, Kementerian Keuangan sedang mengumpulkan pertimbangan dari Kementerian Perdagangan serta Kementerian Perindustrian. Nirwala menuturkan peraturan Menteri Keuangan memang harus melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF). Tapi, kata dia, mesti ada pertimbangan teknis dari setiap fungsi kementerian. 

Rencana pemerintah ini mendapat dukungan dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Ketua Umum Apindo Shinta Kamdani menilai pemerintah harus melindungi industri TPT nasional dari serbuan produk impor asal Cina. Pemerintah disarankan mengenakan instrumen anti-dumping terhadap produk tekstil asal Cina yang terbukti diimpor dengan cara predatory pricing. Predatory pricing adalah strategi penetapan harga yang bertujuan menyingkirkan persaingan. Caranya dengan menurunkan harga barang secara drastis di bawah pasar. 

Menurut Shinta, pemerintah bahkan dapat mengenakan BMAD senilai 200-300 persen. "Bahkan BMAD yang dikenakan bisa lebih tinggi karena sifatnya sebagai penalti bagi kecurangan perdagangan yang mematikan industri nasional," ucapnya kepada Tempo, kemarin, 1 Juli. 

Apindo juga menyarankan agar aturan impor kategori tekstil yang disinyalir mengalami predatory pricing di pasar domestik dikembalikan dari postborder ke border. Tujuannya supaya bisa diinspeksi dan diteliti lebih lanjut bila terjadi kecurangan perdagangan, yaitu impor ilegal atau dumping. Dengan demikian, tutur Shinta, beban inspeksi bea-cukai dapat lebih terukur tambahannya dan menciptakan timbunan berlebihan di pelabuhan.

Pemerintah pun diminta memperketat disiplin dan pengawasan impor terhadap produk tekstil asal Cina untuk memastikan tidak ada perdagangan tekstil ilegal. Apindo berharap operasi pasar juga dilakukan untuk menemukan dan menindak tegas pelaku yang mendistribusikan produk tekstil impor ilegal, serta menghentikan penyaluran produk tersebut ke pasar dalam negeri. 

Senada dengan Apindo, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) menilai kebijakan pengenaan bea masuk untuk produk impor asal Cina hingga 200 persen akan sangat bermanfaat. Ketua Umum APSyFI Redma Gita Wirawasta mengatakan negara lain juga melakukan hal yang sama untuk mengendalikan impor dan melindungi pasarnya dari serangan barang impor dumping.

Tapi Redma menekankan pemerintah juga harus serius menangani aktivitas impor ilegal. "Saat ini justru masalah utama kita adalah impor ilegal yang masuk lewat cara borongan atau kubikasi, pelarian, dan under invoicing (di bawah faktur)," tuturnya. Karena itu, dia berharap penerapan BMAD dan BMPT juga dibarengi oleh perbaikan kinerja bea-cukai untuk memberantas impor ilegal.

Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menunjukkan produk keramik dan tableware ilegal asal Cina saat ekspose barang hasil pengawasan di Surabaya, Jawa Timur, 20 Juni 2024. ANTARA/Rizal Hanafi

Aturan BMTP dan BMAD, kata Redma, harus diikuti oleh revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 untuk menambal celah yang selama ini menjadi permainan para importir dan pelaku yang terlibat di bea-cukai. Ditambah pemberantasan mafia impor untuk menanggulangi impor ilegal. Sebab, impor ilegal yang masuk ke pasar dalam negeri jumlahnya sangat besar.  

APSyFI mencatat total nilai impor kain dan garmen yang legal pada 2023 sekitar US$ 5 miliar, sedangkan yang ilegal sekitar US$ 3 miliar.

Sementara itu, Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo) pesimistis rencana itu dapat direalisasi. Ketua Umum Akumindo Hermawati Setyorini ragu pemerintah berani mengenakan bea masuk sebesar itu. "Apalagi 200 persen. Negara kita ini banyak sekali kerja sama dengan Cina. Apa mungkin berani? Saya pesimistis sekali," ujarnya kepada Tempo.

Meski ada potensi produk domestik bakal mendominasi apabila pemerintah membatasi impor dari Cina, Hermawati tak yakin UMKM bisa maju mengingat daya beli masyarakat sedang lemah. Karena itu, ia menilai seharusnya pemerintah bisa membuat kebijakan untuk menjaga daya beli masyarakat serta membuat ketersediaan bahan baku yang murah agar pelaku UMKM dapat menekan ongkos produksi. Dengan demikian, harga produk UMKM bisa lebih terjangkau dibanding produk impor. Masyarakat juga dapat memilih produk dalam negeri, bahkan UMKM bisa bersaing secara global. 

Adapun saat ini Hermawati mengungkapkan banyak UMKM yang masih bergantung pada bahan baku hasil impor. Dengan demikian, pengetatan impor pun belum tentu dapat membangkitkan bisnis UMKM. Di samping itu, program pemberdayaan UMKM berupa akses modal, insentif, dan pelatihan belum maksimal. Apabila berpihak pada UMKM, Hermawati berharap pemerintah dapat menjaga daya beli masyarakat agar tidak makin turun. Ditambah pengawasan terhadap kebijakan-kebijakan atau program UMKM agar tepat sasaran. 

Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI), yang beranggotakan sekitar 7.000 perusahaan importir, turut buka suara. Ketua Umum GINSI Subandi mengatakan 45 persen anggota asosiasinya merupakan importir produk Cina. Dia berujar, pengenaan bea masuk 200 persen terhadap impor produk asal Cina akan menekan importir legal yang selama ini sudah membayar sejumlah pajak. Sedangkan masalah utama yang mengganggu industri dalam negeri, menurut GINSI, adalah importir ilegal yang lolos dari pengawasan bea-cukai.

GINSI juga memperingatkan bahwa kebijakan BMTP dan BMAD bakal berimbas buruk terhadap hubungan perdagangan Indonesia dengan Cina. Risikonya, produk ekspor Indonesia nantinya juga kesulitan masuk Cina. Subandi menekankan bahwa perdagangan internasional tidak bisa sepihak. Karena itu, kebijakan tersebut tidak tepat untuk memproteksi industri dalam negeri. 

Untuk mengatasi masalah kejatuhan industri tekstil, Subandi menilai pemerintah semestinya memperkuat daya saing produk dalam negeri. Sebab, barang impor yang sudah terkena sejumlah pajak saja bisa lebih murah dan berkualitas dibanding produk dalam negeri. Padahal produk dalam negeri tidak kena biaya ongkos dan pajak seperti produk impor.

Di samping itu, GINSI menekankan pengetatan impor produk Cina juga bakal menjadikan harga kebutuhan masyarakat naik. "Jadi apakah kebijakan ini untuk melindungi konsumen atau pengusaha?" kata Subandi kepada Tempo, Senin lalu. Kalaupun mau diperketat, GINSI meminta pemerintah memperjelas produk apa saja yang dikenai bea masuk tinggi itu. Pasalnya, banyak produk yang belum bisa dipenuhi di dalam negeri. Pengetatan impor juga dikhawatirkan mendorong impor selundupan yang tidak kena pajak makin marak. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal pun menekankan perlu dibuat secara rinci bagaimana aturan bea masuk 200 persen ini dikenakan terhadap impor produk Cina. Salah satunya soal produk apa saja yang akan dikenai tarif tersebut. Pasalnya, setiap kebijakan akan memiliki konsekuensi berbeda-beda antara produk satu dan produk yang lain. 

Faisal menekankan pemerintah harus berhati-hati dan menimbang dampaknya secara jangka panjang. "Harus ke akar permasalahannya betul-betul, bukan sifatnya hanya untuk kepentingan sesaat atau hanya untuk kepentingan politik karena menjelang akhir pemerintahan," tuturnya.

Jika pemerintah sampai salah sasaran, yang tadinya bertujuan menekan produk tekstil impor malah membuat masalah pada produk-produk lain. Terlebih produk yang dibutuhkan industri dalam negeri justru dari impor. Menurut Faisal, kasus seperti itu sering terjadi hingga kemudian berimbas pada industri. Jangka waktu pengenaan tarif tersebut juga harus dipertimbangkan dengan matang.  

Faisal pun menggarisbawahi, sejak 2015, Indonesia terikat dengan perjanjian dagang ASEAN-China Free Trade Area (ACFTA). Perjanjian dagang itu yang menyebabkan produk Cina membanjiri pasar Indonesia selama lebih dari 20 tahun terakhir. Hampir semua jenis produk dikenai tarif sangat rendah, bahkan sebagian besar hampir 0 persen. 

Karena itu, menaikkan tarif bea masuk hingga 200 persen merupakan kebijakan yang drastis. Kebijakan ini kemungkinan besar akan mendorong Cina melakukan retaliasi atau pembalasan di bidang perdagangan antarnegara dalam kerangka World Trade Organization. Langkah itu telah dilakukan Cina terhadap Uni Eropa, yang baru-baru ini memasang tarif untuk impor mobil listrik dari Cina. Meski pengetatan produk impor dari Cina dapat berdampak positif pada usaha dalam negeri, Faisal mengingatkan pemerintah menyiapkan langkah antisipasi berikutnya dari kebijakan yang drastis ini. 

Direktur Institute for Demographic and Poverty Studies (Ideas) Yusuf Wibisono mengimbuhkan, banjir impor produk Cina memang dapat berasal dari aksi dumping, tapi juga bisa karena faktor lemahnya proteksi terhadap industri domestik atau lantaran besarnya penyelundupan barang impor ilegal. Pengenaan bea masuk berupa BMTP dan BMAD hingga 200 persen, menurut dia, hanya bisa dibenarkan jika memang Cina melakukan dumping. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Han Revanda berkontribusi dalam penulisan artikel ini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus