Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MENJELANG magrib, Mustafa Kamal sempat menghabiskan nasi bungkus dan teh hangat yang dibelikan Nurdin, tetangganya. Alangkah terkejutnya ketika Nurdin melihat Mustafa, 39 tahun, sudah tak bernyawa. Padahal cuma sebentar Nurdin meninggalkannya untuk salat di masjid.
Menurut Nurdin, Mustafa hanya mengaku pening, lalu dengan emosional mengatakan akan mencari orang yang memukulinya sore tadi. ”Tapi saya larang,” kata Nurdin kepada Tempo, Sabtu dua pekan lalu.
Polisi bergerak cepat. Tak lama, tiga pemuda yang diduga mengeroyok Wakil Ketua Partai Suara Independen Rakyat Aceh Kota Langsa itu ditangkap. ”Ini murni tindakan kriminal,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Resor Langsa, Ajun Komisaris Pesto Ariadi Permana.
Dugaan polisi, korban dan pelaku berselisih setelah bermain judi. Pesto tak yakin ada motif politik. Pernyataan itu penting, karena situasi Aceh menjelang pemilihan umum akhir-akhir ini memang sedang memanas.
Pada 4 Februari lalu, di Krueng Raya, Kabupaten Aceh Besar, Zakaria Daud dan rekannya sesama aktivis Partai Aceh (PA), Muhammad Nur, ditembaki orang tak dikenal ketika mengendarai mobil. Muhammad Nur, 48 tahun, tewas di tempat. Peluru menghunjam dada dan lengan kirinya.
Zakaria selamat, meski paha, dada, dan lengan kirinya terkena tembakan. Ia masih bisa melarikan kendaraannya sejauh enam kilometer ke Rumah Sakit Dr Zainoel Abidin di Banda Aceh. Kepada Tempo, Zakaria mengaku tak mengenali pelaku yang menembakinya dengan pistol otomatis. ”Saya juga tidak merasa punya masalah selama ini,” katanya.
Hitung mundur 12 jam dari kasus Zakaria, penembakan juga terjadi di Kabupaten Bireun. Dedi Novandi alias Abu Karim, 33 tahun, Sekretaris Komite Peralihan Aceh (KPA) wilayah Batee Illiek, Bireun, tewas di dalam mobilnya setiba di rumah kontrakannya di Desa Juang, Kota Juang, Bireun.
Kejadian serupa terulang di Kabupaten Aceh Barat, Kamis dua pekan lalu. Korbannya adalah Taufik alias Benu, 35 tahun, Ketua Posko PA Desa Ujong Kalak, Kecamatan Johan Pahlawan, Aceh Barat.
Polisi belum berhasil membongkar satu pun kasus pembunuhan itu. ”Sejauh ini belum ada perkembangan berarti,” kata Kepala Biro Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Aceh, Komisaris Besar Farid Ahmad.
”TAK ada lagi istilah DOM (Daerah Operasi Militer), tidak ada istilah GAM (Gerakan Aceh Merdeka),” kata Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika meresmikan sejumlah proyek Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh-Nias di Lapangan Blang Padang, Banda Aceh, Senin pekan lalu. Tapi Presiden tampak risau melihat situasi di Aceh akhir-akhir ini.
Setelah tiga tahun lebih penandatanganan kesepakatan damai di Helsinki, Finlandia, kondisi Aceh angot lagi. Aksi kekerasan meningkat menjelang Pemilihan Umum 2009. Selain insiden kekerasan bersenjata, berbagai kasus intimidasi, teror, dan penculikan mewarnai hari-hari di bumi Serambi Mekah itu.
Gubernur Aceh Irwandi Yusuf mengakui munculnya gangguan keamanan akhir-akhir ini. Tapi, ”Hanya kriminalitas biasa, dan tidak ada kaitannya dengan konflik masa lalu,” katanya. Memang ada friksi, ”Tapi itu konsekuensi logis suatu proses reintegrasi.”
Martti Ahtisaari, juru runding perdamaian Aceh, yang pekan lalu berkunjung ke Aceh, meminta persoalan ini tak disepelekan. Setiap insiden tak boleh ditenggang. ”Jika tak diselesaikan, biasanya mengakibatkan banyak spekulasi yang salah,” katanya. Ia meminta polisi bekerja keras dan menuntaskan kasusnya di pengadilan.
Kekerasan di Aceh nyaris terpetakan sebagai konflik GAM lawan anti-GAM. KPA dan PA—keduanya bentukan eks-GAM—tampak yang paling ”panas”. Para penggiat organisasi itu tercatat paling sering mengalami tindakan kekerasan. Tak hanya pembakaran atribut atau penggranatan kantor, ”Tapi sudah mengarah pada ancaman terhadap tokoh dan anggota,” kata Ibrahim Syamsuddin, juru bicara KPA.
Siapa yang bermain? ”Tak ada yang tahu. Yang pasti, tak ada pemain tunggal di Aceh,” kata Ketua Umum Partai Bersatu Aceh, Farhan Hamid. Tapi ia yakin, hampir semua kasus kekerasan di Aceh terkait dengan percaturan politik 2009: berebut kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Aceh.
Pelakunya, kata Farhan, bisa jadi di antara partai politik yang berebut simpati publik. ”Atau malah di internal Partai Aceh sendiri yang bersaing sebagai calon legislatif.” Tapi Ibrahim membantah konflik internal itu. ”Yang jelas, ada pihak yang takut atau tak senang pada PA,” katanya.
Obsesi untuk menang, kata Farhan, memang sering melahirkan praktek tak sehat. ”Yang ditakutkan, persaingan terjadi di kalangan yang terbiasa dengan kekerasan,” kata Farhan.
Di lapangan, menurut Farhan, tak sekali dua para mantan GAM membuat ulah. Mereka mencabut bendera dan merusak atribut kampanye partai. ”Juga mengklaim kawasan tertentu sebagai wilayahnya.”
Hal serupa dialami Ismail, aktivis Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Langsa Timur. Ratusan bendera partai yang dipasangnya habis dicabuti anggota PA. Bahkan ia diancam jika memasang kembali bendera itu.
Meskipun Muzakir Manaf, bekas panglima GAM yang sekarang Ketua KPA, menegaskan tak ada lagi tuntutan merdeka di Aceh, tak semua anak buahnya taat. Menurut Farhan, bukan rahasia lagi kalau ada calon legislatif PA menjual diri dengan janji memperjuangkan referendum jika terpilih.
Sebaliknya, kubu pro-integrasi tak tinggal diam. Mereka balas menyebar pesan singkat dan spanduk. Salah satu spanduk, misalnya, berbunyi, ”Siapa yang mendukung separatis sama dengan merusak perdamaian.”
Anggota PA tak tinggal diam. Mereka bahkan berusaha menurunkan spanduk-spanduk itu, yang berujung pada perkelahian. ”Spanduk itu justru merusak perdamaian dan memancing konflik kembali,” kata Usman Abdulla, mantan panglima GAM yang sekarang jadi Ketua PA.
”Kalau bukan separatis, mengapa mesti tersinggung?” kata Darwis, bekas petinggi Front Penyelamat Merah Putih. Spanduk itu memang dipasang oleh kelompok Darwis.
Kasus seperti ini, kata Farhan, membuat kemelut menjurus pada tindakan kriminal. Dalam hal tertentu, pertarungan itu sangat mudah dimanfaatkan oleh pemain ketiga. Siapa mereka? ”Bisa oknum yang resmi atau yang tak resmi punya senjata,” kata Farhan. ”Itu yang harus ditemukan oleh polisi.”
Direktur International Crisis Group, Sidney Jones, melihat ada banyak pihak memancing di air keruh. Terlalu banyak friksi di Aceh, sehingga sulit menuding pihak yang bertanggung jawab. Ancaman terhadap eks-GAM, katanya, bisa karena persoalan ekonomi akibat bagi-bagi tender proyek yang tak merata, atau bisnis narkoba.
Juga masih ada pihak yang tak puas dengan pemilihan kepala daerah 2006. Menurut Farhan, kelompok eks-GAM penentang perjanjian damai juga mungkin mengambil kesempatan.
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Ikrar Nusa Bhakti, menilai pemilihan umum inilah titik krusial pertama untuk menguji perdamaian Aceh. ”Sebab, masih ada kekhawatiran bagaimana nanti kalau Partai Aceh menang,” kata Ikrar.
Agus Supriyanto, Adi Warsidi (Banda Aceh), Ivo Lestari (Langsa), Imran Ma (Lhok Seumawe)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo