Swastanisasi Bursa Efek Jakarta akhirnya kesampaian juga. Namun, situasi sudah sangat parah. Apakah investor masih per- caya? TERBETIK sedikit kabar baik dari Bursa Efek Jakarta. Kabar baik ini tak ada hubungannya sama sekali dengan harga saham, yang melorot tak tertahan. Bahkan, Jumat lalu, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menggambarkan naik turunnya harga saham di bursa Jakarta, mendarat pada angka 322,95. Inilah titik nadir selama dua tahun terakhir. Adapun kabar baik itu semata-mata mengenai rampungnya petun- juk pelaksanaan (juklak) untuk swastanisasi pasar modal. Juklak ini sudah lama ditunggu-tunggu. Dengan juklak tersebut, berarti bursa Jakarta, yang selama ini dikelola oleh Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam), bisa segera diserahkan pada swasta. Sekadar mengingatkan, Surat Keputusan Menteri Keuangan untuk soal ini sudah keluar sejak Desember tahun lalu. Kalau toh baru sekarang juklaknya muncul, itu karena rumitnya peraturan yang harus disusun. "Barangnya setebal bantal," kata seorang pakar yang terlibat dalam penyusunan juklak itu. Banyak orang berpendapat, soal swastanisasi ini sangat pent- ing khususnya dalam upaya menggairahkan pasar yang sekarang lesu. Jika swasta mengelola pasar, dalam waktu singkat perusahaan yang akan bernama PT Bursa Efek Jakarta ini bisa melakukan perbaikan dalam sistem perdagangan. Yang paling diharapkan adalah komputerisasi. Sekarang, dengan sistem yang amat sangat kuno, yakni menulis harga di papan putih dengan spidol, di samping penyelesaian transaksi yang amat lambat, membuat pemodal besar sering ter- hambat. Akibatnya, pertumbuhan transaksi tidak sejalan dengan bertambah banyaknya saham yang masuk ke bursa. "Sistem perdagangan yang sekarang ini tidak efisien," demikian kesimpulannya, seperti dikatakan Norman Li kepada Sandra Hamid dari TEMPO. Ia adalah Presiden Direktur PT BT Securities, perusahaan yang banyak menangani klien asing yang tergolong kelas kakap. Dengan komputerisasi, era keter- belakangan tadi diharapkan segera berakhir. Maka, semua pihak boleh bersiap-siap. Ketua Bapepam, Marzuki Usman, juga membenarkan bahwa semua persiapan sudah beres. "Pekan ini akan saya tanda tangani," katanya. Jika tak ada aral melintang, 26 Juli para pialang yang sudah terdaftar akan diundang berkumpul. Bisa jadi pertemuan ini akan menjadi rapat umum pemegang saham yang pertama, untuk PT Bursa Efek Jakarta. Sebab, sesuai dengan aturan main, perusahaan ini sahamnya akan dimiliki oleh paling sedikit 200 pialang, dan setiap pialang hanya boleh punya satu saham. Bursa swasta ini kelak menerapkan tata niaga sendiri. Dengan demikian, Bapepam benar-benar tinggal menjalankan fungsinya sebagai wasit. Misalnya saja, soal konglomerat yang punya banyak perusahaan pialang di bursa. Selama ini, bukan rahasia lagi jika perusahaan milik konglomerat itu sering dijadikan alat untuk mendongkrak harga saham dari perusahaan yang tergabung dalam grupnya. "Nanti bisa diatur, perusahaan milik konglomerat tak boleh memperdagangkan saham dari perusahaannya sendiri. Sabar sajalah," tutur sumber TEMPO. Tanpa perlu bersabar, pembenahan atas pialang ini ternyata juga sudah dilakukan dari sekarang. Pekan lalu, Bapepam mengeluarkan 10 juklak baru, lima di antaranya mengatur ketat perilaku pialang dan manajer investasi yang beroperasi di pasar modal. Nanti, mereka harus lulus ujian yang diadakan oleh Dewan Penguji yang akan dibentuk oleh Persatuan Pedagang Uang dan Efek. Singkat kata, akan ada standardisasi kemampuan. Persoalannya, apakah pembenahan besar-besaran ini belum ter- lambat. Sebab, kelesuan di bursa Jakarta sudah terlalu panjang. Dahulu ketika semua perusahaan memasang harga sahamnya tinggi- tinggi, semua pihak yakin akan ada koreksi pasar. Harga akan turun, sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Dan benar, harga turun, terutama pada saat Perang Teluk meletus. Namun, kini, Perang Teluk sudah lewat lima bulan, harga malah terus merosot. "Kami jadi bertanya-tanya, apa yang salah," tutur Jonathan Chang, pialang dari PT Jardine Fleming Nusantara. Orang khawatir, kepercayaan pada bursa Jakarta jangan-jangan sudah luntur. Terutama dari pemodal asing. Ini tercermin dari menurunnya jumlah transaksi. Jardine, misalnya, yang banyak menangani klien asing. Nilai transaksinya merosot. Dari rata- rata Rp 100 milyar sebulan tahun lalu, sekarang tinggal separuhnya. Pemilikan saham oleh investor asing, menurut data BT Securities, juga menurun. Tahun lalu sekitar 29 persen dari seluruh saham yang tercatat dimiliki oleh investor asing, tetapi saat ini tinggal sekitar 25 persen saja. Situasi suram seperti ini ternyata dipertajam dengan mem- baiknya situasi pasar modal di negara-negara tetangga. Banyak klien asing yang tadinya sudah siap masuk akhirnya mengalihkan perhatian ke Singapura atau Kuala Lumpur. Padahal, tahun lalu, Jakarta termasuk pilihan utama di antara pasar modal yang sedang berkembang. Sekarang, Indonesia berada di deretan paling bawah di kawasan Asia. Yopie Hidayat & Dwi S. Irawanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini