Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bekas Orang-Orang Yang Dibreidel

Reuni bekas wartawan yang pernah bergabung dalam bps (badan pendukung soekarnoisme), 18 tahun yang lalu koran-koran mereka dicabut sit-nya, karena melawan PKI. (md)

27 November 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA kini berumur di atas 40. Berpakaian rapi, bahkan ada yang berdasi, mereka berkumpul di restoran Press Club, Jakarta. Semua mengaku sebagai bekas wartawan yang pernah bergabung dalam Badan Pendukung Soekarnoisme (BPS). Ada apa "Kita berkumpul tidak ada maksud lain, selain mau mengumpulkan data sejarah tentang kehidupan BPS," kata Harmoko, Ketua PWI Pusat, tuan rumah pertemuan pekan lalu itu. Data itu penting, katanya, bagi pertumbuhan sejarah PWI. Menurut dia, BPS melawan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang mau menguasai kehidupan pers Indonesia. Kini, 18 tahun kemudian, katanya, banyak yang bertanya, apa sebenarnya latar belakang berdirinya BPS. Dengan data yang terhimpun nanti PWI Pusat dan Dewan Pers akan membukukannya, mungkin terbit pada HUT PWI Februari nanti. Pertemuan hari Sabtu itu agaknya juga semacam reuni. Mereka bercerita bagaimana mereka bergerak melawan PKI di zaman (Nasakom) Orde Lama. PWI waktu itu dipimpin A. Karim D.P., Pemimpin Redaksi Warta Bhakti (oplah 150.000), yang juga terkena pengaruh PKI. Waktu itu, 1964, pengaruh PKI dan banyak ormasnya sedang berada dalam keadaan puncaknya. "Suasana (dulu) berada dalam pelukan PKI," kata Harmoko, 43 tahun. Hidajat Rahardjo, Pem-Red Revolusioner waktu itu, sempat diseret ke pcngadilan dan divonis 10 bulan, karena pemberitaan korannya yang menyinggung ucapan Ketua CC PKI D.N. Aidit tentang Pancasila. Menurut Aidit, Pancasila sebagai alat pemersatu tak diperlukan lagi, bila rakyat Indonesia sudah bersatu. Juga karena mengutip pidato K H. Sjaifuddin Zuhri bahwa konfrontasi dengan Malaysia sama dengan konfrontasi dengan PKI, pemimpin koran itu diseret ke pengadilan. Dalam kasus yang terakhir ini, Hidajat Rahardjo bahkan mendapat tekanan saksi Djoni Hendra Sitompul, Sekretaris PWI Jakarta, Penanggung Jawab Pancawarna, majalah kelompok Warta Bakti. Sofyan Lubis, wartawan Warta Berita waktu itu, termasuk di antara 25 wartawan BPS yang masuk daftar untuk diinterogasi Kejaksaan Jakarta. "Saya dianggap gembong BPS oleh Karim D.P.," tuturnya. Kini Sofyan Lubis adalah Redaktur Pelaksana Pos Kota pimpinan Harmoko. Karim D.P., dengan Warta Bhaktinya bersama Harian Rakyat (PKI), Suluh Indonesia (PNI), Bintang Timur, dan lain-lain, merupakan lawan BPS. Polemik tentang BPS dan Soekarnoisme berlangsung seru antara Harian Rakyat, organ PKI, dan Merdeka. Dan secara khusus Harian Rakyat menulis serial mengkritik tulisan Sayuti Melik alias Yuti, Belajar memahami Soekarnoisme yang kemudian dibukukan (BPS Aksi Reaksi) oleh PT Rakyat, milik PKI. Karim D.P. paling banyak disebut-sebut di pertemuan mereka di Press Club itu. Apa reaksinya? "Gerakan BPS hanya bersifat politis yang melibatkan para wartawan. Tak ada hubungannya dengan gerakan membela kebebasan pers," kata Karim D.P. BPS waktu itu menghimpun wartawan media cetak, radio dan televisi melakukan gerakan politis yang bertujuan, katanya lagi, "melakukan political reform dan social reforin. Jadi tak ada hubungannya dengan profesi kewartawanan." Menurut ceritanya, orang-orang BPS mendirikan badan itu unpa melapor ko PWI, tapi ke PNI (Partai Nasional Indonesia), yang waktu itu dipimpin Ali Sastroamidjojo sebagai Ketua Umum dan Ir. Soerachman sebagai Sekjennya. Waktu itu (Februari 1964) Karim D.P., katanya, berada di Lembang, Jawa Barat, bersama sejumlah tokoh PNI mengadakan sidang BPK (Badan Pekerja Kongres) PNI. Di situ dia konon melihat mereka datang melaporkan pembentukan BPS. Tapi "BPS adalah gerakan pers," kata Sayuti Melik yang tidak ikut mendirikan BPS itu, tapi "selalu diajak rapat-rapat." Karena itu, katanya lagi, walaupun setelah BPS dibubarkan Soekarno (17 Desember 1964), "saya yang paling lama diperiksa. Bahkan sampai 1 Oktober 1965 saya masih diperiksa." Menurut Zulharmans, Ketua PWI Jakarta Raya kini, BPS memang "gerakan politik" melalui pers. Tulisan Yuti, katanya, hanyalah jembatan untuk melawan PKI waktu itu. Yuti berhenti jadi Pem-Red Suluh Indonesia, karena tulisannya (Belajar Memabami Soekarnoisme) dinilai PNI bertentangan dengan ajaran Soekarno. PNI waktu itu sudah dipengaruhi PKI, menurut Yuti, karena "Sek-Jen PNI, Soerachman orang PKI." Dalam suatu pertemuan dengan Soekarno, kata Yuti, dia akhirnya mendapat restu Soekarno. Maka, sesudah keluar dari Suluh Indonesia, dan walaupun bukan untuk BPS, ia menulis lagi serial Memahami Soekarnoisme itu di Berita Indonesia. Kemudian lebih 50 koran, antara lain Merdeka, mengikuti jejak BI, memuat tulisan Yuti. Semua koran itu mendapat tentangan PKI dan medianya, Harian Rakyat. Mereka, menurut versi PKI, mau menjegal Soekarno dengan berkedok mendukung Soekarno. Akhirnya banyak koran itu diberangus (23 Februari 1965) dengan pidato Presiden Soekarno langsung pada rapat umum HUT PWI di Senayan. Karena, walaupun BPS sudah tiada, PWI mendesak Pemerintah Soekarno mencabut Surat Izin Terbit surat kabar dan majalah yang dikuasai dan dipimpin oknum BPS. Tak jelas siapa pencetus pembentukan BPS. Juga tanggal berapa persisnya didirikan. "BPS lahir di anura temanteman yang ketemu di tengah jalan," tutur J.S. Hadis, bekas wartawan Berita Indonesia, peserta pertemuan di Prcss Club tadi. Karena "BPS itu lebih mirip semacam paguyuban," kata Hadis lagi, pembentukannya tak perlu dilaporkan ke PWI waktu itu. BPS tak memiliki AD (Anggaran Dasar) dan ART (Anggaran Rumah Tangga), tapi punya badan pengurus. Menurut buku Sejarah Pers Indonesia (oleh H. Soebagijo I.N., penerbit Dewan Pers 1977), susunannya: Ketua Adam Malik Wakil Ketua B.M. Diah, Ketua Harian Sumantoro (Berita Indonesia) almarhum, Wakil Ketua Harian Junus Lubis (Warta Berita), Sekretaris Umum Drs. Asnawi Said (almarhum) dan beberapa kepala biro, antara lain Zein Effendi SH (Luar Negeri?.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus