Jepang mengeluh, industri kayu lapisnya terancam oleh ekspor Indonesia. Pengusaha di sini mengeluh, karena log mulai langka. SEBELAS tahun silam, Indonesia untuk pertama kali meluncurkan ekspor kayu lapis ke Jepang. Waktu itu, di sana beroperasi 212 pabrik kayu lapis. Kini yang tinggal hanya 132 pabrik, berkurang 80 buah. Itu berarti, rata-rata tujuh pabrik di Jepang gulung tikar setiap tahunnya. Mengapa? Pertama, karena merosotnya permintaan akan kayu lapis. Kedua, akibat serangan ekspor dari Indonesia yang terus menggebu. Ini diungkapkan oleh Zenetsu Konno, Ketua Asosiasi Industri Plywood Jepang (JMPA), dalam wawancara dengan wartawan TEMPO di Tokyo, Seiichi Okawa. Kebutuhan kayu lapis Jepang pada 1991, menurut Konno, berkurang 125% dibandingkan tahun sebelumnya, menjadi 8,7 juta m3. Katanya, penurunan itu gara-gara berkurangnya pemakaian kayu di rumah-rumah Jepang. Tapi, volume ekspor kayu lapis Indonesia ke Negeri Sakura ini justru terasa lonjakannya sejak dua tahun silam yang rata-rata mencapai 3 juta m3 setiap tahunnya. Bahkan antara Januari dan Mei 1991, ekspor kayu lapis mencapai 1,16 juta m3. Masalah timbul karena, dalam situasi pasar lesu, sodokan kayu lapis Indonesia dinilai terlalu mengancam industri kayu lapis di sana. Upaya menjinakkan serangan Indonesia memang pernah dicoba. Misalnya, melalui pertemuan JMPA dengan Apkindo (asosiasi perusahaan perkayuan Indonesia, yang dipimpin Bob Hasan) di Jakarta, awal Juli lalu. Namun, pendekatan itu gagal. Dan JMPA sempat mengancam. "Bila Apkindo terus menyerang, kami terpaksa menurunkan harga kayu lapis," demikian gebrakan delegasi Jepang. Kemudian beredar isu bahwa Jepang akan menaikkan tarif bea masuk bagi kayu lapis. Belum jelas apakah isu ini merupakan "serangan" balik, atau sekadar strategi baru dari pemerintah Jepang. Yang pasti, Rinyacho, Badan Kehutanan Jepang, membantah keras. Sumber di lembaga itu mengatakan, pemerintah Jepang sebaliknya akan menurunkan tarif bea masuk tersebut. Memang, sejak 1988 Jepang belum menurunkan tarif bea masuk, yang 15% (untuk ukuran di atas 6 milimeter) dan 10% (untuk ukuran di bawah 6 milimeter). Dan ada rencana menurunkan tarif itu men- jadi 10% dan 8,5%. Hanya, karena situasi pasar di Jepang yang sedang runyam, penurunan tarif tampaknya. Bob Hasan juga membantah isu kenaikan bea masuk tersebut. "Saya nggak tahu, tuh. Kayaknya sih nggak benar," ujarnya. Bob malah memastikan, ekspor kayu lapis kita ke Jepang lancar- lancar saja. Sementara itu, kabar runyam lainnya datang dari Kalimantan Timur. Disebut-sebut ada empat pabrik kayu lapis (total meng- hasilkan 22 ribu m3) yang macet sejak dua pekan lalu. Menurut sumber industri perkayuan, "bencana" itu bersumber pada susutnya suplai kayu log. Lagi pula, harga jual (baik lokal maupun ekspor ke Jepang dan Cina) yang US$ 230-350 per m3, ternyata, lebih rendah dari biaya produksi yang rata-rata US$ 350. Tentang empat pabrik itu, Bob ternyata belum mengetahui. Bahwa mereka bangkrut karena biaya produksi tinggi, ini pun disangkal olehnya. "Kita kan punya 130 pabrik, kenapa cuma empat yang stop," Bob balik bertanya. Namun, menyusutnya suplai kayu log, tampaknya, sukar dibantah. Apalagi ramai diberitakan belakangan ini, tentang penyelundupan kayu gelondongan besar-besaran dari pedalaman Kalimantan (Indonesia) ke Sabah dan Serawak (Malaysia). Moebanoe Moera dan Seiichi Okawa (Jepang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini