MEREKA kini berumur di atas 40. Berpakaian rapi, bahkan ada yang
berdasi, mereka berkumpul di restoran Press Club, Jakarta. Semua
mengaku sebagai bekas wartawan yang pernah bergabung dalam Badan
Pendukung Soekarnoisme (BPS).
Ada apa "Kita berkumpul tidak ada maksud lain, selain mau
mengumpulkan data sejarah tentang kehidupan BPS," kata Harmoko,
Ketua PWI Pusat, tuan rumah pertemuan pekan lalu itu. Data itu
penting, katanya, bagi pertumbuhan sejarah PWI. Menurut dia, BPS
melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mau menguasai
kehidupan pers Indonesia.
Kini, 18 tahun kemudian, katanya, banyak yang bertanya, apa
sebenarnya latar belakang berdirinya BPS. Dengan data yang
terhimpun nanti PWI Pusat dan Dewan Pers akan membukukannya,
mungkin terbit pada HUT PWI Februari nanti.
Pertemuan hari Sabtu itu agaknya juga semacam reuni. Mereka
bercerita bagaimana mereka bergerak melawan PKI di zaman
(Nasakom) Orde Lama. PWI waktu itu dipimpin A. Karim D.P.,
Pemimpin Redaksi Warta Bhakti (oplah 150.000), yang juga terkena
pengaruh PKI. Waktu itu, 1964, pengaruh PKI dan banyak ormasnya
sedang berada dalam keadaan puncaknya. "Suasana (dulu) berada
dalam pelukan PKI," kata Harmoko, 43 tahun.
Hidajat Rahardjo, Pem-Red Revolusioner waktu itu, sempat diseret
ke pcngadilan dan divonis 10 bulan, karena pemberitaan korannya
yang menyinggung ucapan Ketua CC PKI D.N. Aidit tentang
Pancasila. Menurut Aidit, Pancasila sebagai alat pemersatu tak
diperlukan lagi, bila rakyat Indonesia sudah bersatu. Juga
karena mengutip pidato K H. Sjaifuddin Zuhri bahwa konfrontasi
dengan Malaysia sama dengan konfrontasi dengan PKI, pemimpin
koran itu diseret ke pengadilan. Dalam kasus yang terakhir ini,
Hidajat Rahardjo bahkan mendapat tekanan saksi Djoni Hendra
Sitompul, Sekretaris PWI Jakarta, Penanggung Jawab Pancawarna,
majalah kelompok Warta Bakti.
Sofyan Lubis, wartawan Warta Berita waktu itu, termasuk di
antara 25 wartawan BPS yang masuk daftar untuk diinterogasi
Kejaksaan Jakarta. "Saya dianggap gembong BPS oleh Karim D.P.,"
tuturnya. Kini Sofyan Lubis adalah Redaktur Pelaksana Pos Kota
pimpinan Harmoko.
Karim D.P., dengan Warta Bhaktinya bersama Harian Rakyat (PKI),
Suluh Indonesia (PNI), Bintang Timur, dan lain-lain, merupakan
lawan BPS. Polemik tentang BPS dan Soekarnoisme berlangsung seru
antara Harian Rakyat, organ PKI, dan Merdeka. Dan secara khusus
Harian Rakyat menulis serial mengkritik tulisan Sayuti Melik
alias Yuti, Belajar memahami Soekarnoisme yang kemudian
dibukukan (BPS Aksi Reaksi) oleh PT Rakyat, milik PKI.
Karim D.P. paling banyak disebut-sebut di pertemuan mereka di
Press Club itu. Apa reaksinya? "Gerakan BPS hanya bersifat
politis yang melibatkan para wartawan. Tak ada hubungannya
dengan gerakan membela kebebasan pers," kata Karim D.P. BPS
waktu itu menghimpun wartawan media cetak, radio dan televisi
melakukan gerakan politis yang bertujuan, katanya lagi,
"melakukan political reform dan social reforin. Jadi tak ada
hubungannya dengan profesi kewartawanan."
Menurut ceritanya, orang-orang BPS mendirikan badan itu unpa
melapor ko PWI, tapi ke PNI (Partai Nasional Indonesia), yang
waktu itu dipimpin Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum dan
Ir. Soerachman sebagai Sekjennya. Waktu itu (Februari 1964)
Karim D.P., katanya, berada di Lembang, Jawa Barat, bersama
sejumlah tokoh PNI mengadakan sidang BPK (Badan Pekerja Kongres)
PNI. Di situ dia konon melihat mereka datang melaporkan
pembentukan BPS.
Tapi "BPS adalah gerakan pers," kata Sayuti Melik yang tidak
ikut mendirikan BPS itu, tapi "selalu diajak rapat-rapat."
Karena itu, katanya lagi, walaupun setelah BPS dibubarkan
Soekarno (17 Desember 1964), "saya yang paling lama diperiksa.
Bahkan sampai 1 Oktober 1965 saya masih diperiksa."
Menurut Zulharmans, Ketua PWI Jakarta Raya kini, BPS memang
"gerakan politik" melalui pers. Tulisan Yuti, katanya, hanyalah
jembatan untuk melawan PKI waktu itu.
Yuti berhenti jadi Pem-Red Suluh Indonesia, karena tulisannya
(Belajar Memabami Soekarnoisme) dinilai PNI bertentangan dengan
ajaran Soekarno. PNI waktu itu sudah dipengaruhi PKI, menurut
Yuti, karena "Sek-Jen PNI, Soerachman orang PKI."
Dalam suatu pertemuan dengan Soekarno, kata Yuti, dia akhirnya
mendapat restu Soekarno. Maka, sesudah keluar dari Suluh
Indonesia, dan walaupun bukan untuk BPS, ia menulis lagi serial
Memahami Soekarnoisme itu di Berita Indonesia. Kemudian lebih 50
koran, antara lain Merdeka, mengikuti jejak BI, memuat tulisan
Yuti. Semua koran itu mendapat tentangan PKI dan medianya,
Harian Rakyat. Mereka, menurut versi PKI, mau menjegal Soekarno
dengan berkedok mendukung Soekarno. Akhirnya banyak koran itu
diberangus (23 Februari 1965) dengan pidato Presiden Soekarno
langsung pada rapat umum HUT PWI di Senayan. Karena, walaupun
BPS sudah tiada, PWI mendesak Pemerintah Soekarno mencabut Surat
Izin Terbit surat kabar dan majalah yang dikuasai dan dipimpin
oknum BPS.
Tak jelas siapa pencetus pembentukan BPS. Juga tanggal berapa
persisnya didirikan. "BPS lahir di anura temanteman yang ketemu
di tengah jalan," tutur J.S. Hadis, bekas wartawan Berita
Indonesia, peserta pertemuan di Prcss Club tadi. Karena "BPS itu
lebih mirip semacam paguyuban," kata Hadis lagi, pembentukannya
tak perlu dilaporkan ke PWI waktu itu.
BPS tak memiliki AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah
Tangga), tapi punya badan pengurus. Menurut buku Sejarah Pers
Indonesia (oleh H. Soebagijo I.N., penerbit Dewan Pers 1977),
susunannya: Ketua Adam Malik Wakil Ketua B.M. Diah, Ketua Harian
Sumantoro (Berita Indonesia) almarhum, Wakil Ketua Harian Junus
Lubis (Warta Berita), Sekretaris Umum Drs. Asnawi Said
(almarhum) dan beberapa kepala biro, antara lain Zein Effendi SH
(Luar Negeri?.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini