Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PERTEMUAN itu berlangsung pada Jumat siang pekan lalu. Manajemen Visa Worldwide Indonesia dan MasterCard Indonesia datang ke kantor Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) di Kebon Sirih, Jakarta Pusat. Kedua lembaga keuangan internasional itu diminta memaparkan teknologi yang ditawarkan dalam penyaluran bantuan sosial (bansos) nontunai. "Mereka datang untuk mengeksplorasi teknologi miliknya," kata Elan Satriawan, Koordinator Kelompok Kerja Kebijakan TNP2K.
Menurut Elan, pemerintah menginginkan teknologi operator switching kompatibel dengan sistem bank penyalur bansos yang akan ditunjuk pemerintah. Wakil Direktur Bidang Kebijakan Publik MasterCard Wilson Siahaan membenarkan diundang ke sana. "Saya dan Pak Tommy Singgih (Direktur Utama MasterCard Indonesia) hadir," ujar Wilson saat dihubungi pada Jumat sore pekan lalu.
TNP2K ingin program yang bisa mereformasi sistem subsidi dan bantuan sosial nontunai itu matang sebelum dibawa ke rapat kabinet terbatas. Rapat itu seharusnya berlangsung di Istana Kepresidenan pada pekan lalu. Agenda rapat: mematangkan reformasi mekanisme penyaluran "beras sejahtera" (rastra), nama baru bantuan beras untuk rakyat miskin (raskin). Tapi, kata Denni Puspa Purbasari, Deputi III Kantor Staf Presiden, rapat urung dilaksanakan.
Pemerintah seharusnya sudah menunjuk bank pelat merah penyalur bantuan sosial beserta 44 titik lokasi uji coba pada September lalu. Realisasi program bansos nontunai tengah dikejar waktu. Presiden Joko Widodo menargetkan sistem anyar penyaluran bantuan pangan sudah bergulir di 34 kota di Jawa dan 10 kota di luar Jawa pada Januari tahun depan.
Itu sebabnya banyak pekerjaan rumah harus dirampungkan pemerintah hingga akhir tahun. Tantangan terbesarnya: bank penyalur mesti mengakuisisi sedikitnya 14 ribu agen/merchant di 44 kota tersebut. Bank juga harus membuka rekening dan mendistribusikan e-voucher kepada 1,4 juta keluarga penerima manfaat.
Presiden ingin bantuan sosial disalurkan nontunai. Ia telah merintisnya sejak memimpin DKI Jakarta dengan merilis Kartu Jakarta Sehat dan Kartu Jakarta Pintar. Tak lama setelah dilantik menjadi presiden, Jokowi menggaungkan kartu serupa dalam lingkup nasional, yakni meluncurkan Kartu Keluarga Sejahtera, Kartu Indonesia Pintar, dan Kartu Indonesia Sehat. "Namun, hingga 2016, kartu-kartu itu hanya identitas. Penerima kartu masih antre di kantor pos," ujar Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa, Senin dua pekan lalu.
Masalah itu dibahas dalam rapat terbatas kabinet pada 26 April 2016. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo dan Ketua Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad hadir di sana. Dalam rapat yang membahas inklusi keuangan dan transaksi nontunai itu, terungkap keengganan perbankan menyalurkan kartu bantuan sosial.
Salah satu peserta rapat mengatakan bank mengaku tekor karena biaya operasional, cetak kartu e-money, dan pengadaan electronic data capture tidak gratis. Karena alasan itu pula tender pengiriman bansos nontunai di Kementerian Sosial sepi peminat. Hingga tender ditutup pada 31 April lalu, tak satu pun bank mendaftar. Keengganan perbankan itu lantas disiasati dengan memperpanjang "masa pengendapan" dana bansos di bank sebelum disampaikan ke penerima.
Sekarang pemerintah merancang beragam kartu itu diringkas dalam satu kartu tunggal untuk menampung transfer bantuan sosial. "Nanti semua kartu di setiap kementerian akan digabung menjadi satu (kartu combo)," ujar Denni Puspa Purbasari, Selasa pekan lalu. "Begitu diluncurkan, kartu-kartu lain tidak berlaku."
Kartu combo akan berfungsi juga sebagai e-voucher beragam bansos, subsidi, sekaligus sebagai akun tabungan. Menurut Denni, pada tahap pertama, kartu itu akan menampung subsidi pangan. Setelah itu disusul bansos dan subsidi lain. Yang paling akhir subsidi pupuk karena data, kriteria, dan perhitungannya rumit.
Bambang Widianto, Deputi Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan, Sekretariat Wakil Presiden RI, yakin kartu tunggal sebagai solusi permanen sengkarut bansos dan subsidi. Menurut dia, penyaluran nontunai akan banyak menghemat uang negara.
Selain raskin, Bambang mencontohkan subsidi listrik yang tak tepat sasaran. PT PLN memukul rata subsidi untuk pelanggan 450 dan 900 watt. Jumlah mereka mencapai 45 juta atau 72 persen dari total 62 juta rumah tangga di seluruh Indonesia. Nantinya subsidi listrik akan diubah dalam nominal tertentu per bulan ke rumah tangga miskin. "Akan ada penghematan dari 18 juta rumah tangga yang tak layak menerima subsidi," katanya.
HINGGA pekan lalu, pemerintah belum bulat menyepakati mekanisme penyaluran dana bantuan sosial. Bambang Widianto, yang juga Sekretaris Eksekutif TNP2K, menilai tak sulit memutuskan 44 kota dan bank penyalur kartu karena pasti yang ditunjuk bank pemerintah. Masalahnya, platform sistem dan teknologi yang akan dipakai jadi debat berkepanjangan.
Pemerintah ingin sistem penyaluran harus interkoneksi dan interoperasi. Namun Indonesia belum memiliki sistem pembayaran nasional sendiri. Kehadiran operator global juga dipertanyakan karena bansos nontunai sarat kepentingan politik dan bisnis. "Pelik sekali karena banyak yang berkepentingan," ujar Bambang.
Kehadiran operator switching asing mengundang tanda tanya. Sebab, pada awal September lalu, bank-bank pelat merah bersama Telkom telah meneken nota kerja sama untuk membentuk operator switching sendiri, yakni Himbara Link. Kerja sama itu menyebutkan, secara bertahap, bank-bank pelat merah tersebut akan mengambil alih saham Telkom di Sigma Link.
Anggoro Eko Cahyo, Direktur Consumer Banking BNI, mengatakan Himbara Link nantinya akan menjadi switching principal. Inilah yang diharapkan sebagai cikal-bakal sistem pembayaran nasional. "ATM dan electronic data capture Himbara ke depan bisa interkoneksi, termasuk untuk menyalurkan bansos," kata Anggoro melalui pesan WhatsApp.
Switching principal lokal sebenarnya juga sudah ada, misalnya ATM Prima, yang dimiliki BCA. Namun penggunanya masih sangat terbatas. Sedangkan infrastruktur gerbang pembayaran nasional yang dikelola BI belum terbentuk. Kelemahan infrastruktur domestik dilihat principal asing, Visa dan MasterCard, sebagai peluang untuk masuk.
Menurut seorang petinggi regulator keuangan, Visa dan MasterCard getol mempromosikan teknologi yang mereka miliki ke pemerintah ataupun perbankan. Kedua lembaga yang selama ini memediasi transaksi masyarakat kelas menengah ke atas itu melihat potensi besar. "Pendapatan dari biaya switching juga lumayan besar," ujarnya. Dari penyaluran Rp 21,8 triliun raskin, mereka bisa meraup fee dan royalti hingga Rp 248 miliar lebih.
Direktur Utama MasterCard Indonesia Tommy Singgih menolak menanggapi. Sedangkan Wakil Direktur Bidang Kebijakan Publik MasterCard Indonesia Wilson Siahaan memberikan sejumlah informasi, tapi menolak dikutip. "Saya belum berani bicara karena ini belum pasti (ditunjuk)," kata Wilson saat dihubungi pada Jumat pekan lalu. "Kami belum bisa memberikan pernyataan terkait dengan bansos," ucap Kurnia Indri Hapsari, Business Leader Corporate Communication Visa Worldwide Indonesia.
Denni Puspa Purbasari mengatakan teknologi yang dimiliki Visa dan MasterCard paling siap diaplikasikan. Ia membenarkan Kantor Staf Presiden dan TNP2K aktif mendekati semua operator agar menyampaikan konsep teknologi yang mereka miliki untuk membantu program pemerintah. "Semua bank, asosiasi sistem pembayaran, hingga asosiasi penggilingan beras kami undang," kata Denni.
Bambang Widianto menyerahkan negosiasi harga dibahas sendiri antara bank penyalur dan switching principal. Namun pemerintah berharap harga bisa ditekan semurah mungkin. "Bansos harus zero cost, baik bagi pemerintah maupun penerima manfaat," ujarnya. Menurut Denni, MasterCard sudah memberikan penawaran jauh lebih murah dari tarif 1,6 persen saat ini. "Cukup kompetitif," ucapnya.
Direktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia Eni V. Panggabean mengatakan keberadaan operator switching memperpanjang rantai penyaluran bansos. Panjang rantai artinya menambah biaya yang harus dibayarkan. "Captive market-nya sangat jelas. Dari raskin saja 15,5 juta keluarga," katanya. Itu belum menghitung dana bansos yang lain.
Bank sentral ingin Himpunan Bank-bank Milik Negara (Himbara) memiliki operator switching sendiri. Meski begitu, menurut Deputi Gubernur BI Ronald Waas, tanpa gerbang pembayaran nasional (national payment gateway) pun bank-bank BUMN sebenarnya sudah bisa interkoneksi. Model penyaluran raskin tanpa operator switching itu sudah diuji coba saat Kementerian Sosial meluncurkan Kartu Keluarga Sejahtera, yang sekaligus bisa digunakan sebagai tabungan, e-voucher, dan kartu debit. "Prinsipnya sama saja. Tidak harus ada operator switching, asalkan semua bank yang terlibat bersepakat," ujarnya.
Denni Puspa dan Bambang Widianto tak yakin model yang diusulkan bank-bank pelat merah mampu mengejar target Presiden Joko Widodo, yang ingin meluncurkan voucher raskin di 44 kota pada Januari 2017. Itu meliputi 1,4 juta keluarga penerima dan melibatkan 14 ribu lebih agen—dengan asumsi satu agen melayani 100 penerima. "Kami tidak yakin bisa terkejar," kata Denni.
Ronald Waas mengatakan agen layanan keuangan digital saat ini sudah mencapai 114 ribu. Anggoro Eko Cahyo mengatakan Himbara terus menambah agen di 44 kota sehingga bisa mendukung penyaluran bantuan sosial di kota-kota tersebut pada Januari 2017. "Pada saat diperlukan untuk interkoneksi akan memanfaatkan jaringan Himbara Link yang sudah digunakan saat ini," ujarnya.
AGUS SUPRIYANTO, AMIRULLAH
RALAT
DI majalah Tempo edisi 3-9 Oktober 2016, rubrik Ekonomi, terdapat kesalahan penulisan predikat dalam artikel berjudul "Berebut Kartu Transfer Nontunai". Eni V. Panggabean ditulis sebagai Direktur Sistem Pembayaran Bank Indonesia. Yang benar Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran. Pada edisi 12-18 September 2016, dalam artikel "Terjepit Kewajiban, Bisnis Meradang", Lucky Bayu Purnomo ditulis sebagai Kepala Riset Danareksa Sekuritas. Yang benar analis Danareksa Sekuritas. Kami mohon maaf atas kekeliruan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo