Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Berita Cepat ala Detik.com

Detik.com kini tampil dalam versi cetak. Agar distribusinya lancar, koran cepat itu mengandalkan pasukan bermotor.

1 April 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Banyak yang terpaksa keluar, tapi banyak pula yang berebut masuk. Sejak tahun lalu, dunia media cetak memang didominasi oleh frekuensi kedatangan dan kepergian yang tinggi. Kali ini sang pendatang baru tampil sederhana dan tanpa upacara. Namanya juga biasa saja: detikcom. Jangan salah, detikcom ini sebuah koran cepat?bukan media di dunia maya yang terkenal itu. Selain sederhana dan ringkas (8 halaman), keistimewaan koran cepat detikcom adalah jadwal terbitnya yang dua kali sehari: siang dan sore. Mungkin karena jam edarnya yang begitu pendek, penerbit dan distributor kewalahan. "Payah, masih sering terlambat," ujar Dwi Setyo Irawanto, kesal. Insinyur lulusan IPB yang sejak sepuluh tahun lalu terjun ke dunia jurnalistik ini adalah arsitek penerbitan koran detikcom. Sebagai manajer bisnis, sehari-hari ia mengurus untung rugi proyek surat kabar yang dari jenisnya tergolong pertama di Indonesia itu. Memang, tepat waktu dan kecepatan merupakan salah satu kunci sukses. Hanya, sejauh ini, ada saja kendala yang membuatnya terlambat sampai ke pembaca. Sewaktu-waktu listrik mati, lain kali antena wireless doyong, sehingga pengiriman naskah ke percetakan terganggu. Dan halangan sekecil apa pun akan menimbulkan efek berantai yang membuat koran terlambat beredar. Akibatnya bisa fatal. Kendati harga jualnya cuma Rp 900 per eksemplar, pembaca besar kemungkinan luput membeli gara-gara koran itu belum muncul di jalan. Padahal, dalam bisnis media, pembaca bahkan melebihi raja. Yang diharapkan dari mereka bukan sekadar membeli koran, tapi dukungan moral yang bisa berpengaruh tak langsung pada iklan di koran yang bersangkutan. Soalnya, semakin banyak pembaca, semakin banyak iklan dipasang di koran tersebut. Hasilnya, pemasukan dari iklan acap kali lebih besar dari pendapatan oplah. Menurut Dwi Setyo, gagasan menerbitkan koran cepat berawal dari banyaknya permintaan para netter (pengakses internet) agar pengelola situs detik.com menerbitkan edisi cetaknya. Alasannya, mereka tidak selalu sempat membuka internet saat ke kantor atau ke luar rumah. Selain itu, dalam bentuk cetak, koran itu bisa menjadi dokumentasi yang lebih nyaman dibaca. Kini harapan itu terwujud. Muncul dalam format ukuran broadsheet (seukuran koran Washington Post) setebal 8 halaman, detikcom mematok oplah 30.000 eksemplar sekali terbit atau 60.000 eksemplar per hari. Untuk sementara koran itu membidik segmen pembaca di seputar Jakarta. "Sasaran utamanya, ya, para netter yang semula sudah mengenal detik.com dan orang-orang kantor yang sibuk," ujar Dwi Setyo menambahkan. Dia optimistis, korannya akan diterima pasar. Alasannya, koran yang terbit saat ini tidak lagi sesuai dengan ritme kehidupan warga Ibu Kota. "Orang Jakarta itu paling-paling membaca headline sebuah harian, lalu membaca alinea pertama dan kedua. Jarang yang membaca sampai tuntas, kecuali kalau berita itu benar-benar menarik," tuturnya. Bos detikcom itu berpendapat, kebutuhan warga Jakarta akan berita yang singkat, padat, serta cepat itulah yang diisi oleh detikcom. Dengan konsep itu, koran bisa habis dibaca hanya dalam 15 menit. Karena itu, diperkirakan oplah detikcom bisa tumbuh 20 persen per tahun. Pemasukan iklan? Sementara ini belum ada prediksi. "Pemasang iklan menunggu untuk mengetahui oplahnya dulu," kata Dwi Setyo. Namun, langkah detikcom ini, menurut pakar pemasaran Rhenald Kasali, agak berisiko. Sebab, berbeda dengan internet, koran terhalang oleh infrastruktur kota yang masih semrawut. Akibatnya, pengiriman koran bisa terhambat, apalagi jika hujan, ada demonstrasi, atau kemacetan lalu lintas. Berbeda dengan di Jepang, tempat koran ekonomi Nikkei juga terbit dua kali sehari. "Di sana transportasi dipusatkan pada kereta api," kata Rhenald. Ketika orang berkumpul untuk naik kereta api bawah tanah di pagi hari, mereka membeli koran lewat kios yang tersedia di stasiun. Saat keluar dari kereta api, mereka sudah selesai membaca dan membuangnya begitu saja ke tempat sampah. Nah, edisi siang Nikkei keluar tepat saat para pekerja istirahat makan siang. Lagi-lagi, waktunya pas betul, karena orang Jepang terbiasa makan sambil membaca koran. Alhasil, distributornya tinggal datang ke stasiun, karena pembaca ada di tempat itu. Tentu saja semua efisiensi itu tak akan ditemukan di Jakarta, yang pusat transportasinya tersebar di mana-mana, sehingga menyulitkan distribusi koran. Peringatan Rhenald tentang efisiensi distribusi itu juga disadari oleh para pengelola koran cepat. Agar bisa segera sampai ke pembaca, detikcom tidak menggunakan pola pemasaran konvensional. "Kita menggunakan pasukan bermotor, yang akan mendistribusikan koran itu langsung ke pusat-pusat konsumen," ujar Dwi Setyo, bersemangat. Demikian pula dalam hal pemberian komisi. Supaya para agen tetap mau membawa detikcom, pihak pengelola terpaksa memberi komisi besar. "Paling tidak, sama dengan yang diberikan koran biasa," kata bos detikcom itu, setengah berpromosi. Nugroho Dewanto, Tomi Lebang, I G.G. Maha Adi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus