Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Belajar hidup tanpa subsidi

Pencabutan Sertifikat Ekspor (SE) untuk tekstil dan pakaian jadi sebagai penyelamatan, setelah AS mengeluarkan peraturan denda cukai bagi eksportir yang diberi subsidi. Banyak pengusaha mengeluh. (eb)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BANYAK akal digunakan negeri Presiden Reagan ini untuk mengerem banjir barang impor, terutama dari sejumlah negara Asia. Tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia, misalnya, didakwa mendapat subsidi terselubung berupa sertifikat ekspor (SE) dan kredit ekspor (KE) berbunga rendah. Menurut rencana, Maret ini, bea masuk tambahan (countervailing duty) akan dikenakan atas kedua jenis mata dagangan itu, sebagai kompensasi pemberian subsidi tadi. Besarnya, konon, disebut antara 20% dan 27%. Bea masuk tambahan ini akan langsung dikenakan secara sepihak, tanpa harus ada pembuktian, karena Indonesia tidak ikut menandatangani ketentuan Code on Subsidies and Countervailing Duties pada Perjanjian Umum di bidang Perdagangan dan Tarif (GATT). Apa boleh buat, daripada hasil industri Indonesia tergusur dari pasar AS, pemerintah mau tak mau harus meneken sejumlah persetujuan semacam pengakuan dosa untuk menghambat pengenaan denda tadi. Di Washington, pada 28 Februari lalu, pemerintah menandatangani perjanjian bilateral dengan AS. Lalu di Jenewa, 4 Maret, pemerintah menandatangani ketentuan mengenai Code on Subsidies and Countervailing Duties, GATT. Dan sebagai konsekuensi penandatanganan itu, Indonesia harus mencabut fasilitas subsidi semacam SE dan KE untuk semua mata dagangan ekspor. Menurut Menteri Perdagangan Rachmat Saleh, penghapusan SE baru akan dilakukan 1 April 1986, sedangkan KE ditiadakan secara bertahap mulai 1 April 1987 hingga hilang sama sekali pada 1990. Dengan penghapusan kedua fasilitas itu, dia beranggapan bahwa pada akhirnya usaha ekspor harus dilakukan tanpa dorongan subsidi. "Ini dasar paling sehat jika ingin mengembangkan ekspor dalam jangka panjang," katanya. Pandangan semacam itu, tentu saja, disukai pihak Amalgamated Clothing and Textile Workers Union (ACTWU) dan International Ladies' Garment Workers Union (ILGWU). Dua organisasi buruh industri tekstil dan pakaian jadi inilah, yang beranggotakan 680 ribu pekerja (bukan dua juta seperti dikatakan beberapa pejabat AS), yang paling getol mengusulkan pengenaan bea masuk tambahan. Majikan mereka juga merasa terteror melihat kepesatan ekspor tekstil dan pakaian jadi, terutama dari Asia - yang dianggap jadi biang kerok kemunduran industri mereka. Ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia misalnya, naik tiga kali lipat dalam dua tahun terakhir ini. Sampai Oktober 1984 lalu, ekspor kedua jenis mata dagangan itu sudah mencapai US$ 212 juta, padahal untuk seluruh tahun 1983 nilai ekspornya hanya US$ 87 juta. Kenyataan itu, rupanya, cukup membikin nyali para buruh dan majikan di sana kebat-kebit. Nah, supaya keluhan mereka berbunyi, melalui American Textile Manufacturers Institute (ATMI) dan kedua organisasi buruh itu, mereka minta kantor pengacara Wilmer, Cutler & Pickering di Washington mengumpulkan fakta-fakta. Sebuah laporan tebal, bertanggal 20 Juli 1984, akhirnya bisa diserahkan kantor pengacara itu bagi kepentingan ketiga organisasl ini kepada Departemen Perdagangan. Pihak ATMI, ACTWU, dan ILGWU, demikian laporan itu, berkeyakinan bahwa pemerintah Indonesia memberikan bantuan cukup besar sejak masa pembuatan, produksi, sampai ekspor atas tekstil dan produk-produknya memasuki pasar AS. Mereka beranggapan, tindakan itu jelas melanggar pasal 303 dan 702 Tariff Act of 1930, dan karenanya tekstil dan pakaian jadi Indonesia harus dikenai bea masuk tambahan. Pemerintah Argentina, Malaysia, Peru, Portugal, Singapura, Sri Lanka, Muangthai, dan Turki juga dianggap melakukan pelanggaran serupa. Tekanan mereka lewat Departemen Perdagangan itu ternyata bisa juga memojokkan Indonesia. Sebab, sesudah SE nanti dihapus, pemberian kompensasi atas pengeluaran bea masuk dan pajak penjualan impor harus semata-mata didasarkan pada asas drawback murni - tanpa unsur subsidi sedikit pun. Semula memang, ketika SE mulai diperkenalkan, fasilitas itu diberikan hanya sebagai kompensasi atas pengeluaran bea masuk dan pajak penjualan impor. Karena banyak bahan baku pakaian jadi dan tekstil sulit diusut asal usulnya, maka pemerintah berusaha menyederhanakan kompensasi itu dengan sistem SE. Tentang KE sendiri, pemerintah baru memberikannya sesudah uang minyak tersedia melimpah. Suku bunga jenis kredit ini, pada 1982, ditentukan 6% dan 9% -sedangkan tingkat bunga rata-rata kredit modal kerja di pasar adalah 12,5%. Dengan memanfaatkan fasilitas ini, pengusaha jadi punya ruang gerak cukup untuk menekan biaya dana dari sejak mengumpulkan sampai mengapalkan barang ekspor mereka. Ketika penyalahgunaan KE muncul cukup deras, pemerintah kemudian berusaha mengetatkan persyaratannya. Secara umum bisa dikatakan, naiknya ekspor nonmigas Indonesia dalam dua tahun terakhir ini banyak ditolong oleh SE dan KE itu. "Kebijaksanaan pemberian kedua fasilitas itu adalah politik yang baik," kata Frans Seda ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (APIj. "Jangan timbul pikiran seolah-olah kita bersalah dengan politik SE dan KE itu," tambah bekas menteri keuangan itu kepada E.H. Kertanegara dari TEMPO. Amerika sendiri, kata dia, memberikan subsidi pada para petani kapas di sana. "Celakanya, kita butuh kapas mereka dan kita tak bisa berbuat apa-apa," ujarnya. Malang tak dapat ditolak, untung tak dapat diraih: fasilitas SE yang baru berumur enam tahun itu akan dicabut tahun depan. Banyak pengusaha, yang selama ini dimanja oleh fasilitas itu, mendadak bagai kena angin duduk. Seorang eksportir kain jenis polyester cotton (PC) terus terang menyebut kemungkinan usahanya bakal semaput jika tahun depan SE benar dihapuskan tanpa ada penggantinya. Berkat fasilitas itulah, untuk setiap yard kain PC yang diekspornya, pengusaha ini blsa mengantungi uang pengembalian bea masuk Rp 120. Pencabutan SE akan menyebabkan dia hanya menerima Rp 470 (di bawah harga lokal yang Rp 510) untuk setiap yard tekstil ekspornya. "Kalau pasar dalam negeri bagus, pencabutan SE tak jadi soal," katanya. Penyesalan serupa itu juga dikemukakan Faturachman, direktur utama PT Tira Fashion, sekalipun ekspor jin perusahaan itu lebih banyak ditujukan ke pasar Eropa Barat. Berkat SE itulah, yang diberikan antara Rp 400 dan Rp 1.000 per potong, perusahaan ini mengaku bisa menjajakan pakaian jadinya di bawah biaya produksi. Sulit bagi perusahaan ini untuk, misalnya, menjual celana di atas biaya produksi yang Rp 6.500. Karena pasar ekspor terancam penciutan, Tira belakangan lebih suka memusatkan perhatian ke pasar lokal. "Kalau ekspor merugi, buat apa dilakukan," katanya. Perubahan orientasi pasar kini juga tengah dilakukan PT Dan Liris (Batik Keris) di Solo. Perusahaan ini sekarang sedang berusaha mengalihkan pasar 2,5 juta yard kain PC, yang semula terjual di AS dalam setahun, ke sejumlah negara Eropa Barat dan Tlmur Tengah. Rencana penghapusan SE dan KE ini, boleh jadi, akan menyebabkan Dan Liris sulit menjual PC US$ 0,60 per yard di AS. Biaya produksi kain itu cukup mahal: US$ 0,50 per yard. Tingginya bunga bank dan masih dilakukannya pembelian kapas impor menyebabkan biaya produksi itu tidak bisa dibikin ramping. PT Fit-U Garment di Bandung malah mengaku tak akan bisa mengekspor pakaian jadi lagi karena pencabutan SE akan menyebabkan biaya produksi barang dagangan itu jadi tinggi. Berkat SE sebesar 15%--18%, perusahaan ini tahun 1984 bisa meningkatkan ekspornya jadi 337 ribu lusin, atau naik empat kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya. Bagi perusahaan ini, SE terasa besar manfaatnya mengingat hampir seluruh bahan baku yang dipergunakannya berasal dari dalam negeri yang sudah terkena bea masuk. Bermacam-macam keluhan dan penyesalan, hari-hari ini, akan banyak terdengar dari pengusaha tekstil dan pakaian jadi. Sekitar 600 ribu pekerja di sektor itu, mungkin, baru merasakan akibatnya tahun depan depan - dalam bentuk pembekuan gaji misalnya. Atau tahun ini juga? Siapa tahu. Pukulan semacam itu, tentu, tak akan terjadi jika struktur industri di sini tidak sama dengan struktur industri di negara pasar (pengimpor). Di Amerika, misalnya, pemerintah juga memberi perlindungan cukup baik bagi industri mobil, baja, kayu lapis, dan tembaga - di samping industri tekstil dan pakaian jadi yang umumnya sudah Jompo itu. Tapi agak aneh, industri kayu lapis, yang juga bakal terkena pencabutan SE, mengaku tidak terpukul benar dengan beleid itu. PT Kutai Timber Indonesia, misalnya, merasa tidak goyang jika SE sebesar 1,35% dicabut dari kantung bajunya. Sebab, fasilitas sebesar itu hanya mengurangi biaya sebesar Rp 24 untuk setiap lembar kayu lapis produksi KTI. Pengaruh pencabutan itu sebetulnya akan terasa kalau dilakukan dua tahun lalu, "Karena kami ketika itu memperoleh SE sebesar 40%," ujar Kristiyono Fajari, wakil manajer KTI. Harga kayu lapis sekarang sedang tertekan hebat. Perusahaan itu rata-rata hanya bisa menjual kayu lapisnya seharga Rp 2.000 setiap lembar untuk ketebalan 4 mm. Untungnya cukup tipis karena biaya produksinya ditaksir sudah mencapai Rp 1.900. "Kalau harga di pasar turun lagi, kami pasti akan rugi," tambah Kristiyono. Tekanan atas harga ekspor semacam itu luga dlrasakan para eksportir semen. Menurut Sudwikatmono, presiden direktur Grup Indocement, harga semen Indonesia sangat buruk di luar negeri: di Bangladesh hanya US$ 47 per ton (cif). Sedangkan di Hong Kong, Sri Lanka, India, dan Pakistan ratarata di bawah US$ 40. Bahkan di Brunei hanya US$ 32. Kata dia, idealnya harga semen itu adalah US$ 52. Karena itu, "Kalau keadaan pasar di luar negeri tidak berubah, pencabutan SE dan KE akan berakibat fatal bagi semen ekspor," katanya. Tapi bukan tak mungkin, demi mendorong ekspor semen,pemerintah tidak mencabut SE dan KE untuk barang dagangan ini - apalagi pasarnya sebagian besar bukanlah di AS. Alasan pemerintah melakukan pengecualian semacam itu, tampaknya, cukup kuat mengingat kapasitas terpasang pabrik semen sekarang terasa jauh berada di atas kebutuhan lokal. Pengecualian tampaknya perlu diberikan pula untuk komoditi tembakau, yang kini harganya dianggap kelewat tinggi di Bremen: sekitar DM 40 per pon. Pencabutan SE dan KE untuk tembakau tentu akan menendang naik harganya. "Kami akan makin sulit bersaing nanti," ujar Achmad Ismail, ketua Asosiasi Tembakau Indonesia. Jadi, bagaimana supaya bisa bersaing tanpa SE dan KE? Frans Seda menyarankan usaha meningkatkan daya saing itu mulai sekarang dilakukan dengan menekan blaya produksi (cost approach) - bukan lagi dengan cara menaikkan pendapatan (income approach) lewat SE. Kata dia, daya saing barang ekspor dari sini terasa lemah gara-gara para pengusaha dipaksa bekerja di lingkungan ekonomi berbiaya tinggi. Di situ, faktor-faktor penunjang produksi, seperti perbankan, angkutan, dan telekomunikasi, dilihatnya berjalan dan berusaha mencari untung sendiri-sendiri. Daryono Kertosastro, eksportir kopi, karet, dan cokelat, bahkan menilai harga sarana telekomunikasi, listrik, dan angkutan yang disediakan pemerintah kelewat mahal dibandingkan sarana serupa di sejumlah negara tetangga. Belum lama ini, tarif pemasangan telepon untuk Jakarta, misalnya, dinaikkan ongkosnya dari Rp 200 ribu jadi Rp 500 ribu. Sialnya lagi, untuk memindahkan sambungan lama, seperti dialami Daryono, ternyata tidak mudah. Dia, misalnya, diminta Perumtel membawa surat keterangan polisi untuk memindahkan sambungan teleponnya dari gedung Sarinah yang terbakar, ke gedung sebelahnya. Birokrasi yang berbelit-belit memang sudah sejak lama diakui pemerintah sebagai faktor penting, yang menyebabkan biaya pengusaha membesar. Untuk mengeluarkan dan mengurus pengapalan barang di pelabuhan, mereka sering harus melalui jalan yang cukup panjang. Seorang produsen makanan kaleng, misalnya, sampai pernah haru meniti selama sebulan penuh untuk melintasi pemeriksaan 19 meja Bea Cukai sebelum akhirnya bisa mengeluarkan barang impornya. Kapal juga sering tertunda berangkat hanya karena pejabat yang member clearance tidak berada di tempat. Ganjalan di pintu keluar masuk itu rupanya, sudah didengar pemerintah. Dalam waktu dekat ini, pihak Bea Cukai segera menyederhanakan prosedur penyelesaian dokumen ekspor impor. Jika sekarang penyelesaian dokumen di bidang perbendaharaan meliputi 27 meja, nantinya hanya 12 meja. Di bidang pemeriksaan, dari 16 meja akan diringkas jadi 10 meja. Waktu penyelesaian dokumen diusahakan akan dlperpendek dari sekitar enam jadi dua hari saja. "Kalau nanti sampai terjadi kelambatan lagi di Tanjung Priok, harap selidiki siapa yang menyebabkan kelambatan itu," ujar Menteri Keuangan Radius Prawiro, yang meninjau Priok pekan lalu. Supaya pengusaha tidak lagi kelewat banyak mengeluarkan biaya, mulai 1 April nanti, bea masuk barang-barang impor akan diturunkan tarifnya. Beleid baru itu dikeluarkan Menteri Radius sebagai kompensasi atas digantikannya Pajak Penjualan (PPn) Impor yang tarifnya rata-rata di bawah 10% dengan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang bertarif 10%. Fasilitas khusus, dengan menetapkan keringanan bea masuk di bawah tarif yang berlaku, otomatis sudah tidak akan dikeluarkan lagi. A. Sukandar, direktur komersial PT Borsumij Wehry Indonesia, menilai penurunan tarif bea masuk itu akan membuka kesempatan pengusaha untuk menekan biaya produksi. Pengekspor makanan kaleng ini banyak mengimpor bahan baku, seperti saus tomat dalam pasta, bahan-bahan kimia, dan lembaran baja, yang terkena PPn impor dan bea masuk (kecuali untuk lembaran baja). Hasil ekspornya semacam jamur kalengan mendapat SE 0,46%, ikan tuna 0,41%, masakan Indonesia 0,46%, dan ikan sarden 2,31%. Apakah pencabutan SE itu nantinya bisa dikompensasikan dengan usaha menekan biaya produksi? "Wah, saya tidak bisa berkomentar. Sebab, SE yang kami peroleh nilainya kecil sekali," ujar Sukandar. Kendati demikian, perusahaan distribusi terbesar ini kinl terpaksa harus bersiap-siap menyongsong pencabutan SE dan KE itu dengan melakukan tindakan efisiensi ke luar dan ke dalam. Dengan memperketat anggaran belanja serta dengan lebih memperhatikan jadwal keberangkatan kapal. Langkah seperti itu juga dilakukan sejumlah industri kayu lapis. Mereka, misalnya, kini sedang berusaha menggantikan BBM untuk menggerakkan agregat dengan hmbah kayu yang selama ini terbuang. Tingkat pemanfaatan kayu gelondong untuk kayu lapis juga akan ditingkatkan, dari yang kini sekitar 60% jadi sekitar 80% untuk setiap meter kubik. Tentu saja, kondisi perekonomian di luar perusahaan besar sekali peranannya dalam menunjang segala tindakan efisiensi itu. Usaha menekan biaya itu jelas tidak akan menunjukkan hasil banyak jika pemerintah masih banyak melakukan campur tangan baik dalam bentuk pemberian subsidi sarana maupun pembiayaan untuk menunjang sektor swasta. Pengalaman menunjukkan bahwa pencabutan sebagian subsidi itu, seperti pengurangan subsidi kredit modal kerja, ternyata nyaris membikin para swasta itu pada mabuk. Jadi, memang serba sulit ngemong swasta di sini. Eddy Hawanto Laporan Suhardjo, Budi Kusumah, dan Praginanto, Jakarta.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus