Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta -
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah gagal melunasi utang kepada PT Indo Bharat (IBR).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kabar mengenai kondisi Sritex yang berada di ambang kebangkrutan sebenarnya sudah ramai dibicarakan sejak pertengahan tahun lalu. Pada 24 Juni 2024, Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, mengungkapkan bahwa pendapatan Sritex menurun akibat dampak pandemi Covid-19 serta persaingan industri global. Bahkan, ia menambahkan, pandemi dan kompetisi dagang tersebut telah menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan.
“Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan gangguan supply chain (rantai pasok) dan juga penurunan ekspor, karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di kawasan Eropa dan Amerika Serikat,” ucap Welly.
Dia juga menjelaskan bahwa penurunan pendapatan perusahaan dilatarbelakangi oleh adanya suplai tekstil yang berlebihan dari Cina. Akibatnya, terjadi praktik dumping (menjual barang di luar negeri dengan harga lebih murah), khususnya tekstil yang menargetkan negara di luar Eropa dan Cina.
1. Pelonggaran Impor Produk Tekstil Melalui Permendag
Regulasi terbaru melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memperbesar kran impor produk tekstil ke Indonesia. Akibatnya, pasar domestik dibanjiri produk tekstil impor, baik yang legal maupun ilegal. Danang mencatat, tanpa adanya pertimbangan teknis (pertek) yang sebelumnya diatur dalam regulasi, produk tekstil asing semakin mudah memasuki pasar Indonesia. “Ketika itu terjadi, kita bisa bayangkan sebulan bisa 10.000 sampai 20.000 kontainer masuk ke Indonesia dalam waktu yang sangat cepat,” ujarnya, menyoroti ancaman dari kebijakan impor yang terlalu longgar.
2. Maraknya PHK di Industri Tekstil
Berdasarkan data yang diterima API, setidaknya 13.800 pekerja di industri tekstil telah mengalami PHK. Meskipun angka ini belum bisa dipastikan secara akurat, fenomena ini menjadi kenyataan yang memprihatinkan. Menurut Danang, gelombang PHK ini merupakan dampak langsung dari pelonggaran impor yang membuat produk-produk impor menguasai pasar domestik.
3. Penumpukan Produk Tekstil Impor di Pasar Domestik
Importasi barang-barang tekstil dan garmen impor, baik legal maupun ilegal, telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Puncaknya terjadi pada tahun 2023, dengan penumpukan sisa barang-barang impor yang menyebabkan pasar domestik mengalami kejenuhan. Produk-produk impor yang tersisa ini dipasarkan ke masyarakat, namun tidak diimbangi dengan daya beli yang memadai.
4. Oversupply Produk Tekstil Cina Akibat Pembatasan Pasar di AS dan Eropa
Cina tengah menghadapi masalah oversupply produk tekstil dan garmen karena adanya pembatasan dagang dari pasar Amerika dan Eropa. Akibatnya, produk-produk ini dialihkan ke Indonesia, yang terikat dalam kerja sama Asia Pacific Trade Agreement (APTA) dengan Cina. Selain itu, Cina juga aktif menggelar eksibisi di Indonesia sebagai strategi untuk memasukkan produk-produk mereka ke pasar domestik.
5. Impor Ilegal yang Tidak Tercatat
Maraknya praktik dumping atau penjualan barang impor dengan harga murah menambah tantangan bagi industri tekstil Indonesia. Selain itu, adanya barang impor ilegal yang tidak tercatat juga memperburuk kondisi. Berdasarkan data Trade Map, pada 2021 dan 2022 tercatat adanya impor tekstil dari Cina yang tidak tercatat di Indonesia, dengan nilai mencapai miliaran dolar AS. Hal ini membuat produk lokal kalah bersaing di pasar dalam negeri, yang pada akhirnya menekan produktivitas dan pendapatan produsen lokal.
MYESHA FATINA RACHMAN I HAN REVANDA PUTRA I KORAN TEMPO I HENDRIK KHOIRUL MUHID
Pilihan editor: