Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Sepuluh

Setelah petisi para pengusaha tekstil AS yang mengharuskan tekstil dan pakaian jadi dari Indonesia dikenai denda cukai. Karena dianggap mendapat subsidi DPT diselamatkan dengan dihapuskannya se. (eb)

16 Maret 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEBUAH mala petaka hampir menimpa ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia ke AS, yang belakangan ini sedang melaju pesat. Hanya karena tanda tangan Menteri Rachmat Saleh yang berkunjung ke negeri itu dua pekan lalu, pemerintah AS tak jadi melakukan cukai denda pada ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia. Sementara itu, Sri Lanka dan Argentina ternyata bernasib lebih buruk. Departemen perdagangan negeri adidaya ini beranggapan, kedua negara itu melakukan subsidi pada ekspornya, sehingga perlu dihantam cukai denda (Countervailing duties). Ribut-ribut ini sebenarnya dimulai dengan lahirnya petisi 20 Juli 1984 di Washington. Ketika itu, kantor pengacara Wilmer, Cutler & Pickering bertindak mewakili American Textile Manufacturers Institute (ATMI), Amalgated Clothing and Textile Workers Union (ACTWU), dan International Ladies' Garment Worker Union (ILGWU) untuk menyampaikan petisi ke departemen perdagangan AS. Isi petisi adalah tuduhan bahwa sembilan negara memberi subsidi pada ekspor tekstil dan pakaian jadinya ke AS, sehingga kepadanya harus dikenakan cukai denda. Memang dalam hukum AS terdapat UU yang ditetapkan 55 tahun silam, yang menetapkan cukai denda sebesar subsidi yang diberikan pada barang impor yang mendapat subsidi. Maksudnya jelas: Melindungi industri dalam negeri AS dari persaingan tak sehat. Tampaknya, ATMI, yang mewakili 85% produsen tekstil AS serta ACTWU dan ILGWU yang masing-masing mengaku memiliki 400 ribu dan 280 ribu buruh tekstil sebagai anggotanya itu, merasa terancam oleh derasnya impor tekstil dan pakaian jadi. Bayangkan, tahun 1983 impor ini mampu mencaplok 18% dari pasar yang ada, yang berarti kenaikan 28,8% dibanding tahun sebelumnya. Padahal, untuk tahun 1984 kenaikan diperkirakan bisa mencapai 42%. Tak heran jika ketiga organisasi ini pun berpadu membangunkan kembali UU yang dibuat di zaman malaise itu. "Soalnya, kami menganggap impor itu telah memojokkan dan dilakukan dengan curang," kata Chris Lipsett, pengacara dari Wilmer, Cutler & Pickering yang mengurus kasus Indonesia, dalam suatu percakapan lewat telepon dengan TEMPO. Petisi ini memang diajukan untuk setiap negara secara terpisah, dan dilengkapi dengan bukti yang diambil dari majalah, laporan kedutaan AS, ataupun brosur. Misalnya saja brosur BKPM. Maka, tak mengherankan jika beberapa bukti yang diajukan sudah kedaluwarsa. Misainya saja soal fasilitas pembebasan pajak bagi penanam modal di sektor tekstil, ataupun bebas pajaknya dividen saham perusahaan ml blla mcmasyarakat, ternyata dlajukan sebagai bukti bahwa Indonesia memberikan subsidi pada industri tekstil. Padahal, dengan berlakunya UU Pajak Penghasilan 1984 fasilitas-fasilitas inl tak berlaku lagi. "Soalnya, kami memang hanya mengumpulkan bukti yang ada di sini," kata Lipsett dari Washington. Indonesia dianggap melakukan 10 cara subsidi terselubung dalam ekspor tekstil dan pakaian jadinya ke AS. Keberatan AS tentang subsidi bahan baku, terutama kapas misalnya, lain lagi. Maklum, sebagian kapas itu dibeli Indonesia dari AS, tempat para petani kapas di sana mendapat subsidi dari pemerintahnya. Demikian pula tentang kredit lunak Bapindo sebagai subsidi, sementara US Exim Bank melakukan hal yang sama. Ada juga keberatan AS yang beralasan. Keputusan pemerintah Rl untuk menghapuskan SE, April tahun depan, dan juga penghapusan kredit ekspor dalam tempo lima tahun, sebenarnya bisa dianggap semacam pengakuan dosa. Langkah ini, agaknya, memang merupakan jalan terbaik yang dapat diambil untuk menyelamatkan ekspor tekstil dan pakaian jadi Indonesia ke Amerika Serikat. "Soalnya, kalau dikenakan denda cukai, kita pasti langsung mati," kata seorang pengusaha pakaian jadi di Jakarta kepada TEMPO. Padahal, dengan menjanjikan penghapusan SE dan KE ini serta penandatanganan perjanjian Code on Subsidies and Countervailing Duties (CSCD) oleh Indonesia, 4 Maret lalu, pelaksanaan denda cukai sepihak bisa dihindarkan. Bahkan pihak pembuat petisi jadi harus membuktikan bahwa ekspor Indonesia benar-benar merugikan industri setempat sebelum dapat meminta pemerintah AS melakukan penyelidikan atas "dosa" yang dilakukan Indonesia. Tentu saja kelitan lndonesia ini tak disukai penyusun petisi. "Saya dan ATMI kecewa karena seharusnya perjanjian bilateral tidak dapat menghentikan proses legal yang sedang berlangsung," kilah Lipsett. Apakah ini berarti ATMI dkk. akan berusaha membuktikan bahwa ekspor Indonesia itu merugikan industri setempat? "Kami belum memutuskannya, tapl kami menganggap prosedur ini belum selesai," jawab Lipsett. Agaknya tidak mudah untuk membuktikan hal tersebut mengingat jumlah ekspor dari Indonesia cuma di bawah dua persen dari pasar yang ada. Kalaupun pihak ATMI dkk. dapat membuktikan hal ini, tidaklah berarti bahwa nasib ekspor tekstil Indonesia berakhir. Dalam ketentuan hukum yang berlaku, departemen perdagangan AS mempunyai hak menunda pelaksanaan cukai denda ataupun menghentikan penyelidikannya dengan syarat: Negara yang diselidiki itu berjanji mencabut semua subsidi ekspornya atau menghentikan ekspornya ataupun membatasl ekspornya. Ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa Indonesia akan memanfaatkan ketentuan ini. "Karena Indonesia pendatang baru dan penduduknya banyak, pada prinsipnya pemerintah AS tidak keberatan dengan kenaikan ekspor dari Indonesia, asalkan kenaikan itu dalam tingkat yang wajar," kata seorang pejabat tinggi AS kepada TEMPO. Masalahnya adalah: Apakah pengusaha tekstil dan pakaian jadi Indonesia dapat meningkatkan ekspornya tanpa subsidi pemerintah. Bambang Harymurti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus