Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Harta Fakir Miskin

Pemerintah ingin sepenuhnya mengontrol pengelolaan zakat. Lembaga amil zakat partikelir terancam.

6 September 2010 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGENDA ketiga Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Gedung Nusantara II Senayan, Jakarta, Selasa siang pekan lalu, berlangsung mulus: tak ada interupsi, tak ada pembacaan pendapat fraksi. Agendanya meminta fraksi menyampaikan pandangan dan mengambil keputusan terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pengelolaan Zakat, Infak, dan Sedekah. Rancangan ini inisiatif Komisi VIII, yang membidangi persoalan keagamaan.

Sidang diikuti 403 dari 560 anggota Dewan. Wakil Ketua DPR Anis Matta, yang memimpin sidang, melontarkan tawaran. ”Apakah pandangan fraksi dibacakan di depan sidang atau mereka menyerahkan naskah pandangannya ke pimpinan sidang?” Pada hari ke-21 Ramadan, anggota Dewan tampaknya sudah kehabisan tenaga. Selain karena berpuasa, energi mereka terkuras setelah mengikuti dua sidang lain sejak pagi hari. Walhasil, para wakil rakyat memilih pandangan fraksi tak perlu dibacakan. ”Kalau begitu, diserahkan langsung saja ke pimpinan,” ujar Anis.

Satu per satu wakil fraksi menyerahkan pandangan tertulisnya. H. M. Busro mewakili Fraksi Partai Golkar. Fraksi PDI Perjuangan mengutus Inna Amania, dan Partai Keadilan Sejahtera diwakili Rahman Amin. Fauzan Syaie menyerahkan naskah pandangan Fraksi Partai Amanat Nasional, disusul Muhammad Arwani Thomafi dari Fraksi Persatuan Pembangunan dan Ali Maschan Musa dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa. Setelah itu, Lukman Hakim dari Fraksi Gerindra menyusul, diikuti Soemintarsih Moentoro dari Fraksi Partai Hanura. Terakhir Gondo Radityo Gambiro dari Fraksi Partai Demokrat.

Sidang paripurna memberikan mandat kepada anggota Dewan agar segera membahas rancangan undang-undang zakat baru yang lebih komprehensif. Anggota Komisi Agama, Zainun Ahmadi, mengatakan bahwa Dewan dan pemerintah segera membahas lebih dalam rancangan ini. Apalagi, kata dia, ”Dewan sudah memasukkannya dalam program legislasi nasional 2010.”

Sebenarnya, panitia kerja Komisi Agama tentang pengelolaan zakat sudah menyelesaikan laporannya pada pertengahan Juni lalu. Panitia yang terbentuk pada April lalu itu telah menggelar rapat dengar pendapat dengan sejumlah lembaga pemerintah seperti Kementerian Agama, Kementerian Keuangan, dan Kementerian Dalam Negeri. Panitia juga menggelar rapat dengar pendapat umum dengan sejumlah organisasi seperti Nahdlatul Ulama, Muhammadiyah, Persis, dan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Ada juga kunjungan ke Kalimantan Timur, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan.

Anggota Dewan tampaknya bersemangat mengusulkan sendiri Rancangan Undang-Undang Zakat. Semula rancangan ini hanya revisi terhadap Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Ternyata draf yang beredar bukan revisi, melainkan rancangan undang-undang pengelolaan zakat yang baru sama sekali. Pendorong utama revisi ini tak lain lembaga-lembaga amil zakat partikelir dan lembaga pengelola zakat milik organisasi massa Islam.

Mereka menganggap undang-undang zakat lama sangat lemah sebagai payung hukum pengelolaan dan pengawasan dana zakat. Regulasi zakat lama juga rancu karena mengatur peran ganda pemerintah. Selain menjadi regulator, pemerintah bertindak sebagai pengawas dan operator—pengelola dana zakat lewat Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) dan badan amil zakat daerah (Bazda).

Desakan revisi sebenarnya sudah bergulir sejak tiga tahun lalu. Tapi rancangan perubahan Undang-Undang Zakat itu mengendap begitu saja di DPR. Periode pembahasannya habis sehingga harus menunggu anggota Dewan baru hasil Pemilu 2009. ”Saat itu fokus fraksi ke pemilihan umum. Selain itu, anggaran belum cair,” ujar Zainun.

Yang menjadi masalah, ada dua draf yang muncul. Satu versi DPR dan versi Kementerian Agama yang mewakili pemerintah. Draf versi pemerintah, kata sumber Tempo, tak berubah sejak 2007 sampai sekarang. ”Konseptornya Muchtar Zarkasih, mantan Kepala Biro Hukum Kementerian Agama.” Dalam dua draf tersebut tampak jelas pertarungan antara Dewan, organisasi massa serta lembaga amil zakat partikelir, dan pemerintah. Dewan ingin ada pemisahan antara regulator (pengawas) dan operator (pengelola zakat). Dewan juga akan membentuk badan baru bernama Badan Pengelola Zakat, Infak, dan Sedekah, yang berpotensi menghilangkan Baznas.

Draf milik Dewan Perwakilan Rakyat juga berusaha mengakomodasi lembaga amil zakat yang selama ini sudah berdiri. Misalnya, lembaga amil zakat yang berinduk pada organisasi massa Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, serta lembaga amil zakat swasta seperti Dompet Dhuafa dan Rumah Zakat.

Sebaliknya, Kementerian Agama ngotot mensentralisasi dan mengontrol pengelolaan zakat sepenuhnya. Misalnya, pemerintah berwenang membentuk badan pengelola zakat di tingkat nasional hingga kota-kabupaten. Zakat itu juga wajib dikoordinasi dan dikelola negara oleh Baznas atau Bazda. Lembaga amil zakat partikelir dan masyarakat bisa mengumpulkan zakat, tapi dilarang mengelolanya, apalagi menyalurkan sendiri dana umat tersebut.

Direktur Jenderal Bimbingan Islam Kementerian Agama Nazaruddin Umar mengatakan lembaga amil zakat dibentuk oleh negara untuk kepentingan masyarakat. Pernyataan Nazaruddin ini diperkuat oleh Muchtar Zarkasih, ketua tim interdepartemen pemerintah. Muchtar mengatakan draf yang ia siapkan sesuai dengan Al-Quran dan sunah. Tidak ada satu pun ayat dalam Quran maupun hadis Nabi yang membolehkan masyarakat mengelola zakat. ”Jika masyarakat berebut mengelola zakat, bisa terjadi kekacauan,” katanya. ”Padahal zakat itu milik fakir miskin.” Kini Muchtar adalah anggota Dewan Pengawas Baznas.

Muchtar menuding draf milik Dewan Perwakilan Rakyat ini hanya ingin mempertahankan lembaga amil zakat milik partai. Ia mengatakan regulator zakat ada di tangan pemerintah. Ia mencontohkan, di Singapura—negeri yang penduduk muslimnya hanya 15 persen—pengelolaan zakat dilakukan oleh Majelis Ugama Islam yang dibentuk pemerintah. Tugasnya mengurusi kepentingan umat Islam termasuk zakat.

Sebaliknya, Ketua Presidium ICMI Pusat, Azyumardi Azra, menganggap draf pemerintah menghilangkan sejarah lembaga amil zakat milik organisasi Islam dan masjid atau lembaga swadaya masyarakat filantropi Islam yang sudah ada sebelumnya. ”Pengelolaan zakat oleh negara sangat berbahaya,” katanya. Azyumardi khawatir, jika zakat sepenuhnya dikelola pemerintah, sumber dana organisasi Islam dan masjid akan berkurang.

Tarik-ulur antara Dewan, lembaga amil zakat partikelir plus organisasi massa, dan pemerintah tak terhindarkan. Pemerintah, kata sumber Tempo tadi, terpojok, terutama setelah Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah ikut protes. Dua organisasi massa Islam terbesar di Tanah Air ini khawatir lembaga amil zakat miliknya kehilangan peran dalam mengelola zakat. Belakangan, ujar dia, Kementerian Agama mengakomodasi kepentingan organisasi massa Islam itu. Lembaga amil zakat milik organisasi massa Islam akan dibolehkan mengelola zakat. ”Itu akan dibawa ke DPR,” ujarnya.

Kini yang masih ketar-ketir adalah lembaga amil zakat swasta. Sampai sekarang belum ada tanda-tanda Kementerian Agama rela mengizinkan mereka ikut mengelola dan mendistribusikan zakat.

Sunudyantoro, Padjar Iswara, Agoeng Wijaya

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus