Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bebas Bea, Tak Bebas Masalah

Banjir pasokan minyak nabati dunia masih berlanjut hingga tahun depan. Jorjoran ekspor sama saja dengan bunuh diri.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Temu Abdih sering lesu belakangan ini. Pemilik puluhan hektare kebun di Banyuasin, Sumatera Selatan, itu kerap terkenang pada masa lalu tatkala dia masih bekerja di perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan gaji Rp 2-3 juta per bulan. "Ingin rasanya kembali jadi pegawai, tapi umur sudah tak muda lagi," kata insinyur pertanian 47 tahun ini kepada Tempo, pertengahan Oktober lalu.

Beberapa tahun lalu, Temu punya rencana menikmati masa senja dengan lebih merdeka. Bosan jadi pegawai, ia memberanikan pensiun dini dan membangun kebun sawit sendiri dari tabungan pribadi. Pilihannya tak keliru. Kebun itu ternyata memberi masukan berlipat ganda-dibanding saat ia jadi orang gajian.

Ditopang harga tandan buah sawit segar yang menembus Rp 1.600-an per kilogram, Temu mampu membangun rumah dan mengisi garasinya dengan mobil teranyar. Semua kejayaan ekonomi ini melorot bersama terjunnya harga sawit. "Tahun ini paling parah," ujarnya.

Walhasil, satu per satu mobil terpaksa ia jual. Deposito terpaksa ia cairkan sebelum jatuh tempo. "Untuk menutup kebutuhan dan biaya sekolah anak," kata Temu. Dan dia menduga kondisi pasar sawit tahun depan masih belum banyak berubah.

Prediksi pasar seperti itu pula yang mendasari keputusan Menteri Perdagangan Muhammad Lutfi di ujung masa jabatannya. Lutfi-yang kini digantikan Rachmat Gobel, Menteri Perdagangan Kabinet Kerja-terpaksa memangkas ekspor tahun ini karena nilai ekspor komoditas jeblok, dari semula US$ 190 miliar menjadi US$ 184,3 miliar.

Salah satu pemicunya: harga minyak sawit mentah (CPO) yang turun 25 persen dari US$ 740 menjadi US$ 660 per metrik ton dalam sebulan terakhir. Angka ini jauh dari rata-rata harga Januari, yang mencapai US$ 920 per ton. Kementerian Perdagangan pun memastikan bahwa ekspor CPO periode Oktober 2014 tak akan dikenai bea keluar 7,5 persen. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 223 Tahun 2008, bea keluar hanya berlaku jika harga referensi terendah US$ 750-800 per ton. Di bawah itu, bea keluar CPO otomatis nihil.

Para produsen diwanti-wanti agar diminta tak jorjoran mengekspor-walau bea keluar nol persen-agar harga tak makin melorot. Anjloknya harga CPO tersebab banjirnya pasokan minyak nabati dunia. Karena itu, ekspor CPO besar-besaran sama saja dengan bunuh diri pelan-pelan.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan menyambut gembira bebasnya bea keluar. Ia berjanji Gapki tak akan lupa diri dengan mengekspor habis-habisan. "Dengan begini, kami bisa menawarkan harga lebih bersaing," ujarnya dua pekan lalu. "Masalahnya, ada yang mau beli atau tidak? Kalau permintaan sepi, ya, ke mana bisa jual?" Fadhil menambahkan. Dia memperkirakan harga CPO tahun depan masih akan rendah karena stok minyak nabati lain masih melimpah. "Ada kelebihan stok, terutama oleh kedelai dari Amerika."

Ketua Bidang Hukum dan Advokasi Gapki Tungkot Sipayung menjelaskan, bebasnya bea keluar ekspor tak serta-merta membuat pengusaha kelapa sawit bebas masalah. Dan ekspor tak boleh serta-merta digenjot. Alasannya? Perekonomian Cina, Amerika Serikat, dan Eropa-pasar utama CPO-belum sepenuhnya sehat. "Kalau semua simpanan minyak mentah dilepas, harga jual makin terbanting," Tungkot menegaskan.

Toh, dia optimistis bisnis kelapa sawit masih akan menjanjikan pada 2015. Setidaknya setelah ekonomi Cina membaik. "Mudah-mudahan permintaan dari Cina, India, Eropa, dan Amerika Serikat lumayan," katanya.

Gapki memproyeksikan ekspor CPO tahun ini mencapai 19,11 juta ton. Angka ini sedikit turun dibanding pada 2013 yang mencapai 21,2 juta ton. Untuk 2015, Tungkot memprediksi volume ekspor CPO tak akan jauh dari angka 20 juta ton. "Tidak jorjoran bertambah, tapi jangan turun."

Pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia, Lana Soelistianingsih, menilai saat ini perekonomian Indonesia masih amat bergantung pada harga komoditas di pasar global. Produk CPO dan batu bara saja sudah mengambil porsi 30 persen dari total ekspor nonmigas. "Begitu harga jatuh, langsung kelimpungan," ujarnya. Lana menyarankan pemerintah baru Joko Widodo-Jusuf Kalla lebih memperhatikan industri hulu dan hilir, sehingga ketergantungan itu bisa dikurangi.

Rachma T.W., Parliza Hendrawan (Palembang), Amos Simanungkalit, Dini Pramita, Jayadi Supriadin


Tahun Muram Emas Hitam

Kelesuan yang menimpa petani sawit seperti Temu Abdih melanda pula Umar Vaturusi. Pengusaha batu bara di Samarinda, Kalimantan Timur, ini mengaku terus merugi delapan bulan terakhir. Harga emas hitam yang jadi gantungan bisnisnya terjun bebas ke level US$ 51 per metrik ton. "Bisa untung US$ 4 per ton saja sudah sangat bagus," kata Presiden Direktur PT Buana Rizky Armia itu saat ditemui di Samarinda, pertengahan Oktober lalu.

Masa jaya batu bara terjadi pada 2011, saat harganya mencapai rata-rata US$ 127 per ton (lihat tabel "Batu Bara dalam Angka"). Namun, sejak itu, harganya merosot hingga jauh di bawah US$ 100 per ton. Umar dan rekan-rekannya harus pintar-pintar berhemat agar bisnisnya tak terjungkal. Kontrak dengan sejumlah kontraktor alat berat terpaksa dihentikan. Jumlah karyawan alih daya pun banyak dipangkas. "Ini tahun terburuk," ujarnya.

Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral R. Sukhyar mengakui 2014 adalah tahun paling berat bagi produsen batu bara dalam lima tahun terakhir. Agustus lalu, ia mencatat rata-rata harganya hanya US$ 69,6 per ton, turun tujuh persen dari posisi dua bulan sebelumnya. "Secara global, terjadi perlambatan sehingga kebutuhan energi mengecil, sementara pasokan normal."

Sukhyar mengatakan muramnya bisnis emas hitam masih akan berlanjut sampai tahun depan. Tapi ia menjamin harga tak akan jatuh lebih rendah. Sebab, sepanjang 2015, negara-negara penghasil batu bara cenderung menahan produksi. "Keseimbangan baru akan terbentuk mulai 2016."

Sebagai antisipasi perlambatan pasar, awal tahun depan pemerintah mulai menerapkan pembatasan produksi sambil memaksimalkan penggunaan kebutuhan dalam negeri. "Dewan Energi Nasional sudah mengamanatkan pengurangan ekspor sampai zero," tutur mantan Kepala Badan Geologi ini. Dengan cara itu, pemerintah berharap harga bisa kembali naik.

Ketua Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia Bob Kamandanu mengapresiasi langkah pemerintah menyelamatkan komoditas tambang ini. Namun ia masih cemas karena kian banyak perusahaan yang tak kuat bertahan. "Kewajiban menyetor royalti sebelum batu bara dikapalkan itu memberatkan dan memukul arus kas perusahaan," katanya. Dia berharap kebijakan itu berubah.

Melihat situasi tahun ini, Bob mengatakan target produksi pada 2015 akan turun ke posisi 380 juta ton saja. "Mudah-mudahan iklim perekonomian global mendukung," ujarnya.

Ayu Prima Sandi, Ali Hidayat, Firman Hidayat (Samarinda)


Batu Bara dalam Angka

TahunProduksi(juta ton)Konsumsi domestik(juta ton)Ekspor (juta ton)Harga(US$ per ton)
200925419856-
20102802106596,3
201135328766121,8
20124123336798
20134493477285,2
2014*2802532569,6
2015**425320105-

Keterangan :
*) hingga Agustus
**) proyeksi
Sumber: Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral

10 Tujuan Ekspor Utama CPO (US$ Juta)

Negara201020112012201320140
INDIA4.340,25.256,44.838,44.281,61.712,1
UKRAINA300,1338,7346,4443,2138,4
MALAYSIA1.210,71.602,91.320,8372,7146,6
RUSIA201,5321,7303,2306,6173,2
AMERIKA SERIKAT32,933,138,6297,4157,7
MYANMAR129,3147,1112,4252,3145,2
IRAN277,4326,5191,1251,499,2
DJIBOUTI16,8116,1209,5226,9124,5
JERMAN280,7270,1197,8216,880,2
TURKI4981,1208,6215,388,7

Sumber: Kementerian Perdagangan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus