Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KONSEP amendemen zakat itu tampaknya akan hidup kembali setelah mati suri selama tiga tahun. Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat di Senayan, Jakarta, Selasa pekan lalu, sepakat melanjutkan pembahasan regulasi pengganti Undang-Undang Zakat Nomor 38 Tahun 1999. Targetnya kelar tahun ini. ”Karena sudah masuk program legislasi nasional, Undang-Undang Zakat ini harus bisa dirampungkan,” kata politikus dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Zainun Ahmadi, kepada Tempo pekan lalu.
Amendemen diperlukan pemerintah. Bagi Kementerian Agama, regulasi lama dirasakan sangat lemah sebagai payung hukum pengelolaan dan pengawasan dana zakat. ”Mudah-mudahan pembahasannya bisa cepat,” kata Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Didin Hafiduddin. Ia berharap regulasi ini akan mengoptimalkan pengumpulan dana zakat yang selama ini masih sangat minim.
Lihat saja angka di bawah ini. Sampai akhir 2009, penerimaan zakat harta (maal) dan fitrah nasional hanya Rp 1,2 triliun. Bandingkan dengan penerimaan zakat di Arab Saudi yang rata-rata bisa mencapai Rp 1.000 triliun setahun. Padahal potensi zakat yang bisa dikumpulkan dari umat Islam di Indonesia dan badan-badang hukum—institusi atau lembaga pemerintah dan korporasi—cukup besar. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, memperkirakan zakat nasional bisa mencapai Rp 19 triliun setahun.
Menurut Ketua Asosiasi Forum Zakat Ahmad Juwaini, penerimaan zakat di Indonesia bisa lebih besar lagi dengan acuan data wajib pajak. Anggota Dewan Pertimbangan Baznas, Djamal Doa, menyimpulkan potensi dana zakat nasional sekitar Rp 90 triliun. Angka ini mirip perkiraan Islamic Research and Training Institute. Lembaga penelitian milik Bank Pembangunan Islam itu mengkalkulasi potensi zakat di Indonesia 1,7-2 persen dari produk domestik bruto Indonesia yang besarnya sekitar Rp 6.500 triliun. Artinya, bisa mencapai Rp 100 triliun. ”Sayangnya, jarak antara potensi dan realisasi penerimaan zakat masih jauh,” kata Ahmad.
Minimnya perolehan zakat, bagi Ahmad Juwaini, juga terjadi lantaran pengurang pajak belum menjadi insentif bagi masyarakat membayar zakat. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan, pembayaran zakat memang bisa menjadi pengurang pembayaran pajak. Tapi, menurut Ahmad, nilai pengurangnya sangat kecil lantaran hanya diperhitungkan pada penghasilan kena pajak. Seharusnya zakat diperhitungkan sebagai kredit pajak seperti di Malaysia. Tapi di Indonesia, pengeluaran dan pendapatan dihitung dulu sampai menghasilkan sisa pendapatan bersih. Baru pendapatan neto ini dikurangkan dengan pembayaran zakat. ”Meski, misalnya, sudah bayar zakat Rp 1 juta, paling pengurang pajaknya tak sampai Rp 200 ribu,” ujar Ahmad.
Dalam Rancangan Undang-Undang Zakat yang disusun Kementerian Agama, kredit pajak diusulkan sebagai insentif bagi pembayar zakat. Tapi usul ini tampaknya akan membentur karang. Ketua Program Studi Ekonomi Syariah Institut Pertanian Bogor Irfan Sauqi Beik mengungkapkan sekitar dua bulan lalu para pengurus Baznas dan sejumlah akademisi bertemu dengan pemimpin Direktorat Jenderal Pajak, yang diwakili Sekretaris Direktur Jenderal Pajak Djonifar Abdul Fatah. Tapi, kata Irfan, kantor pajak belum memberikan sinyal positif. ”Mereka kelihatannya keberatan,” ujarnya kepada Tempo di Jakarta pekan lalu.
Perkiraan Irfan tampaknya benar. Direktur Jenderal Pajak Mochammad Tjiptardjo menolak ide zakat dijadikan pengurang pajak. ”Secara pribadi, saya kurang sependapat dengan ide itu dimasukkan ke dalam RUU Zakat,” kata Tjiptardjo, dua pekan lalu. Alasannya, Undang-Undang Perpajakan sudah mengakomodasi kewajiban membayar zakat. Pun zakat sebagai kewajiban religius, bukan kewajiban bernegara. Zakat dan pajak, bagi Tjiptardjo, dua entitas berbeda sehingga harus ditarik secara terpisah. ”Zakat urusan manusia dengan Tuhan,” ujarnya.
Menurut Irfan, Direktorat Jenderal Pajak khawatir bila zakat kredit pajak disetujui, penerimaan negara akan berkurang. Padahal, menurut pengalaman di Malaysia, ada korelasi positif antara zakat dan pembayaran pajak. ”Pembayaran zakat naik, penerimaan pajak malah melesat,” katanya. Itu karena nomor pokok wajib zakat bisa digunakan pemerintah untuk menagih pajak. ”Biasanya orang bayar zakat jujur. Datanya lengkap. Itu bisa jadi dasar mengenakan pajak.”
Mengoptimalkan rukun Islam keempat itu untuk mengentaskan masyarakat miskin di Indonesia masih jauh panggang dari api. Realisasi penerimaan zakat nasional masih sangat kecil.
Ahmad Juwaini tak menampik fakta ini. ”Belum bisa, karena kebijakan perekonomian masih menjadi kontributor utama untuk mengatasi kemiskinan,” katanya. Menurut Irfan Sauqi Beik, kontribusi zakat mengatasi kemiskinan baru 17-18 persen. ”Tapi itu cukup bagus,” ujarnya.
Menurut Direktur Utama Indonesia Magnificence of Zakat Nana Mintarti, pembayaran zakat masih bersifat karitatif sehingga belum mampu memberdayakan perekonomian rakyat. Para muzaki, wajib zakat, menilai zakat itu untuk keperluan konsumtif, bukan untuk kegiatan produktif. Bahkan hanya sedikit lembaga amil zakat yang menyalurkan zakatnya ke usaha produktif, seperti berdagang dan memproduksi barang. ”Sekitar 60 persen masih disalurkan untuk keperluan konsumtif kaum duafa (tak mampu),” ujarnya.
Mayoritas lembaga amil zakat di Tanah Air masih kesulitan mengelola dana zakat untuk keperluan produktif. Sikap amatir dan potensi penyimpangan bisa berkurang bila Undang-Undang Zakat baru bisa disahkan. ”Akan ada lembaga yang mengawasi lebih ketat,” ujar Nana. Payung hukum zakat ini bisa membuat kelembagaan zakat semakin kuat, profesional, dan terkoordinasi. Dengan regulasi baru, pengelola zakat akan semakin hati-hati dan transparan. ”Tapi pemerintah dan Baznas tak usah mengelola zakat, cukup menjadi regulator saja,” kata Nana.
Beda persepsi ihwal pengelolaan zakat inilah yang masih menggantung. Dewan ingin ada pemisahan antara regulator atau pengawas dan operator zakat. Para politikus Senayan akan membentuk pengelola bernama Badan Pengelola Zakat, Infak, dan Sedekah, yang berpotensi menghilangkan Baznas. Sebaliknya, pemerintah ngotot mensentralisasi pengelolaan zakat. Zakat wajib dikelola negara melalui Baznas atau badan amil zakat daerah (Bazda). Masyarakat bisa mengumpulkan zakat, tapi dilarang mengelolanya, apalagi menyalurkan sendiri dana umat tersebut.
Direktur Jenderal Bimbingan Islam Kementerian Agama Nazaruddin Umar mengakui rancangan regulasi versi Kementerian Agama akan memperkuat fungsi Baznas. ”Kalau semua bentuk pemasukan zakat dari masyarakat di bawah koordinasi Baznas, saya kira akan lebih tertib, lebih terukur semuanya,” katanya.
Baznas dan Bazda pun sudah merapatkan saf menolak draf versi Dewan. Senin siang awal Juli lalu, kata sumber Tempo, para pengurus Bazda dari semua provinsi dan daerah menggelar pertemuan dengan para pengurus Baznas di gedung milik Kementerian Agama, di Jalan Jaksa, Jakarta Pusat. Mereka mendeklarasikan menolak Rancangan Undang-Undang Zakat versi Senayan. Pernyataan mereka dikirim ke Kementerian Agama dan DPR. Didin Hafiduddin membenarkan pertemuan itu, tapi dia menampik jika dikatakan Baznas dan Bazda menolak versi Dewan. ”Yang ditolak hanya pasal yang menghilangkan Baznas,” katanya.
Padjar Iswara, Agoeng Wijaya, Sunudyantoro
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo