Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Bercermin Sritex Pailit, Inilah 5 Penyebab Industri Tekstil Indonesia Kolaps

Pailitnya Sritex menunjukkan industri tekstil di Indonesia tengah menghadapi tantangan besar yang berpotensi membuat sektor ini semakin terpuruk.

1 November 2024 | 10.20 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sritex tercatat beberapa kali meraih penghargaan MURI seperti Pelopor dan Penyelenggara Penciptaan Investor Saham Terbesar Dalam Perusahaan pada 2015. Sebanyak 30 ribu karyawan Sritex mencatatkan rekor MURI untuk jumlah peserta terbanyak dalam penyuluhan narkoba yang diadakan oleh satu perusahaan yang digelar dalam rangka HUT Sritex ke-50 dan HUT RI ke-71. Selanjutnya pada 2019, sebanyak 38 ribu karyawan Sritex Grup melakukan kerja bakti massal untuk membersihkan lingkungan hingga mencetak rekor MURI baru untuk Kerja Bakti di Lingkungan Perusahaan oleh Karyawan Terbanyak yang digelar dalam rangka menyambut HUT RI ke-74 dan HUT Sritex ke-53. Dok. Sritex

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta -

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, JAKARTA - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) resmi dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang setelah gagal melunasi utang kepada PT Indo Bharat (IBR).

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kabar mengenai kondisi Sritex yang berada di ambang kebangkrutan sebenarnya sudah ramai dibicarakan sejak pertengahan tahun lalu. Pada 24 Juni 2024, Direktur Keuangan Sritex, Welly Salam, mengungkapkan bahwa pendapatan Sritex menurun akibat dampak pandemi Covid-19 serta persaingan industri global. Bahkan, ia menambahkan, pandemi dan kompetisi dagang tersebut telah menyebabkan penurunan pendapatan yang signifikan.

“Kondisi geopolitik perang Rusia-Ukraina serta Israel-Palestina menyebabkan gangguan supply chain (rantai pasok) dan juga penurunan ekspor, karena terjadi pergeseran prioritas oleh masyarakat di kawasan Eropa dan Amerika Serikat,” ucap Welly. 

Dia juga menjelaskan bahwa penurunan pendapatan perusahaan dilatarbelakangi oleh adanya suplai tekstil yang berlebihan dari Cina. Akibatnya, terjadi praktik dumping (menjual barang di luar negeri dengan harga lebih murah), khususnya tekstil yang menargetkan negara di luar Eropa dan Cina.

1. Pelonggaran Impor Produk Tekstil Melalui Permendag
Regulasi terbaru melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor memperbesar kran impor produk tekstil ke Indonesia. Akibatnya, pasar domestik dibanjiri produk tekstil impor, baik yang legal maupun ilegal. Danang mencatat, tanpa adanya pertimbangan teknis (pertek) yang sebelumnya diatur dalam regulasi, produk tekstil asing semakin mudah memasuki pasar Indonesia. “Ketika itu terjadi, kita bisa bayangkan sebulan bisa 10.000 sampai 20.000 kontainer masuk ke Indonesia dalam waktu yang sangat cepat,” ujarnya, menyoroti ancaman dari kebijakan impor yang terlalu longgar.

2. Maraknya PHK di Industri Tekstil
Berdasarkan data yang diterima API, setidaknya 13.800 pekerja di industri tekstil telah mengalami PHK. Meskipun angka ini belum bisa dipastikan secara akurat, fenomena ini menjadi kenyataan yang memprihatinkan. Menurut Danang, gelombang PHK ini merupakan dampak langsung dari pelonggaran impor yang membuat produk-produk impor menguasai pasar domestik.

3. Penumpukan Produk Tekstil Impor di Pasar Domestik
Importasi barang-barang tekstil dan garmen impor, baik legal maupun ilegal, telah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Puncaknya terjadi pada tahun 2023, dengan penumpukan sisa barang-barang impor yang menyebabkan pasar domestik mengalami kejenuhan. Produk-produk impor yang tersisa ini dipasarkan ke masyarakat, namun tidak diimbangi dengan daya beli yang memadai.

4. Oversupply Produk Tekstil Cina Akibat Pembatasan Pasar di AS dan Eropa
Cina tengah menghadapi masalah oversupply produk tekstil dan garmen karena adanya pembatasan dagang dari pasar Amerika dan Eropa. Akibatnya, produk-produk ini dialihkan ke Indonesia, yang terikat dalam kerja sama Asia Pacific Trade Agreement (APTA) dengan Cina. Selain itu, Cina juga aktif menggelar eksibisi di Indonesia sebagai strategi untuk memasukkan produk-produk mereka ke pasar domestik.

5. Impor Ilegal yang Tidak Tercatat
Maraknya praktik dumping atau penjualan barang impor dengan harga murah menambah tantangan bagi industri tekstil Indonesia. Selain itu, adanya barang impor ilegal yang tidak tercatat juga memperburuk kondisi. Berdasarkan data Trade Map, pada 2021 dan 2022 tercatat adanya impor tekstil dari Cina yang tidak tercatat di Indonesia, dengan nilai mencapai miliaran dolar AS. Hal ini membuat produk lokal kalah bersaing di pasar dalam negeri, yang pada akhirnya menekan produktivitas dan pendapatan produsen lokal.

MYESHA FATINA RACHMAN I HAN REVANDA PUTRA I KORAN TEMPO I HENDRIK KHOIRUL MUHID 
Pilihan editor: 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus