Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Yopie Hidayat*
Sudah selayaknya investor menyimak sinyal bahaya ini. Bukan main-main, yang melontarkannya adalah salah satu badan Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), yang merilis laporan pekan lalu. Prediksinya: krisis berpotensi segera meletus karena runtuhnya pasar finansial negara-negara berkembang. Kalau prediksi itu benar, inilah krisis global gelombang ketiga setelah ambruknya kredit perumahan Amerika Serikat 2008 dan krisis utang di zona Euro, 2011-2012.
UNCTAD menilai, setelah dua krisis itu, negara maju belum mampu memulihkan ekonomi. Yang ada hanya stimulus moneter. Bank-bank sentral berlomba mencetak uang yang cuma memompa pertumbuhan pasar keuangan, tapi tak menyentuh ekonomi secara nyata. Karena ekonomi negara maju lembek, permintaan barang produksi negara-negara berkembang pun tetap melempem. Demikian pula halnya dengan harga komoditas, ekspor andalan banyak negara berkembang.
Sama halnya dengan di negara maju, di negara-negara berkembang yang menikmati imbas stimulus moneter tadi hanyalah pasar finansial. Harga saham melonjak dan kurs mata uang relatif stabil meski neraca perdagangan ataupun neraca pembayaran masih minus. Sedangkan ekonomi sektor riilnya enggan tumbuh cepat.
Aliran dana ke pasar keuangan negara berkembang ini dengan cepat bisa berbalik. Kemungkinan paling dekat, pembalikan arus dana bisa terjadi jika suku bunga rujukan The Federal Reserve, bank sentral Amerika, naik. Menjelang akhir tahun, The Fed masih bersidang dua kali lagi, 1-2 November dan 13-14 Desember. Pada sidang 20-21 September lalu sebetulnya sudah ada desakan dari tiga pemimpin regional The Fed agar bunga naik. Namun Janet Yellen, sang Ketua, masih mendapat dukungan mayoritas untuk menahan bunga sembari melempar sinyal kuat ada kemungkinan bunga naik menjelang akhir tahun.
Naiknya bunga The Fed sepertinya tak terelakkan. Selain karena ekonomi Amerika relatif membaik, alasan lain yang mendesak adalah kian banyak lembaga yang tak tahan lagi hidup dalam rezim suku bunga mendekati nol atau negatif. Misalnya dana-dana pensiun, yang hidupnya sangat bergantung pada suku bunga. Tak terbayangkan akibatnya jika dana pensiun pengelola dana berukuran raksasa di negara maju kolaps karena uangnya terus tergerus bunga negatif.
Maka investor harus lebih tenang menilai lonjakan deklarasi harta amnesti pajak. Bagi pemerintah, ini kabar baik karena uang tebusan masuk cukup deras, per Kamis pekan lalu tercatat Rp 79,4 triliun.Namun, karena target yang dipatok Menteri Keuangan sebelumnya Rp 165 triliun, penerimaan uang tebusan itu tampaknya belum mampu menyelesaikan defisit anggaran yang mencekik.
Yang menarik: jumlah harta repatriasi mencapai Rp 130 triliun. Secara relatif ini kecil, 4 persen dari total deklarasi harta Rp 3.184 triliun. Tapi aliran pulang dana Rp 130 triliun tentu berdampak besar ke pasar finansial. Bisa jadi, sebagian dana ini juga mengalir ke sektor riil menggerakkan ekonomi. Tak mengherankan jika kurs rupiah kini bertahan di bawah 13 ribu per dolar. Sedangkan harga-harga saham yang tergambar di indeks harga saham gabungan melejit 20 persen jika dihitung sejak awal 2016, menjadi 5.431,96 per Kamis pekan lalu.
Sayangnya, dampak jangka pendek amnesti pajak ini sudah tecermin pada harga saham ataupun kurs sekarang. Efek baik ini bisa musnah jika suku bunga The Fed jadi naik dan menyeret pasar finansial di berbagai penjuru terjerumus ke dalam krisis. Prediksi UNCTAD sepertinya tidak mengada-ada, waspadalah.
*) KONTRIBUTOR TEMPO
Kurs | HSG | Inflasi | BI 7-DAY REPO RATE | Cadangan Devisa | Pertumbuhan PDB |
Pekan lalu13.098 | Pekan lalu5.380 | Bulan sebelumnya3,21% | 31 Juli 2016 US$ miliar 111,409 | 20154,73% | |
Rp per US$ 12.952 Penutupan 29 September 2016 | 5.431 Penutupan 29 September 2016 | 2,79% Agustus 2016 YoY | 5,00% 22 September 2016 | 113,538 Miliar US$ 31 Agustus 2016 | 5,3% Target 2016 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo