Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Berebut Mengatur Sapi Dan Ayam

Aturan Yang Bertabrakan Membuat Dua Kementerian Sama-sama Merasa Berwenang Memberi Izin Impor Ternak. Melobi Hingga Ke Jokowi.

6 Juli 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

RAPAT koordinasi di kantor Menteri Koordinator Perekonomian, Lapangan Banteng, Jakarta, Selasa dua pekan lalu, baru saja kelar. Menteri Pertanian Amran Sulaiman bergegas mendekati Menteri Perdagangan Rachmat Gobel. Amran memanfaatkan sesi singkat itu untuk berunding menyangkut perizinan impor yang tumpang-tindih.

Aturan yang berlaku sekarang: kewenangan memberi izin impor ternak berada di tangan Menteri Perdagangan. Sedangkan Kementerian Pertanian berperan memberi rekomendasi teknis mengenai ternak yang boleh masuk ke Indonesia. Tapi Amran menganggap kantornya juga memiliki wewenang menerbitkan izin impor ternak hidup. Dasarnya adalah Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

"Pak Amran ingin meng-clear-kan. Karena kok Undang-Undang Peternakan memberinya kewenangan soal itu," Rachmat Gobel mengkonfirmasi soal perbincangan singkat mereka, kepada Tempo, Kamis pekan lalu.

Impor ternak alias hewan hidup memang sangat strategis dan merupakan bisnis bernilai triliunan. Bayangkan, pada 2014 saja, menurut Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Partogi Pangaribuan, sekitar 750 ribu ekor sapi bakalan dan sapi siap potong didatangkan ke Tanah Air. Impor induk dan bibit ayam pun sama menggiurkannya.

Tahun ini, Partogi menambahkan, kebutuhan sapi sekitar 640 ribu ton. Pada triwulan I saja telah diimpor 100 ribu ekor (setara dengan 18 ribu ton) dan triwulan II sebanyak 250 ribu ekor (setara dengan 43 ribu ton). Ditambah lagi impor sapi siap potong sebanyak 32 ribu ekor. "Ini bisnis yang menarik," ujar Rachmat.

Bukan kali ini saja negosiasi dan tarik-ulur soal perizinan impor dilakukan. Ketika Rachmat sedang berkunjung ke kantor Tempo awal bulan lalu, Menteri Amran meneleponnya. "Sudahlah, Pak, pokoknya urusan perdagangan, ekspor ataupun impor, biar di Kementerian Perdagangan," Rachmat menjawab si penelepon di seberang. Sayang, dia menolak membocorkan isi detail pembicaraan itu. Tapi seorang pejabat memastikan kedua menteri itu memang sedang membahas urusan izin impor sapi.

Pejabat pemerintah itu menjelaskan, Kementerian Pertanian ingin agar izin impor hewan hidup ditangani mereka. Alasannya adalah seluk-beluk kesehatan hewan yang secara teknis hanya dipahami oleh Kementerian Pertanian.

Sebaliknya, menurut Rachmat, Kementerian Pertanian sudah cukup bisa menjaga kesehatan hewan melalui rekomendasi impor yang selama ini mereka pegang otoritasnya. Bila perlu, mereka bisa memperketat persyaratan ternak yang boleh didatangkan ke Indonesia demi menjamin agar masalah kesehatan ini tak terabaikan.

Amran pun tak menampik adanya perbincangan dengan koleganya di kabinet tersebut. "Kami berkoordinasi bisa lima kali sehari," ucapnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Upaya Amran melobi tak berhenti sampai di sini. Pejabat lain bercerita, Menteri Pertanian juga menghadap Presiden Joko Widodo, Jumat siang dua pekan lalu, antara lain untuk menyampaikan masalah pengaturan perizinan impor ternak yang tak jelas ini.

Pada pertemuan yang dimulai sekitar pukul 13.30 WIB itu, kata si pejabat, Amran telah menyiapkan rancangan peraturan Menteri Pertanian yang mengalihkan kewenangan memberi izin impor ke kantornya.

"Kata siapa? Tidak begitu ceritanya," Amran membantah. Menurut dia, kedatangannya ke Istana karena dipanggil Presiden. "Bukan saya yang mau ketemu." Ia menjelaskan, pada pertemuan itu, mereka membicarakan rencana investasi perusahaan swasta di Jawa Timur, yakni pengembangan hortikultura dan kebun mangga. "Tidak membahas perizinan," ia meyakinkan.

Menteri Perdagangan mengaku tak mengetahui soal pertemuan di Istana itu. Yang pasti, kata Rachmat, sejauh ini Presiden tidak pernah memanggilnya untuk membahas masalah perizinan impor atau pengalihan kewenangannya. "Seandainya akan diubah, pasti saya dipanggil," ujarnya.

****

BERTAHUN-tahun surat izin impor sapi memang diterbitkan oleh Kementerian Pertanian. Hingga pada Juni 2011, kewenangan itu dipangkas melalui rapat koordinasi perekonomian. Menteri Koordinator Perekonomian saat itu, Hatta Rajasa, memutuskan mengalihkan kewenangan mengatur perizinan impor sapi ke Menteri Perdagangan. "Sudah diketok dalam rapat koordinasi. Sekarang dalam proses transisi," kata Hatta ketika itu.

Keputusan itu diambil tak lama setelah Australia menyetop ekspor sapi ke Indonesia selama enam bulan. Penyebabnya ialah adanya kontroversi yang luas setelah muncul publikasi melalui laporan televisi tentang tata cara penyembelihan sapi di sejumlah rumah potong hewan di Indonesia yang dinilai tak memenuhi standar.

Menolak ditekan, Indonesia memanfaatkan momentum itu untuk mengembangkan budi daya sapi lokal. Hatta meminta Menteri Pertanian berfokus mengejar target swasembada daging sapi. Pemerintah ingin Indonesia tidak bergantung pada satu negara tertentu dalam hal pemasok.

Soal kuota impor-yang selama ini ditentukan Kementerian Pertanian-diputuskan untuk dibahas dalam rapat koordinasi perekonomian. Tujuannya agar bisa mendengar masukan dari berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, importir, serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia, terkait dengan data ketersediaan dan kebutuhan dalam negeri.

Kebetulan saat itu terjadi ketidaksesuaian data stok dan kebutuhan sapi nasional antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Kementerian Pertanian mengklaim stok domestik cukup, sehingga impor harus ditekan. Faktanya, harga daging di pasar eceran terus menanjak. Menurut Kementerian Perdagangan, lonjakan harga itu disebabkan oleh kurangnya pasokan, sehingga keran impor harus dibuka.

Melambungnya harga daging sempat membuat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kesal, lantas memanggil kedua menterinya. Situasi itulah, di antaranya, yang kemudian menjadi alasan di balik langkah amputasi kewenangan Kementerian Pertanian. Sebab lain adalah dugaan suap dalam pemberian izin impor daging sapi yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi, yang melibatkan proses di Kementerian Pertanian dan menyeret petinggi Partai Keadilan Sejahtera dalam pusaran kasus tersebut.

Persoalan izin impor sapi kembali mencuat tahun lalu. Dua aturan yang baru disahkan menyebabkan kedua institusi pemerintah itu terlibat tarik-ulur soal siapa yang paling berwenang mengatur urusan ini. Kementerian Perdagangan merasa Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2014 tentang Perdagangan, yang terbit Februari, memberinya kewenangan itu. Adapun Kementerian Pertanian juga yakin dengan payung hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang disahkan Oktober tahun lalu.

Syukur Iwantoro-Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan saat itu-tak membantah kabar bahwa upaya menarik kembali kewenangan memberikan izin impor sapi kepada Kementerian Pertanian telah diinisiasi sejak ia masih menjabat. "Itu merupakan amanat Undang-Undang 41 Nomor 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu.

Berdasarkan undang-undang itu, setiap orang yang melakukan pemasukan (impor) benih dan/atau bibit wajib memperoleh izin Menteri Pertanian, sebagai otoritas yang membawahkan masalah peternakan dan kesehatan hewan. Izin serupa harus dikantongi oleh siapa saja yang hendak mengimpor sapi bakalan.

Saat menjabat Dirjen Peternakan, Syukur menjelaskan, ia telah merumuskan rancangan peraturan Menteri Pertanian, menindaklanjuti Undang-Undang Peternakan. Draf tersebut sudah dibahas di kalangan internal Kementerian Pertanian dan lintas kementerian, seperti di Kementerian Koordinator Perekonomian dan Sekretariat Negara. "Terakhir public hearing dengan para pemangku kepentingan," ia menambahkan.

Dirjen Peternakan Muladno, yang baru dilantik 1 Juni lalu, membubuhkan beberapa poin tambahan dalam draf peraturan Menteri Pertanian. Pertama, menyetop impor sapi siap potong. Alasannya, tidak ada kegiatan ekonomi tambahan yang dihasilkan dan nyaris tidak ada penyerapan tenaga kerja di sana. Kebijakan ini juga mengantisipasi risiko hormon dan zat-zat berbahaya yang mungkin masih ada pada tubuh sapi siap potong.

Kedua, mencoret ketentuan sapi indukan harus beranak dua-tiga kali. Pertimbangannya, justru indukan harus dipelihara sampai apkir alias tidak produktif lagi. "Kenapa harus dibatasi dua-tiga kali beranak kalau bisa menghasilkan sebanyak-banyaknya pedet (anak sapi)?" kata guru besar Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor ini.

Namun pada akhirnya mereka bisa menerima bila kewenangan memberi izin impor ternak, seperti sapi dan ayam, akan tetap dikelola Kementerian Perdagangan. "Walaupun kami memiliki banyak pertimbangan dari segi teknis keamanan dan kesehatan, namanya rumah, pintunya ya harus satu," Muladno memberi alasan.

Asosiasi Produsen Daging dan Feedlot Indonesia (Apfindo) mendukung sistem yang sekarang berjalan sebagai pengaturan impor terbaik. "Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing," ujar Direktur Eksekutif Apfindo Joni Liano.

Retno Sulistyowati, Pingit Aria

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
Ā© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus