Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Tekanan Tinggi di Langit Terbuka

Lonjakan biaya bahan bakar dan pelemahan rupiah merupakan tantangan terberat industri penerbangan. Perbaikan infrastruktur tak bisa ditunda menjelang ASEAN "Open Sky" 2015.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gemuruh alat berat sahut-menyahut dengan deru mesin pesawat yang mendarat ataupun tinggal landas di Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang. Rabu siang dua pekan lalu itu, ratusan pekerja terlihat sibuk mengerjakan konstruksi yang sudah tampak setengah jadi. "Kemajuan mencapai 60 persen," ujar Direktur Pengembangan Kebandarudaraan dan Teknologi PT Angkasa Pura II (Persero) Salahudin Rafi.

Ia memastikan pengembangan Terminal 3 "Ultimate" bandara terbesar di Tanah Air ini berjalan sesuai dengan jadwal. Bila segalanya sesuai dengan rencana, proyek ini akan menjadi salah satu yang bisa diresmikan pada tahun pertama pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. "Agustus tahun depan sudah akan beroperasi," kata Rafi.

Pemerintah memang ngebut memperbaiki bandar udara dan infrastruktur pendukungnya agar Indonesia bisa bersaing bebas di kawasan Asia Tenggara seiring dengan berlakunya ASEAN "Open Sky" mulai Januari 2015. Selain Soekarno-Hatta, empat bandar udara lain akan menjadi ajang dalam kompetisi terbuka itu, yakni Kualanamu di Medan, Juanda di Surabaya, Ngurah Rai di Denpasar, dan Hasanuddin di Makassar. Bandara di Cengkareng dan Medan dikelola Angkasa Pura II, tiga lainnya oleh Angkasa Pura I.

Masalahnya, kelima lapangan terbang itu sudah beberapa tahun terakhir kelewat padat dan nyaris mengalami kemacetan total alias traffic gridlock. Adapun bandara lain yang lebih kecil umumnya masih memiliki aneka keterbatasan, misalnya belum mempunyai fasilitas navigasi untuk pendaratan malam. Persoalan daya tampung terminal dan landasan pacu tak hanya mengganggu kenyamanan penumpang karena seringnya terjadi keterlambatan.

Antrean yang terlalu lama untuk terbang dan mendarat juga sangat merugikan maskapai penerbangan karena bengkaknya biaya avtur pesawat, bahkan kerap mulai mengancam keamanan penerbangan. Itu sebabnya, kesibukan seperti pada Rabu siang pertengahan Oktober di Soekarno-Hatta itu kini juga terjadi di belasan bandara lain di seantero Nusantara. Tuntutan untuk perbaikan begitu tinggi.

Rafi menjelaskan, pengerjaan Terminal 3Ultimate berkapasitas 25 juta penumpang ini pun dikebut sejak November 2012 lantaran tiga terminal yang ada sekarang tak lagi memadai. Dengan rata-rata pertumbuhan penumpang angkutan udara nasional sekitar 15 persen, situasinya bisa gawat bila tak segera diatasi. "Jumlah penumpang kian tahun meningkat signifikan," ujarnya.

Dirancang dengan konsep aerotropolis dan modern, terminal ini dilengkapi stasiun kereta api yang terhubung dengan bangunan terpadu. Nantinya ketiga terminal dan fasilitas kargo terkoneksi dengan sistem intermoda yang terintegrasi. Area parkir berkapasitas 20 ribu lot mobil. Jika semua fasilitas rampung, daya tampung layanan Soekarno-Hattayang saat ini berkisar 22 juta penumpang per tahun diharapkan bisa bertambah menjadi di atas 61 juta atau naik 177 persen.

Direktur Utama PT Angkasa Pura II Tri S. Sunoko mengatakan ada 13 bandara yang mereka kelola sedang diperbesar kapasitasnya. Umumnya di wilayah Indonesia bagian barat. "Total anggarannya Rp 36 triliun," katanya. "Untuk Soekarno-Hatta biayanya Rp 26 triliun." Proyek besar lain yang banyak menyedot dana adalah Kualanamu di Medan dan Husein Sastranegara di Bandung.

Selain bandara yang dikelola Angkasa Pura I dan II, penambahan fasilitas dan kapasitas dilakukan terhadap lapangan terbang di bawah Kementerian Perhubungan melalui Unit Pelaksana Teknis Direktorat Jenderal Perhubungan Udara. Di tengah anggaran yang cekak, pemerintah melakukan terobosan dengan menawarkan pengelolaan sepuluh bandara di daerah kepada swasta.

Sepuluh bandara itu adalah Sentani di Jayapura, Mutiara di Palu, Juwata di Tarakan, Matahora di Wakatobi, Sultan Babullah di Ternate, Tjilik Riwut di Palangkaraya, Komodo di Labuan Bajo, Hanandjoedin di Tanjung Pandan, Fatmawati di Bengkulu, dan Radin Inten II di Lampung. "Beberapa investor sudah berminat," ucap Wakil Menteri Perhubungan Bambang Susantono, beberapa waktu lalu.

* * * *

Persaingan bebas di langit ASEAN berarti pula kompetisi yang akan semakin ketat dan terbuka di antara maskapai penerbangan di kawasan ini. Siap atau tak siap, mulai tahun depan para pelaku domestik dalam industri ini tak bisa lagi mengelak untuk berhadapan dengan para pemain asing, khususnya dari Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, dan Vietnam.

Dari sisi ini, dua grup yang saat ini menguasai pasar penerbangan domestik, yakni Garuda Indonesia (Garuda dan Citilink) serta Lion Air (Lion, Batik, Wings, Malindo, dan Thai Lion), akan diuji agar tak hanya hebat sebagai jago kandang. Maskapai yang lebih kecil pun tak bisa menghindar.

Garuda Indonesia menganggap persaingan sebagai hal yang lumrah, dengan atau tanpa adanya ASEAN Open Sky. Aliansi dan kerja sama mereka pilih untuk bertahan dan tumbuh dalam industri ini, yaitu dengan bergabung ke jaringan SkyTeam, yang meliputi 20 maskapai yang melayani penerbangan ke 1.064 kota tujuan di 178 negara. "Agar bisa menjadi pemain global," ujar Vice President Corporate Communications Garuda Indonesia Pujobroto.

Direktur Umum Lion Air Edward Sirait mengatakan efisiensi merupakan strategi wajib bagi setiap perusahaan penerbangan. "Maskapai harus bisa efisien. Sebab, kalau kalah, bisa tersingkir," katanya.

Tapi, menurut Edward, penambahan armada pesawat bukan satu-satunya solusi bagi maskapai untuk bisa kompetitif dan meraih skala ekonomi dalam operasional. Dia menilai kebijakan pemerintah dan dukungan lingkungan bisnis dalam industri ini juga sangat menentukan apakah nantinya mereka akan sanggup bersaing. "Contohnya terkait dengan harga avtur dan kebijakan bea masuk komponen pesawat."

Hal senada diungkapkan Ketua Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) Arif Wibowo dalam berbagai kesempatan. Ia mengatakan tantangan industri penerbangan semakin berat menjelang ASEAN Open Sky. Ia menyebutkan anjloknya nilai tukar rupiah, meroketnya harga avtur, serta tingginya bea masuk suku cadang pesawat dan kebijakan lain semakin membebani mereka. "Ini memerlukan intervensi pemerintah."

Direktur Utama Citilink itu mengatakan penerbangan merupakan industri strategis bagi negeri kepulauan seperti Indonesia, sehingga semestinya didukung penuh pemerintah. Repotnya, ia menjelaskan, 85 persen biaya operasional dalam industri ini sangat bergantung pada stabilitas nilai tukar. Sedikit saja guncangan sudah akan merepotkan. Separuh dari biaya itu habis termakan untuk pembelian avtur, sedangkan ongkos komponen bisa mencapai 25 persen. Karena itu, maskapai merasa keberatan menanggung tambahan beban bea masuk 5-7 persen yang kini berlaku.

Ia lalu membandingkan dengan negara-negara tetangga yang membebaskan bea masuk atas komponen pesawat demi menunjang industri penerbangan mereka. "INACA berharap pemerintah baru punya kebijakan yang lebih terkoordinasi, tidak sektoral, dan berpihak kepada bisnis airlines."

Tomi Aryanto, Joniansyah, Maria Yuniar


Pertumbuhan Penumpang Pesawat di Indonesia

DOMESTIK

TahunDatangBerangkatTransit
200933.848.12333.227.9063.593.017
201043.277.12942.192.0444.152.705
201157.543.42752.975.9086.612.623
201260.611.31856.770.8387.251.347
201359.100.18056.318.7756.104.353
2014 (sampai Juli)32.844.300 (rata-rata datang dan berangkat)

INTERNASIONAL

TahunDatangBerangkatTransit
20096.762.5766.687.377166.106
20109.733.8249.743.848233.098
201110.600.39510.582.84484.140
201211.734.03911.665.68162.055
20139.313.2279.176.03076.341
2014 (sampai Juli)7.844.300 (rata-rata datang dan berangkat)

Evan (PDAT) | Sumber: Kementerian Perhubungan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus